Share

Perdebatan Ayah dan Anak

“Faezya, Sayang! Anak Mama!”

Faezya menoleh ketika suara melengking mamanya terdengar. Entah dia harus bersyukur atau tidak atas kehadiran mamanya yang berhasil menginterupsi ucapan papanya. Dia juga malas meladeni kecerewetan mamanya.

“Anak mama!”

Faezya mendengkus ketika Yuni—mamanya—memeluknya erat hingga napasnya terasa ditekan.

“Sesak, Mah,” keluh Faezya.

Yuni melepas pelukannya. “Maaf, Sayang. Mama terlalu kangen sama kamu,” ujarnya, lalu menangkup wajah putrinya. “Kamu ke mana aja? Mama khawatir banget. Mama sama Papa telepon, kok, enggak diangkat?”

Faezya melepas tangan Yuni dari wajahnya, lalu berkata, “Fae habis kerja tugas, Mah. Enggak pegang hp biar tugasnya cepat kelar.”

“Kerja tugas?” cibir Wirawan. Perhatian Yuni dan Faezya beralih pada pria itu. Wirawan tersenyum remeh pada Faezya. “Mana laptop kamu? Mana buku kamu?” cecarnya sembari melirik sling bag Faezya yang hanya bisa menampung dompet dan ponsel.

Sialan! Ini semua karena Pak Rudi cepu!

Faezya menggigit bibir bawahnya. Bola matanya bergerak-gerak, mencari kebohongan untuk diucapkan. Sesaat kemudian, sudut bibirnya tertarik halus. “Laptop Fae ketinggalan di rumah teman.”

“Faezya ... Faezya ....” Wirawan terkekeh sinis. “Kamu pikir Papa akan percaya? Kamu mau bodohi Papa?”

Faezya menaikkan sebelah alisnya. Seringainya terbit begitu saja. Menatap papanya berani. “Memang begitu, kan? Kapan sih, Papa bisa percaya Fae?”

“Kapan kamu jujur, Faezya?” balas Wirawan. “Sekali kamu bohong, selamanya kamu tidak akan dipercaya lagi.”

“Kalau gitu, enggak usah tanya-tanya! Enggak percaya juga, kan?” sentak Faezya dengan berani. Dia mulai kesal.

Yuni mengelus pundak sang putri. Berharap putrinya itu tenang. Namun, Faezya tetaplah Faezya. Pewaris sifat keras seorang Wirawan.

“Papa begitu karena sayang dan peduli sama Fae,” ucap Yuni menenangkan.

Faezya melirik mamanya. “Sayang? Peduli?”

Yuni mengangguk.

Faezya menutup mulutnya seakan menahan tawa yang siap meledak kapan saja. Dia memandang pada mama dan papanya bergantian. Ada luka dalam sorot matanya.

“Waktu Fae butuh Papa, butuh Mama, kalian pada ke mana? Mana rasa peduli dan sayang yang kalian agungkan itu?”

Meski dadanya terasa sesak dan matanya mulai memanas, tetapi Faezya tidak akan menangis. Tidak lagi seperti ketika dia menunggu papa dan mamanya pulang. Tidak lagi seperti ketika  dia harus tidur sendirian dan berharap mama atau papanya datang menemani. Tidak ada lagi Faezya yang lemah.

“Kenapa baru sekarang kalian menawarkan rasa sayang dan peduli saat Faezya sudah terbiasa hidup tanpa semua itu? Fae enggak butuh itu lagi. Seperti kalian yang sibuk dengan dunia kalian, apa salah kalau Fae juga sibuk dengan dunia Fae sendiri? Fae hanya mengikuti apa yang kalian contohkan.”

Yuni menggenggam erat tangan sang putri. Rasanya ada jutaan jarum yang menusuk dadanya mendengar ucapan Faezya. Air matanya mulai luruh. Dia dan suaminya memang salah. Terlalu sibuk dengan bisnis membuat mereka lupa akan tanggung jawab terhadap Faezya. Membiarkan putri tunggal mereka tumbuh tanpa kasih dan sayang dari mereka.

“Mama di sini, Sayang ...” lirih Yuni, memandang sendu sang putri.

Faezya menggeleng, melepaskan tangan Yuni. “Mama enggak ada waktu Fae terima rapor. Mama enggak ada waktu Fae pentas. Mama enggak ada waktu Fae perpisahan sekolah. Teman-teman Fae semuanya ditemani mama-papanya, cuma Fae yang sendiri. Mereka semua dipeluk mama-papanya, sedangkan Fae cuma bisa menjadi penonton. Saat itu, di mana Mama dan Papa?”

