Share

Bab 03

Tuan Omar terkejut, matanya melebar, ketika Prilly mengajukan penawaran yang tak terduga.

Saat Prilly mengutarakan rencana yang tak lazim itu, suasana berubah menjadi seakan waktu berhenti sejenak.

Meskipun terkesan sebagai langkah yang nekat, gairah untuk memahami lebih dalam terus menggelora di dalam diri Tuan Omar. Dengan tegas, dia menginstruksikan semua orang untuk meninggalkan ruangan, menciptakan kedamaian dan kesendirian di antara warna-warni lampu yang memenuhi klub tersebut.

"Tuan Omar, saya tahu ini terdengar gila, tapi saya tidak punya pilihan lain. Ibuku berada dalam bahaya besar, dan satu-satunya cara untuk menyelamatkannya adalah dengan memiliki uang yang sangat besar."

Prilly berusaha tetap tegar menjelaskan kepada Tuan Omar.

Dan pada saat itu, Tuan Omar tentu merasa bingung walaupun sudah dijelaskan mengenai alasan dibalik tercetusnya ide gila itu.

"Tapi Prilly, mengapa harus seperti ini? Mengapa Anda mengajukan tawaran yang begitu ekstrim? Dan apakah kamu sudah mempertimbangkan lebih dulu bagaimana hasil yang akan kamu dapatkan nantinya dari tindakan ini?" tanya Tuan Omar.

"Saya tahu ini mungkin terlihat sia-sia, tapi saya mencintai ibu saya dan saya akan melakukan apa saja untuk menyelamatkannya. Orang-orang yang mengejarnya, mereka bukanlah orang yang bisa dihadapi dengan berbicara. Saya membutuhkan jumlah uang yang tak masuk akal untuk membayar hutang dan memberi mereka apa yang mereka inginkan," jelas Prilly dengan mata mulai berkaca-kaca.

Tuan Omar menghela napas berat. "Tapi apa hubungannya dengan menawarkan rahim Anda? Ini adalah keputusan yang sangat besar, Prilly!"

"Saya sudah mencoba segala cara, tapi tidak ada yang berhasil. Saya tahu bahwa inilah satu-satunya cara yang mungkin berhasil. Jika saya bisa memberikan anak kepada Anda, saya harap Anda bisa membantu ibu saya keluar dari situasi ini. Tolong, Tuan Omar, saya tahu ini gila, tapi saya merasa seperti tidak punya pilihan lagi." Prilly menjelaskan dengan berlinang air mata penuh rasa putus asa.

***

Selama beberapa saat, hening menguasai ruangan ketika Tuan Omar merenungkan tawaran yang Prilly telah sampaikan. Pikirannya terombang-ambing di antara kesempatan yang terbuka dan keterikatan yang sudah ada.

Meskipun tawaran Prilly memiliki potensi besar, kenyataannya membuatnya ragu untuk segera memberikan respons.

Tawaran yang Prilly ajukan sungguh menggoda, dengan potensi untuk memberikan keturunan melalui rahimnya. Namun, dalam keadaan yang rumit ini, Tuan Omar sudah memiliki seorang istri yang telah lama bersamanya. Konsep menambah istri baru, bahkan jika hanya untuk tujuan yang unik ini, menjadi sebuah pertimbangan yang sangat pelik.

Dalam kebingungan ini, Tuan Omar merasa terjebak di antara tawaran Prilly yang tak biasa dan komitmen yang telah ada dalam hidupnya. Setiap pilihan memiliki konsekuensi besar, dan ia sadar bahwa keputusan ini akan membentuk jalannya di masa depan.

***

Setiap detik terasa memanjang saat Prilly menunggu dengan ketegangan, mengharapkan suara kata-kata yang akan menentukan jalannya masa depan.

Namun, saat detik-detik berlalu tanpa suara, Prilly merasakan kekecewaan merangkul hatinya. Entah bagaimana, dia merasakan getaran dari dalam dirinya yang mengatakan bahwa Tuan Omar mungkin tidak akan mengiyakan tawarannya. Dalam keheningan yang penuh arti, Prilly merasakan isyarat bahwa jawaban tidak akan menjadi yang dia inginkan.

Tak tahan dengan ketidakpastian yang semakin menjalar, Prilly akhirnya mengalah. Dia menghela nafas dalam-dalam, mencoba untuk menerima kenyataan yang tak terduga ini.

