Share

Istri Muda Tuan Omar
Istri Muda Tuan Omar
Penulis: Restiani

Bab 01

Prilly merasa hatinya berdebar-debar saat ia memandangi luar jendela klub malam. Cahaya neon menyilaukan, memancar ke gelapnya malam. Ini adalah malam yang sangat istimewa. Klub malam tempatnya bekerja sedang mempersiapkan kedatangan seorang tamu penting, Tuan Omar Malik. Sebagai salah satu orang terkaya dan terpandang; ketenarannya sudah menjalar ke seluruh penjuru kota.

Dengan gaun malam yang elegan, Prilly mengatur rambutnya dengan hati-hati dan mengecek penampilannya sekali lagi. Ia ingin memberikan kesan yang baik pada tamu penting ini. Sebagai seorang pelayan di klub, ia memiliki tanggung jawab untuk memastikan semua berjalan lancar.

Tiba-tiba, pintu masuk klub terbuka, dan Tuan Omar Malik masuk dengan langkah elegan. Prilly merasakan tatapan dari semua orang di klub yang tertuju pada Tuan Omar. Dalam sekejap, atmosfir di klub berubah. Prilly merasa tangannya sedikit gemetar ketika ia berjalan menuju meja Tuan Omar untuk mengambil pesanannya.

"Selamat malam, Tuan Omar. Apakah ada sesuatu yang Tuan Omar inginkan?" Dengan hati yang gugup, Prilly sudah mencoba untuk bertanya dengan sopan kepada tamu penting itu.

"Tolong bawakan segelas anggur merah," jawab Tuan Omar. Dia tak mengatakan hal lain kecuali lima kata itu.

Prilly berusaha menjaga ketenangannya saat ia pergi untuk mengambil apa yang diinginkan oleh Tuan Omar. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya seperti apa sosok Tuan Omar sebenarnya. Ia telah mendengar banyak cerita tentang kemewahannya, tetapi sekarang ia berhadapan langsung dengannya.

Setelah mendapatkan segelas anggur merah, Prilly dengan hati-hati membawanya kembali ke meja Tuan Omar. Prilly menempatkan gelas di depannya dengan senyuman sopan.

"Terima kasih."

Tuan Omar tampak ramah, mengucapkan terima kasih atas pelayanan yang Prilly berikan.

"Tidak usah sungkan, Tuan. Apakah ada lagi yang bisa saya bantu?" Prilly bertanya sekali lagi untuk memastikan jika tamu penting itu tidak merasa kekurangan apapun.

"Tidak, terima kasih. Saya hanya ingin menikmati suasana malam ini," jawab Tuan Omar dengan raut wajah yang tampak tak bersemangat.

Tuan Omar Malik duduk di sudut ruangan, matanya terlihat kosong dan pikirannya jauh. Malam yang seharusnya penuh gemerlap dan kebahagiaan ini, kini tampak redup di matanya. Prilly, yang berdiri di belakang bar, melihat ekspresi sedih yang terpancar dari wajah Tuan Omar. Hatinya tergerak oleh pemandangan itu, meskipun ia tidak tahu apa yang telah terjadi.

Prilly memandang Tuan Omar dengan rasa penasaran yang dalam. Namun, ia juga merasa dilema. Ia merasa terpanggil untuk mencari tahu lebih banyak tentang apa yang membuat Tuan Omar tampak begitu sedih, tetapi pada saat yang sama, ia sadar akan batasan status mereka. Tuan Omar adalah seorang tamu penting yang harus ia layani dengan baik, dan memasuki area pribadinya bisa dianggap sebagai pelanggaran etiket.

Sambil membersihkan gelas, Prilly mengutuk dirinya sendiri karena merasa begitu terpikat oleh situasi ini. Ia merasa seperti ada tali tak terlihat yang menariknya ke arah Tuan Omar. Namun, ia tahu bahwa memasuki perbincangan dengan Tuan Omar tanpa alasan yang jelas bisa menjadi risiko besar baginya.

Prilly melanjutkan pekerjaannya, tetapi matanya masih terus mengintip Tuan Omar dari kejauhan. Ia memperhatikan betapa dalamnya ekspresi kesedihan di wajah Tuan Omar. Ia ingin tahu apakah ada sesuatu yang bisa ia lakukan untuk membantu, tetapi ia tidak ingin melanggar batasan yang ada.

