Pukul sembilan malam, Faezya baru sampai di rumah setelah seharian menghabiskan waktu bersama Juan. Di tangannya kini terdapat beberapa paperbag berisi baju, tas, sepatu, dan alat make up. Ketika tiba di ruang tamu.“Bagus,” ucap Wirawan menghentikan langkah Faezya. Dia duduk di sofa ruang tamu sembari melipat tangan di dada. Faezya menelan ludah. Karena terlalu asyik berbelanja membuatnya lupa jika kini dia sedang dalam masa hukuman. Harusnya tadi dia pulang lebih awal sebelum papanya pulang dari kantor. “Bolos kuliah, kabur dari Pak Rudi, pulang malam sama cowok. Apalagi setelah ini, Faezya?”Faezya diam. Membiarkan papanya mengoceh panjang lebar.“Apa perlu Papa bekukan ATM kamu biar kamu bisa berubah?”“Papah kenapa, sih? Fae cuma belanja, bukan dugem!” balas Faezya, kesal.“Dengan cara bolos kuliah?”Faezya tidak berkutik. “Tidak bisa kamu patuh sama kata Papa? Kuliah yang benar, pulang temani Mama kamu di rumah, dan tinggalkan pergaulan buruk kamu itu. Papa rasa itu tidak sul
“Lo bisa diam enggak, sih?” bentak Faezya, tidak tahan lagi dengan suara sember Larissa yang sedari tadi menyanyi mengikuti alunan lagu yang terputar. Segera dia mematikan lagu yang terputar dan kembali fokus pada jalanan di hadapannya.Suasana hatinya benar-benar buruk pagi ini. Dan keponakannya itu semakin membuat kepalanya pening dengan bernyanyi tidak jelas. Mengingat kembali percakapannya dengan sang papa tanpa sadar dia mencengkeram kemudi dengan kuat.“Papa akan kembalikan mobil kamu,” kata Wirawan kala Larissa terus merengek hanya ingin diantar Faezya ke sekolah tanpa sopir. Faezya nyaris memekik kesenangan dan mengacungi jempol pada akting keponakannya sebelum euforia itu padam begitu saja saat Wirawan melanjutkan, “Tapi, Ica pulang kamu juga pulang. Kalian sudah di rumah ketika sore, tidak ada acara keluyuran sampai malam.”Tentu saja Faezya tidak terima, itu sama saja hanya menjadikannya sopir untuk keponakannya itu. Dia harus mengantar dan menjemput Larissa sekolah dan tak
“Kaffir?” Sejenak Gaffi melongo, lalu mengulum bibir menahan tawa. Ternyata perempuan itu tidak mengingat namanya dengan benar. Jujur, dia sempat berpikir hanya berkhayal melihat gadis itu.“Lo ngapain di sini?” tanya Faeyza, menyerukan rasa penasarannya.“Saya mengajar di sini.”Sontak Faezya memindai penampilan Gaffi yang memakai batik yang serupa dengan guru lain. Potongan rambutnya juga rapi. Faezya mangut-mangut, memang seperti guru.“Kalau kamu?” Gaffi bertanya balik. “Mau ngejemput?”“Oh, gue lagi cari—”“Tante Fae!”Faezya dan Gaffi kompak menoleh ke sumber suara. Dari ujung koridor, Larissa tampak berjalan sembari melambaikan tangan heboh dan melebarkan senyumnya.“Gue duluan,” ucap Faezya menarik perhatian Gaffi padanya. Dia bermaksud hendak menghampiri Larissa. Tapi Gaffi dengan cepat menghalangi jalannya. Sontak saja dia menatap heran laki-laki itu. “Lo kenapa, sih? Gue mau lewat!”“Boleh saya minta alamat kamu?” “Hah? Alamat gue?” Faezya semakin bingung.Gaffi menganggu
Sekitar pukul delapan pagi, motor bebek Gaffi berhenti di pekarangan cukup luas sebuah rumah sederhana. Ada dua pohon mangga dan berbagai tanaman bunga yang menghiasi pekarangan itu. Membuatnya suasananya sejuk.“Bang Gaffi?”Gaffi berbalik badan dan menemukan Farhan—adiknya—berjalan mendekat. Remaja enam belas tahun itu masih mengenakan setelan shalat membuat Gaffi menebak, “Baru pulang dari masjid kamu?” tanya Gaffi setelah memberi salam dan dibalas oleh Farhan.Farhan mengangguk. “Ada pengajian, terus lanjut kerja bakti,” jelasnya.Mereka lantas berderap masuk ke dalam rumah. Terdengar suara Aminah dari dalam ketika mereka mengucap salam disusul langkah kaki yang terburu-buru.“Ya Allah ... anak Ibu!” Aminah langsung memeluk Gaffi penuh haru. Matanya sudah berembun. Gaffi membalas pelukan wanita yang sangat dicintainya itu. Sangat hangat dan memenangkan hatinya. “Ibu apa kabar?” tanya Gaffi, pelukan mereka terurai. Gaffi terkekeh kecil melihat air mata Aminah, segera diusapnya air