"Sudahlah," gumamnya dengan penuh kekecewaan. "Lagipula sejak awal, hal ini memang gila. Aku yang tidak waras, karena masih saja melakukan hal memalukan ini."

Dalam keputusasaan yang hampir membelenggu, Prilly merasa semakin terjepit saat waktu berlalu tanpa jawaban dari Tuan Omar.

Rasa kehilangan dan keputusasaan mulai memenuhi hatinya, dan dia mempersiapkan diri untuk mengucapkan kata-kata yang sulit.

Namun, sebelum dia bisa melafalkannya, telepon genggamnya mendadak bergetar lagi. Kali ini, panggilan video dari nomor ibunya muncul di layar.

Hati Prilly berdegup kencang, campuran antara kecemasan dan harapan. Dia merasa takut untuk menjawab, khawatir melihat apa yang mungkin telah terjadi pada ibunya.

Meski demikian, rasa tanggung jawab dan kecintaannya pada ibunya mendorongnya untuk tidak bisa mengabaikan panggilan itu. Dengan tangan yang gemetar dan napas yang terengah-engah, Prilly akhirnya mengusap jari-jarinya pada layar untuk menjawab panggilan video itu.

Wajah ibunya muncul di layar, dan dalam sekejap, air mata sudah mengalir deras dari mata Prilly. Kecemasan yang telah dia rasakan mendalam tumpah menjadi rasa sakit yang mendalam ketika dia melihat ekspresi ibunya.

Tangis tak terbendung meledak dari bibirnya, dan tanpa sadar, tangan Prilly kehilangan pegangan pada telepon genggamnya, membiarkannya jatuh ke lantai.

Namun, sebelum handphone itu hampir mengenai lantai, tangan Tuan Omar dengan cepat dan tepat menangkapnya. Wajahnya penuh dengan rasa simpati dan kepedulian.

"Ada apa? Semua baik?" tanya Tuan Omar.

Tuan Omar merasa khawatir saat melihat Prilly yang terlihat shock dan tak mampu menjawab pertanyaannya.

Tuan Omar dengan penuh rasa ingin tahu, tanpa ragu segera menatap layar handphone yang tiba-tiba jatuh dari genggaman Prilly.

Dalam sekejap, mata Tuan Omar terbelalak saat melihat pemandangan mengerikan macam apa yang terpampang di layar handphone itu.

"Apa-apaan ini?!" Tuan Omar ikut merasa shock saat melihat apa yang ada di handphone itu.

Pemandangan mengerikan yang sudah pasti akan sangat melukai hati seorang anak— ibu Prilly terikat di kursi kayu dengan banyak luka di wajahnya, dan bahkan kondisinya pada saat itupun terlihat sangat mengkhawatirkan karena kedua matanya tak lagi terbuka.

Besar kemungkinan ibu Prilly telah kehilangan kesadarannya pada saat itu.

Tuan Omar merasa terkejut ketika melihat kondisi ibu Prilly melalui sambungan video.

Namun, kejutannya semakin mendalam saat salah seorang preman dengan tegas mengancam, "Segera bawa uangnya kemari. Kalau ingin ibumu tetap hidup, jangan buat masalah dan selesaikan semua hutang serta bunga yang ada. Ingat, jangan sekali-kali lapor polisi. Nyawa ibumu ada di tanganmu!"

Tuan Omar merasa terjepit dalam situasi yang memilukan itu.

Dengan mata berkaca-kaca, Prilly mendengar ancaman preman tersebut dengan jelas, dan perasaan putus asa merayap dalam dirinya.

Tanpa ragu, ia menjatuhkan diri di bawah kaki Tuan Omar, suaranya penuh dengan kerendahan hati.

"Tuan, saya mohon dengan segala kerendahan hati, tolonglah bantu ibu saya. Saya tidak meminta secara gratis. Saya bersedia membayar berapapun harganya. Saya mohon, Tuan ...."

Ketidakberdayaan Prilly terpancar dalam setiap kata yang diucapkannya, seolah-olah ia telah mencapai titik terendah dalam hidupnya dan harapannya kini hanya bergantung pada belas kasihan Tuan Omar.

Dalam keputusasaannya, Prilly mencoba meyakinkan Tuan Omar bahwa ia rela melakukan apapun demi keselamatan ibunya, hanya jika Tuan Omar bersedia memberikan bantuan.

Kini, segala sesuatu yang terjadi bergantung kepada keputusan apa yang akan diberikan Tuan Omar!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status