Bau antiseptik tercium di udara, mata Rachel berkedut perlahan lalu terbuka lebar.
"Apakah kau sudah sadar?" tiba-tiba Nicholas Anthony berada di sampingnya.
"Ah, mengapa kau lagi..." gumamnya, membuang muka dengan kesal.
Nicholas Anthony mencibir, satu bibirnya terangkat.
"Hei dengarkan aku baik-baik, hanya karena apa yang terjadi tadi malam bukan berarti aku menyukaimu, kau tahu apa yang terjadi kan? Aku yakin kamu akan ingat sekarang, kau yang mulai menciumku dan...""Hentikan! Ya Tuhan! Itu terdengar sangat menjijikkan!" Rachel menutup telinganya. Dia tidak menyangkalnya karena dia bisa mengingat semuanya dengan baik sekarang. Dia menutup matanya rapat-rapat, "Aku mabuk tadi malam, oke? Jadi apa pun yang aku lakukan itu ilegal, kau tidak bisa menganggapnya serius!" ia mengoceh tanpa berani menatap mata Nicholas, ia masih malu dengan apa pun yang ia lakukan tadi malam.
Nicholas Anthony mengangguk, tangannya terlipat di depan dada.
"Kau benar, aku tidak bisa menyangkalnya. Oke! Semoga berhasil dengan hutangmu! Kau tahu ke mana harus meneleponku jika kamu berubah pikiran, aku memberimu dua puluh empat jam, oke? Bye Ms. Clarke! " katanya santai. Dia berbalik dan berjalan cepat meninggalkan Rachel yang masih terbaring di ranjang rumah sakit."Sial!" Rachel mengutuk saambil menjambak rambutnya sendiri, namun setelah beberapa saat ia meringis ketika ia merasakan sakit yang menyengat di dahinya. Ia melirik ke nakas, mengeluarkan ponselnya, dan menyalakan kamera selfie untuk melihat wajahnya. "Ya Tuhan!" ia berteriak ketika melihat dahinya memar dan sedikit terluka. Suasana hatinya dua kali lebih buruk dari sebelumnya.
Sementara ia termenung menatap langit-langit kamar seorang perawat datang.
"Nona Clarke, CT scan Anda baik, tidak ada luka serius, Anda bisa pulang setelah menyelesaikan pembayaran di bagian administrasi dan mengambil obat di apotek," kata perawat itu dengan tegas dan cepat.Rachel mencibir, "Pembayaran?" ia mendesis pada dirinya sendiri. Jadi, Nicholas Anthony yang sombong itu bahkan tidak membayar tagihan rumah sakitnya?! Ia benar-benar menyebalkan! Meskipun Rachel memiliki banyak hutang, ia berjanji untuk tidak akan pernah mau menikahi pria itu, bahkan jika itu hanya sebuah kontrak pernikahan, itu akan tetap melukai harga dirinya.
Sore itu ia kembali ke apartemen dengan perasaan tidak enak, ia sangat marah dan kesal kepada Nicholas Anthony tetapi gambaran tentang apa yang mereka lakukan tadi malam juga membuatnya merasa sangat aneh, mungkin karena itu adalah pertama kalinya ia berhubungan seks dengan seseorang. Saat hendak memasuki lobi, tiba-tiba ponselnya berdering, dari ibunya. Ia menepi dan duduk di sofa yang ada di sana lalu kemudian menekan tombol hijau untuk menerima panggilan.
"Hai, Mum!" ia menyapa dengan riang, bahkan tersenyum agar ibunya tidak menebak apa yang terjadi padanya.
"Rachie, kau ingat di mana aku meletakkan sertifikat rumah? Aku mencari di semua lemari dan brankas tetapi tidak menemukannya, Janice bilang aku harus melaporkan kehilangan itu ke polisi jika sertifikat itu tidak juga ditemukan," kata Paula Clarke, ibu Rachel dengan cemas.