“Gaffi mau melamar perempuan.”Semua mata memandang Gaffi terkejut. Saking terkejutnya, Farhan yang baru saja memasukkan pisang goreng ke mulutnya nyaris tersedak. Buru-buru dia meraih gelas tehnya.Sementara itu Aminah memandang percaya tak percaya. Dia memang akhir-akhir gencar meminta calon mantu, tapi mendengar putra sulungnya ingin melamar perempuan tetap saja membuatnya tak percaya.“Kamu bilang apa?” Yusuf bertanya, takut telinganya salah dengar. Maklum, usia membuat indra-indranya tidak lagi bekerja secara maksimal.Gaffi menghela napas. Menenangkan detak jantungnya yang bergejolak. Dipandangnya bergantian wajah ibu, ayah, dan adiknya. “Gaffi mau melamar, Yah, Bu,” ucap Gaffi mengulang kalimatnya.“Kamu serius?” Yusuf kembali bertanya, seakan masih ragu. Gaffi tidak pernah membawa dan memperkenalkan perempuan kepada mereka. Laki-laki itu juga tidak pernah membicarakan apa pun. Wajar jika mereka terkejut dan sedikit tidak percaya. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba m
Sekolah masih sepi ketika Gaffi tiba. Di tempat parkir hanya ada dua motor, satu milik satpam dan satunya lagi milik petugas kebersihan sekolah. Dan kini bertambah satu, motor Gaffi.Udara masih terasa begitu sejuk. Titik-titik embun pada daun belum kering. Gaffi menarik napas dalam, menikmati udara segar yang tidak bisa dia rasakan ketika terik matahari mulai menyengat. “Assalamualaikum, Pak.” Gaffi melemparkan salam sapaan sembari tersenyum sopan pada Pak Kodir—satpam sekolah.Pak Kodir yang sedang menyesap kopi di pos lantas mendongak dan ikut tersenyum ramah. “Wa’alaikumussalam. Sudah datang, Mas? Di dalam masih sepi loh, Mas Gaffi.”Masih tersenyum, Gaffi membalas singkat, “Tidak apa-apa, Pak.”“Harusnya Mas Gaffi datangnya tiga puluh menit lagi biar tidak kepagian terus,” ujar Pak Kodir. Gaffi selalu menjadi guru yang pertama kali datang dan itu selalu sebelum pukul setengah tujuh.“Biar tidak kena macet, Pak. Enak juga berangkat pagi, sekalian hirup udara segar.”Pak Kodir men
“Sekarang buka mata lo, Cil!”Perlahan, kelopak mata Larissa terbuka. Pandangannya langsung disuguhkan dengan sesosok gadis cantik dalam pantulan cermin. Dia lalu meraba wajahnya, sedang matanya masih terpaku pada cermin di hadapannya.“Tante ...” lirih Larissa. “Yang di cermin itu beneran Ica? Kok, cantik, sih?” tanyanya, terperangah. Dia berdecak kagum melihat wajahnya sendiri yang tampak lebih cantik dan fresh dengan sentuhan make up ala Korea hasil karya Faezya.“Bukan, itu kalong wewe!” seru Faezya, sewot.Larissa mendelik tak terima. “Enak aja! Udah jadi jelmaan Bae Suzy gini masa dibilang kalong wewe!”“Cantik ketutup dempul aja bangga lo, Cil.”“Enggak papa, dong, cantik bantuan dempul. Make up, kan, emang untuk mempercantik. Yang salah itu cantik berkat ubah ciptaan Tuhan. Namanya enggak bersyukur.” Larissa berceloteh dengan pongahnya. “Pinter ngomong lo sekarang, ya!” Faezya menarik ujung rambut Larissa, kesal mendengar celotehan gadis itu.Mulut Larissa sudah terbuka henda
Menikah tidak hanya perihal ijab yang diucapkan dengan lantang atau para saksi yang berucap ‘sah’. Menikah juga bukan hanya tentang dua orang yang saling mencintai, lalu mengikat janji sehidup semati. Pernikahan lebih dari itu. Tidak sesederhana yang terlihat atau seindah yang dibayangkan. Namun, pernikahan tidak juga seseram yang ditakutkan. Setiap perjalanan memiliki tujuan, begitu juga dengan pernikahan. Ada tujuan yang ingin dicapai bersama. Karenanya, sebelum benar-benar masuk dalam hubungan pernikahan, ada banyak hal yang harus disiapkan dan dipertimbangkan matang-matang dari berbagai aspek. Kesiapan hati dan mental, visi dan misi untuk mencapai tujuan nikah, ilmu perihal rumah tangga, dan yang tak kalah pentingnya adalah kesiapan finansial. Banyak orang yang mengabaikan perihal kesiapan materi atau finansial ketika akan menikah dengan alasan rezeki sudah ada yang mengatur dan dapat dicari bersama. Tidak salah memang, tetapi kenyataannya tidak semua dapat bertahan dalam prose