Share

Kekesalan Faezya

“Uuh ... so sexy.”

Faezya tersenyum puas memperhatikan pantulan dirinya di depan cermin. Dress sabrina putih membalut tubuhnya dengan sangat sempurna. Rambutnya yang bergelombang di bagian bawah dibiarkan tergerai indah. Untuk ke sekian kalinya dia takjub akan kecantikan dan kesempurnaan tubuhnya.

Setelah selesai dengan urusan penampilan, Faezya beranjak hendak mengambil kunci mobil. Namun, dia mengernyit ketika tidak menemukan kunci mobilnya di atas nakas. Faezya diam, mencoba untuk mengingat di mana kunci mobilnya. Sesaat kemudian mendecakkan lidah ketika mengingat jika kunci mobilnya berada di Pak Rudi. Padahal tadi pagi dia sendiri yang memberikannya dan menyuruh Pak Rudi memasukkan mobilnya ke garasi.

Hari semakin sore, dia ada janji dengan para sahabatnya untuk ke salon. Jangan sampai dia terlambat dan berujung mendengar celotehan para sahabatnya itu.

“Bi, Pak Rudi mana?” tanya Faezya ketika Bi Siti lewat di hadapannya.

“Non Pae. Cantik banget.” Bi Siti tersenyum, lalu kembali berucap, “Pak Rudi tadi Bibi lihat lagi cuci mobil di depan.”

Tanpa mengatakan apapun lagi—termasuk ucapan terima kasih—Faezya segera berlalu dari hadapan Bi Siti. Dia berjalan keluar dan menemukan Pak Rudi sedang mencuci salah satu mobil papanya.

“Pak Rudi!” teriak Faezya seraya berjalan menghampiri Pak Rudi.

Pak Rudi menoleh. “Iya, Non? Ada yang bisa Bapak bantu?” ucapnya sopan.

“Kunci mobil saya mana?” pinta Faezya langsung.

“Kunci mobil yang mana ya, Non?” Pak Rudi terlihat bingung.

“Kunci mobil tamiya!” sentak Faezya. Dia menghela napas panjang, mencoba untuk sabar melihat wajah Pak Rudi yang semakin bingung. “Ya, kunci mobil saya, dong, Pak. Tadi pagi saya suruh kasih masuk mobil, sekarang kuncinya mana? Saya mau pergi ini,” paparnya.

“Oalah, yang itu. Saya bingung pas Non bilang, kunci mobil tamiya. Mobil tamiya yang mana?”

“Ck, malah curhat,” decak Faezya. “Ini kunci mobil saya mana, Pak?”

“Kunci mobilnya ada, Non,” jawab Pak Rudi. “Tapi, Pak Bos larang saya kasih ke Non Fae.”

“Kenapa?” lontar Faezya tidak terima. “Itu mobil saya!”

“Mulai hari ini Papah tidak izinkan kami bawa mobil sendiri. Pak Rudi yang akan mengantar kamu.”

Sejenak Faezya memejamkan mata ketika mengingat ucapan papahnya. Jadi, mobilnya benar-benar disita?

“Non kalau mau pergi biar saya antarkan.”

Faezya menatap sinis Pak Rudi. Dia lalu menjulurkan tangannya yang menengadah. “Sini kunci mobilnya!”

“Maaf, Non, saya tidak bisa kasih.”

“Pak Rudi gak punya hak tahan-tahan kunci mobil saya! Itu milik saya! Siniin, cepat!” lontar Faezya.

Pak Rudi menggeleng. Raut wajahnya tampak risau. “Saya tidak bisa membantah amanah dari papa Non Fae. Maaf, Non, saya cuma menjalankan perintah.”

“Kasih kuncinya!” tekan Faezya, tidak peduli dengan perkataan Pak Rudi sebelumnya. Masa bodoh perihal amanah atau apalah itu, dia tidak punya urusan dengan hal itu. “Saya keluar gak lama, Papa gak bakal tahu.”

Namun, keteguhan hati Pak Rudi menjalankan amanah dari Wirawan membuat Faezya berang. Dia melemparkan tatapan tajam penuh intimidasi sebelum matanya tak sengaja melihat ke arah dashboard mobil yang Pak Rudi cuci. Pintunya terbuka lebar sehingga dia bisa melihat jelas sebuah kunci dengan gantungan boneka kelinci mini yang tak lain adalah miliknya. Faezya tersenyum licik sembari terus mengintai kunci mobil itu.

“Non, kenapa—”

Mata Pak Rudi melebar ketika Faezya bergerak cepat mengambil kunci mobil itu di atas dashboard.

“Non, jangan!” pekik Pak Rudi panik bercampur ketakutan.

Faezya menyeringai penuh kemenangan. Dia memutar-mutar kunci itu. “Kalau saya minta, ya, kasih. Jangan ngeyel. Gini, kan, jadinya.”

Pak Rudi menatap Faezya dengan tatapan memohon. “Kembalikan, Non. Pak Bos bisa marah.”

“Ya, terus? Itu urusan Pak Rudi sama Papa, saya gak ada urusan,” sahut Faezya. “Pak Rudi mendekat, saya bakal teriak kalau Pak Rudi mau lecehkan saya,” ancamnya ketika Pak Rudi hendak mendekatinya.