Tubuh Rachel menegang seketika, keringat dingin mulai mengalir di punggungnya. Ia mencengkeram telepon dengan erat, mencoba berpikir cepat.
“Jangan laporkan ke polisi! Sertifikat itu ada di apartemenku! Ketika aku membawa dokumen pentingku sertifikat itu terbawa bersama dokumen lainnya,” ia tidak berbohong sama sekali, karena sertifikat rumah itu memang tidak sengaja terbawa olehnya. Hanya saja pada akhirnya keberadaan sertifikat itu membuat pikiran nakalnya bekerja sehingga akhirnya ia dengan berani menggadaikan sertifikat tersebut ke bank dengan membuat surat kuasa palsu."Syukurlah! Bisakah kau mengirimkannya kepada kami? Tidak, tapi itu tidak aman, um mungkin Ayahmu akan berada di New York selama akhir pekan, ia akan mengambilnya di apartemenmu," kata Paula, ibu Rachel dengan cepat seolah itu adalah sesuatu yang mendesak.
Mata Rachel langsung membesar, "Apa? Kenapa? Maksudku, kenapa Ayah repot-repot datang dari Nashville ke sini hanya untuk mendapatkan sertifikat rumah? Mum, kau tidak perlu khawatir, sertifikat itu akan aman di sini bersamaku," ocehnya dengan panik.
Ia bisa mendengar Ibu mengambil napas dalam-dalam di ujung sana, "Rachie, maaf kami tidak memberitahumu sebelumnya, tetapi perusahaan tempat ayahmu bekerja bangkrut dan kau tahu pada usianya sekarang ia tidak dapat dengan mudah menemukan pekerjaan baru, jadi kami berencana untuk menggadaikan sertifikat rumah ke bank agar kami bisa mendapatkan pinjaman untuk memulai usaha kecil, kau tahu aku cukup pandai membuat roti ... "
Rachel tidak lagi mendengarkan ibunya, semuanya terasa ringan dan ia merasa seperti melayang di udara. Bagaimana ia bisa melakukan hal buruk itu kepada orang tuanya, ia adalah benar-benar anak tidak tahu diri!
"Mum, kau tidak perlu menggadaikan apa pun oke? Aku akan memberimu uang yang kau butuhkan! Aku akan meneleponmu sesegera mungkin, beri tahu Ayah aku merindukannya, bye Mum! Love you!"Dengan tergesa-gesa dan tangan yang gemetar Rachel mengakhiri panggilan dengan sepihak. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan, "apa yang harus aku lakukan, apa yang harus aku lakukan...' gumamnya pada dirinya sendiri.
Lalu tiba-tiba ia teringat dengan pria arogan yang menawarkan kerja sama yang saling menguntungkan bagi mereka, Nicholas Anthony. Mungkin dialah jawaban dari semua masalah yang Rachel hadapi, lebih tepatnya masalah keuangan yang ia dan keluarganya hadapi.Tanpa berpikir panjang, ia meninggalkan lobi apartemen dan berlari cepat dalam gaun pesta yang ia kenakan sejak tadi malam untuk menghentikan taksi, tetapi ia menyadari satu hal, bahwa ia tidak tahu ke mana harus pergi untuk menemui orang sombong itu. Pria itu bahkan tidak meninggalkan kartu nama atau nomor telepon. "Ke mana kau akan pergi Nona?" tanya sopir taksi, menatapnya bingung di kaca spion. "Nona?"
Rachel menggigit bibirnya, tenggelam dalam pikirannya. Lalu tiba-tiba dia teringat salinan kontrak yang ia tandatangani tadi malam. Ia ingat Nicholas Anthony mengirim email salinannya.
"Tunggu sebentar!" bentaknya, tangannya dengan cepat membuka ponselnya. Ternyata ingatannya tidak salah sama sekali, dia menghela nafas lega.
"172 Madison Avenue, tolong bawa aku kesana!"Saat taksi melaju melewati lalu lintas New York yang sibuk, ia memutar nomor Nicholas Anthony. namun hingga dering terakhir, panggilan itu tidak dijawab.