Faezya menarik napas, membebaskan sesak di dadanya. Rasa sesak yang muncul ketika ingatannya terlempar di mana hidupnya hanya berteman sepi.

Dia selalu juara kelas dan menang lomba yang diikutinya. Namun, mama dan papanya tidak pernah berucap jika bangga padanya. Pialanya berjejer di lemari kaca, tetapi mereka tidak pernah melirik semua itu. Sekeras apa pun dia mencoba untuk mendapat perhatian papa dan mamanya, tetap saja dia gagal. Lalu untuk apa dia mempertahankan semuanya di saat orang tuanya saja tidak peduli? Jika mereka tidak bisa memberinya kebahagiaan maka biarkan dia sendiri yang mencari kebahagiaan itu? Bukankah kebahagiaan memang kita sendiri yang bentuk?

“Selama ini Fae enggak pernah protes dengan semua yang Mama-Papa lakukan, kan? Tapi kenapa sekarang kalian protes dengan semua yang Fae lakukan?”

“Maafkan Mama, Sayang ....”

Faezya tersenyum kecut. Kata maaf itu tidak ada gunanya lagi. Tidak akan mampu mengubah segalanya.

“Fae masih punya orang tua, tapi Fae selalu sendiri dan kesepian. Kalau kayak gitu ....” Sekali lagi dia menarik napas, membebaskan segala hal yang menghalau suaranya. “Apa bedanya Fae sama anak yang tidak punya orang tua? Fae seperti anak yatim piatu yang buta kasih sayang orang tuanya.”

“Faezya!” bentak Wirawan. Matanya memerah, marah.

“Apa, Pa?” balas Faezya sengit. “Fae salah lagi? Salahi aja terus, emang cuma kalian yang paling benar!”

“Ingat dengan siapa kamu bicara!”

“Ingat, kok. Fae bukan kalian yang suka lupa sama anak sendiri!”

Faezya menyeringai, menatap remeh wajah memerah papanya. Dia tahu betul jika ego papanya itu tergores. Puas dan muak, dia berniat berlalu dari sana, tetapi ucapan papanya berhasil membuatnya berhenti.

“Mulai hari ini mobil kamu Papa sita. Pak Rudi yang akan antar-jemput kamu,” putus Wirawan tak terbantahkan lagi.

Mengepalkan tangan, Faezya melanjutkan langkahnya tanpa berkata apa pun lagi. Seruan mamanya bahkan tak mampu menghentikan langkahnya. Dia benci hidupnya. Dia bukan burung yang harus terkurung dalam sangkar. Bahkan seekor burung sekali pun dia yakin merindukan kebebasan.

🍁🍁🍁

Helaan napas panjang keluar dari mulut Faezya setelah mengempaskan tubuh ke atas kasur. Pandangannya terpancang pada langit-langit kamar, pikirannya terbang tak terarah. Matanya terpejam. Sejak kecil, dia telah terbiasa dipeluk sepi dan hampa. Pada malam panjang penuh penantian akan hangatnya peluk dari orang tua, dia hanya mendapati dirinya diselimuti oleh dinginnya kesendirian.

Kembali menghela napas panjang, lagi-lagi Faezya mencoba untuk berdamai dengan dirinya dan melepas sesak di dada. Dia sudah terbiasa berada pada posisi ini, tetapi tetap saja rasanya tidak nyaman.

“Faezya.”

Matanya seketika terbuka, suara dan bayangan sosok Gaffi tiba-tiba terlintas begitu saja dalam pikirannya. Faezya menoleh ke kanan-kiri, suara laki-laki itu terdengar begitu nyata. Di detik selanjutnya, dia mengernyit ketika aroma citrus menyapa hidungnya. Ini jelas bukan aroma parfum atau pun pewangi kamarnya. Aromanya semakin kuat dan dia baru sadar masih memakai jaket milik laki-laki itu.

Tanpa sadar, Faezya mengendus jaket yang membungkus tubuhnya, wangi citrus yang segar menguar dari sana.

“Wangi banget,” gumamnya mencium bagian lengan jaket itu. Hingga kemudian dia segera menjauhkan lengan dari hidungnya. “Bego! Gue lagi ngapain, sih?” gerutunya saat sadar tingkah anehnya yang mengendus aroma jaket itu.

Tak ingin kembali bertingkah bodoh, segera dia melepas jaket itu dan melemparnya begitu saja. Biarkan saja Bi Siti yang membereskan jaket yang kini tergeletak di lantai itu. Sekarang dia ingin tidur dan berharap bangun dengan perasaan yang lebih tenang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status