Pak Rudi membeku di tempat. Meskipun dia yakin majikannya akan percaya bahwa dia seperti itu, tetapi dia tidak ingin mengambil risiko. Apalagi anak majikannya ini sangat licik dan penuh siasat.

“Bye, Pak Rudi!”

Faezya melambaikan tangan, lalu pergi ke garasi. Dia tersenyum miring, semakin kuat papanya mengurungnya maka semakin keras dia untuk menghancurkan sangkar itu agar bisa bebas.

🥀🥀🥀

Faezya menjambak rambutnya seraya berteriak kesal. Baru saja dia merasa di atas awan, kini dia merasa dilemparkan begitu saja kembali ke dasar bumi ketika melihat keadaan ban mobilnya yang terantai. Saat akan menjalankan mobilnya dengan perasaan senang dan menang, tiba-tiba mobilnya tidak bisa bergerak seperti ada yang menahannya. Merasa ganjil, akhirnya Faezya kembali turun untuk memeriksa. Dan betapa kesalnya dia ketika melihat rantai panjang mengitari ban mobilnya sehingga tidak bisa jalan.

“Sialan!” umpatnya.

“Non, ada apa?” Pak Rudi datang dengan napas putus-putus. Dia tadi mendengar suara teriakan Faezya membuatnya panik, takut anak majikannya itu kenapa-napa.

Faezya menatap Pak Rudi, ada kilatan amarah dari bola matanya. “Maksud Pak Rudi apa lakuin semua ini, hah?” bentaknya. “Banyak di sini cuma sopir, jangan sok kuasa!”

Pak Rudi terperanjat. Dia panik sendiri. “Maksudnya apa, Non? Saya tidak mengerti.”

“Gak usah sok bego, deh!” lontarnya kasar. “Kenapa Pak Rudi rantai mobil saya?”

Pak Rudi terlihat bingung. Dia lalu melirik ban mobil Faezya yang terantai. Itu bukan kelakuannya, dia saja cukup terkejut melihatnya.

“Buka sekarang!” titah Faezya.

Pak Rudi memandang takut anak majikannya itu. “Saya tidak tahu, Non. Bukan saya yang rantai. Mungkin Pak Bos yang melakukan ini biar Non Fae tidak kabur.”

“Gue juga tahu ini kelakuan Papah! Tapi, Pak Rudi komplotan sama dia! Gak mungkin gak tahu, lah!”

Pak Rudi menggeleng. “Demi Tuhan bukan saya. Saya tidak tahu sama sekali.”

Faezya menggeram frustrasi. Dia lantas melempar kunci mobil itu begitu saja. “Sialan!”

“Non kalau mau pergi biar saya yang antarkan,” tawar Pak Rudi di tengah rasa takutnya.

“Saya gak butuh!” lontarnya, lalu pergi setelah menendang ban mobilnya.

Pak Rudi memandang kepergian Faezya sembari mengelus dada.

“Sabar, sabar.”

🥀🥀🥀

“Mas, apa ini tidak keterlaluan?” ujar Yuni pada suaminya.

Wirawan menatap layar yang menampilkan rekaman CCTV di garasi mobil. Terlihat Faezya yang mengamuk pada Pak Rudi. Wirawan hanya mampu menghela napas melihat tingkah putrinya.

“Anak itu sesekali memang harus ditegasi biar tidak seenaknya dalam bersikap.”

“Bagaimana kalau Faezya malah tertekan? Aku tidak mau dia semakin jauh dari kita.”

Wirawan meraih tangan sang istri, lalu mengelusnya lembut. “Selama ini kita terlalu memberi dia kebebasan sampai dia tidak kenal aturan. Memberinya peringatan seperti ini bukan hal yang perlu ditakutkan.”

Yuni menatap sendu sang suami. Wirawan melemparkan senyum penuh ketenangan.

“Faezya akan kembali ke pelukan kita. Cepat atau lambat.

🥀🥀🥀

Brak!

Bunyi dentuman terdengar nyaring sesaat setelah Faezya menutup pintu kamarnya dengan kasar. Lalu, disusul suara teriakan penuh kekesalan.

“Argh!”

“Sialan!”

“Dasar tua bangka!”

Faezya melepas tas dan sepatunya, lalu melemparnya begitu saja. Kepala terasa begitu panas, dadanya bergemuruh penuh emosi. Papahnya kali ini benar-benar kelewat batas. Semakin mengekang dan mengaturnya ini dan itu. Rasanya di sudah muak berada di rumah ini, tetapi tidak mungkin juga baginya untuk keluar. Dia masih membutuhkan segala fasilitas dari orang tuanya.

Faezya mengempaskan tubuhnya di kasur. Memejamkan matanya, mencoba untuk mengatur napas yang memburu. Rasanya kepalanya benar-benar ingin meledak saat ini juga.

Deringan ponsel dalam tasnya terdengar beberapa saat kemudian. Faezya memilih untuk mengabaikan. Lagi pula dia sudah bisa menebak siapa penelepon itu. Kalau bukan Sabella yang siap mengomel karena dirinya belum datang juga, paling Juan—sang kekasih—yang masih mengharap maaf darinya.

“Fae, Sayang!”

Faezya menengok pintu kamarnya ketika mendengar suara mamanya dan disusul suara ketukan pintu.

“Sayang, ini Mama, Nak.”

Deg!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status