"Bajingan sombong itu! Dia pasti sengaja mengabaikanku!" ia menggerutu marah.Jika ia mengikuti egonya, ia pasti akan membatalkan apa pun yang sedang ia lakukan dan kembali ke apartemen. Tapi bayangan ayah dan ibunya yang menatapnya dengan wajah sedih membuatnya tidak memiliki pilihan lain.
Ia terus menelepon Nicholas Anthony berkali-kali tetapi tetap tidak mendapatkan jawaban, sampai akhirnya, ia tiba di depan sebuah gedung tinggi yang merupakan bagian dari Anthony's Corp, setidaknya itu yang ia baca di internet. Dengan ragu-ragu ia melangkah ke lobi apartemen, ia tidak tahu di mana unit Nicholas Anthony berada dan resepsionis tentu saja tidak akan memberitahunya.
Ketika ia sedang bingung dan putus asa, tiba-tiba ponselnya berdering.
"Kau meneleponku tadi? Yah, aku tahu kau akan menelepon," suara Nicholas Anthony terdengar sangat menyebalkan.Rachel memejamkan matanya, haruskah ia kehilangan harga dirinya dengan menerima tawaran pria menyebalkan itu. "Ayo Rach, kau bisa minta bantuan Lucy, dia anak taipan kaya negri ini!" ia bergumam pelan di kepalanya.
"Aku menelepon untuk menanyakan tentang syal-ku, aku pikir aku meninggalkannya di hotel," gumam Rachel, tentu saja ia bohong, ia mencengkeram Syal yang tergantung manis di tas tangannya.
"Benarkah? Tidak, kau tidak meninggalkan syal-mu di hotelku, dan ngomong-ngomong, kenapa kau berdiri di lobi apartemenku?"
Rachel menjerit terkejut, ia berbalik badan dan membeku sesaat ketika ia menemukan Nicholas Anthony berdiri di belakangnya dengan pakaian olahraganya yang setengah basah oleh keringat.
"Bukankah itu syal yang kau cari?"
*****
"Ikut aku," kata Nicholas dingin."Aku tidak datang ke sini untukmu," kata Rachel singkat, ia berjalan menjauh dari Nicholas sambil mengepalkan tangannya erat-erat, sebaiknya ia membatalkan niatnya."Kau yakin akan terus bertingkah seperti itu? Aku tahu kau membutuhkan uang cepat, ayolah, jangan terus bersikap kekanak-kanakan, itu tidak akan menyelesaikan masalahmu," gumam Nicholas santai, tangannya terulur untuk menarik tangan Rachel dan membawanya masuk ke dalam gedung apartemen.Rachel menggigit bibirnya, berpikir dengan keras tentang solusi yang mungkin bisa menyelesaikan masalahnya. 'Astaga! Aku benar-benar tidak punya pilihan!' ocehnya dalam tanpa suara."Lepaskan tanganku! Aku lapar, beri aku makanan!" seru Rachel akhirnya. Ia berbalik badan dan berjalan ke lobi apartemen dengan Nicholas berjalan di belakangnya menahan tawanya.Semua orang mengangguk dan tersenyum sopan saat mereka berjalan melintasi lobi. Yah, tentu saja, bagaimana tidak, ia sedang berjalan dengan pemilik gedu
"Dia temanmu?" Nicholas bertanya, menunjuk dagunya ke Trey Cole yang menatap Rachel dengan antusias. Rachel mengerutkan kening, matanya tertuju pada lengan Nicholas yang melingkar di pinggangnya."Rachel?" suara Trey menyadarkannya. Rachel tersenyum kaku, "Trey Cole! Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini!" katanya sambil mencoba melepaskan diri dari Nicholas tetapi ia gagal, Nicholas tidak berniat untuk melepaskannya."Ya aku juga, kantorku ada di dekat sini, kau tinggal di gedung ini?" tanya Trey menatap Rachel dengan riang."Tidak, um...""Sayang, kau kan tinggal di sini, begitu kita menikah, tempat ini akan menjadi milikmu juga, mengapa kau masih malu-malu mengakui hal itu..." Nicholas tiba-tiba memotong kata-kata Rachel. Ia menatapnya dengan satu alis terangkat, mengisyaratkannya akan perjanjian yang akan mereka buat, Rachel meringis tetapi tidak mengatakan apa-apa.Trey menganggukkan kepalanya beberapa kali, "Begitukah? Mungkin kita bisa minum bersama kapan-kapan!" ka
"Apa yang kau lakukan! Kau mengacaukan dapurku!" bentak Nicholas, berjalan cepat ke arahnya. Rachel, yang terkejut, segera berdiri, tetapi ia tersandung bangku dan ember es krim di tangannya jatuh ke karpet dan meninggalkan noda yang sangat mencolok di sana. Dia menjerit, menutupi mulutnya dengan satu tangan. "Ya Tuhan, dia akan membunuhku!"Nicholas memelototinya dengan marah, dadanya naik turun karena kesal. "Kau!" desisnya dengan mata menyipit.Rachel menatapnya ketakutan, dia berjongkok dan menutupi kepala dengan tangannya."Apa yang kau lakukan? Kau pikir aku akan memukulmu atau apa?!" bentaknya, menyeka noda es krim dengan serbet. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau tinggal di sini, mungkin aku akan menjadi gila!" ia terus mengoceh tanpa melihat Rachel yang masih menutupi wajahnya dengan tangannya."Hei! Sampai kapan kau akan seperti itu? Bersihkan noda ini sampai tidak ada warna cokelat yang tersisa! Gunakan cairan ini!" katanya sambil melemparkan serbet dan sebotol
"Rachel?!" Nicholas melambaikan tangannya di depan wajah Rachel, menyadarkannya. Rachel buru-buru menarik diri dari Nicholas dan berdeham dengan gugup."Apakah kau sedang memikirkan sesuatu yang kotor? Mengapa wajahmu merah seperti itu?" goda Nicholas sambil mendengus tertawa.Wajah Rachel berubah lebih merah lagi, "Kau sangat menyebalkan!" bentaknya, menghentakkan kakinya lalu berjalan cepat ke pintu utama. Nicholas menahan tawanya dan mengikutinya di belakang. Mereka berdiri bersebelahan tanpa berbicara. Rachel terus mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa melupakan semua yang terjadi semalam. Ia bahkan merasakan sesuatu yang hangat di antara keda pahanya. Astaga! Ia tiba-tiba merasa jijik dengan pikirannya sendiri! Mungkin karena malam itu adalah kali pertama ia melakukan hubungan seks..."Apakah ibumu akan terkejut melihatku datang ke rumahmu?" Nicholas bertanya tiba-tiba."Apa? Kita tidak akan menemui orang tuaku hari ini, kan?" tanyanya panik."Tidak tentu saja tidak, kurasa
"Ya, besok, kenapa? Apakah kau keberatan?""Bukan itu, tapi aku tidak bisa begitu saja muncul di depan orang tuaku dan mengatakan aku akan menikah dengan orang asing!" Rachel bergumam tidak sabar."Kenapa tidak? Orang tuamu tidak akan keberatan mendapatkan menantu sepertiku, aku tampan, kaya, dan baik hati! Aku memiliki semua yang diperlukan untuk menjadi seorang suami!" kicau Nicholas dengan percaya diri.Rachel memutar matanya sambil menunjukkan ekspresi ingin muntah, "Astaga! Kau benar-benar berpikir kau sempurna, ya? Tapi maaf, bagiku, kau tidak terlihat keren sama sekali," ia berkata dengan wajah kesal.Nicholas mendengus, "Yah, aku tidak peduli apa yang kau pikirkan, yang jelas pernikahan harus diadakan akhir pekan ini atau tidak sama sekali!" katanya acuh tak acuh. "Kau tahu apa yang akan terjadi jika pernikahan itu dibatalkan kan? Kau harus membayar kembali semua uang yang telah aku keluarkan untuk membayar hutangmu, aku tidak peduli bahkan jika aku harus datang ke rumahmu dan
Rachel meringis, dia menatap Nicholas dengan tatapan kesal. "Kami tidak sengaja bertemu satu sama lain, bagaimana denganmu? Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya berusaha terdengar ceria. Nicholas memandangnya dan Trey secara bergantian, "Tidak sengaja bertemu? Apa artinya itu?" gumamnya dengan satu alis terangkat tinggi.Trey berdeham pelan, "Sebaiknya aku kembali ke kantor, Rachel terima kasih atas waktumu!" katanya sambil bangkit, ia mengangguk sekali kepada Nicholas dan kemudian meninggalkan mereka berdua dengan tergesa-gesa, ia tahu sesuatu yang buruk mungkin akan terjadi."Apakah kau mengikutiku?!" Rachel berkata, matanya menyipit menatap Nicholas dengan curiga. Dia terkekeh, "Mengikutimu? Apa menurutmu aku tidak punya pekerjaan lain? Kenapa aku harus mengikutimu?! Aku ingin mengambil sesuatu yang kutinggalkan di kantor Michael dan aku tidak sengaja melihatmu dengan pria menyebalkan itu!""Pria menyebalkan katamu? Kau bahkan tidak mengenalnya! Bagaimana kau bisa memanggilnya s
Dengan wajah kesal Rachel kembali ke penthouse Nicholas, ia masih tidak bisa menerima jebakan yang telah dibuat oleh Nicholas. Jika ia tahu sejak awal bahwa pengeluaran belanjanya akan dipotong dari uangnya sendiri, ia tidak akan menghabiskan sebanyak itu!"Ikuti aku," kata Nicholas, menaiki tangga ke lantai dua."Kita tidak akan tidur bersama, kan?" katanya penasaran. Nicholas tertawa terbahak-bahak, "Apa yang baru saja kau katakan? Apakah kau pikir aku bersedia tidur denganmu? Dengar, kau mungkin masih belum bisa melupakan apa yang terjadi pada kita tadi malam, tapi percayalah kita berdua mabuk dan itu semua terjadi begitu saja!"Rachel tidak menjawab, namun ia kehilangan keperawanannya pada seseorang yang tidak ia inginkan, itu cukup mengganggunya. Ia melangkah di depan Nicholas dengan beberapa tas belanja di tangannya. Nicholas menatap punggung Rachel, sebenarnya, ia mengerti apa yang sedang terjadi di kepala Rachel tetapi ia tidak berbohong ketika ia mengatakan semuanya terjadi b
"Kau tidak bercanda kan?" Rachel bertanya dengan gugup.Nicholas mengangkat bahu, "Kau tahu aku bukan tipe orang yang suka bercanda," katanya sambil melangkah mendekatinya."Apa yang sedang kau lakukan?" Rachel bertanya dengan panik."Apa yang kau katakan? Apakah kau setuju denganku?" Nicholas berdiri hanya beberapa inci dari Rachel sehingga Rachel dapat merasakan napasnya di kulitnya."Aku...aku tidak tahu, aku pikir aku harus pergi..." saat ia bergerak menjauh, Nicholas meraih tangannya dan menariknya mendekat, "Apakah kau yakin kau ingin pergi?"Rachel menahan napas, mengingat semua sentuhan yang diberikan Nicholas padanya tadi malam. Tiba-tiba ia merasakan dorongan kuat untuk mendekatkan wajahnya ke wajah Nicholas. Kemudian semuanya terjadi begitu cepat, ia menempelkan bibirnya dan menciumnya dengan gairah yang membara. Ia bisa merasakan tangan Nicholas yang menarik handuk kimononya dan mulai menyentuh bagian belakang pinggangnya. Rachel menghela nafas lembut ketika tangan Nichola