"Arghh, sudahlah! Lebih baik aku jangan melakukan apapun. Lebih baik diam saja!"

Prilly menekan kepada dirinya sendiri agar jangan melakukan apapun, karena apapun yang terjadi, satu-satunya pilihan terbaik yang ia miliki hanyalah diam dan jangan melakukan apapun yang tidak berkaitan dengan tugas yang ada.

***

Sementara Tuan Omar masih tenggelam dalam lautan kesedihan yang dalam, Prilly tetap terjebak dalam kepompong penasaran tentang alasan di balik ekspresi wajahnya. Walaupun ia berusaha untuk menjaga jarak yang pantas dengan Tuan Omar, rasa ingin tahunya terus menggerogoti.

Namun, keheningan yang menyelimuti mereka tiba-tiba terputus oleh suara dering tiba-tiba dari handphone Prilly. Suara dering yang tiba-tiba itu seakan memecah seluruh suasana yang tegang dan hening di ruangan klub itu. Prilly melirik cepat ke arah handphonenya yang terletak di atas meja, dan ia segera menyadari bahwa ia harus mengatasi situasi itu.

"Maaf ..." Prilly mengucapkan kata-kata tersebut dengan terburu-buru, sebelum ia dengan cepat bergerak untuk mengambil handphonenya.

Prilly melangkah keluar dari klub itu. Ia memutuskan untuk memberi ruang bagi kesendirian yang terdalam bagi Tuan Omar.

Ketika Prilly keluar dari ruangan itu, suasana canggung yang tercipta antara semua orang semakin terasa. Tuan Omar yang masih bingung dengan situasi yang mendadak berubah, berusaha mengatasi rasa keterkejutannya dan mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Wajahnya mencerminkan campuran antara kebingungan dan rasa penasaran.

Prilly menutup pintu belakangnya dan mengambil napas dalam-dalam, berusaha untuk meredakan kecanggungan yang masih menyelimuti dirinya. Ia melihat layar handphonenya dan melihat panggilan masuk dari ibunya. Tanpa ragu, ia menjawab panggilan tersebut.

Wajahnya tampak penuh kebingungan dan sedikit rasa kesal. Prilly merasa sangat ingin segera meluapkan rasa malu yang menghantuinya setelah kejadian memalukan tadi. Ia merasa telah memberikan peringatan berkali-kali agar ibunya tidak menghubunginya selama jam kerjanya, namun pesannya sepertinya belum sampai dengan jelas.

"Bu! Aku 'kan sudah berulang kali memperingatkan agar tidak menghubungiku selama jam kerja. Tapi kenapa ibu masih saja melakukannya?!" Dengan suara agak tinggi, Prilly bertanya.

Prilly merasakan getaran frustrasi memuncak begitu ia mengungkapkan kekesalannya kepada sang ibu melalui telepon.

Namun, tanpa diduga, suasana hening terus berlanjut di sisi lain garis. Rasa keheranan pun menggelitik Prilly, seolah-olah ia telah terjebak dalam keheningan yang tak biasa.

"Ibu? Ada apa? Kenapa diam begitu?!" desaknya dengan nada campuran antara kekhawatiran dan kebingungan.

Hatinya semakin berat ketika keheningan masih terus menggantung di udara.

Dalam momen ketika hening tak tertahankan, sambungan telepon tiba-tiba dihidupkan oleh suara asing yang gelap dan mengancam, memotong udara seperti belati tajam.

Suara itu, yang sama sekali bukan milik ibu Prilly, menyampaikan ancaman mengerikan kepada Prilly; melontarkan kata-kata yang menusuk ke dalam hatinya.

"Kau mendengarkan, Prilly? Lunasilah hutang ibumu dalam tempo singkat, atau akibatnya akan fatal. Kupastikan ibumu akan mati jika kau gagal."

Prilly merasakan kejut tak terkira dan panik melanda dirinya. Wajahnya memucat, dan matanya penuh dengan kebingungan dan keputusasaan. Hidupnya yang sudah penuh dengan kekhawatiran tiba-tiba terjun ke dalam gelombang baru ketidakpastian dan ketakutan yang jauh lebih dalam.

Dalam kondisi buruk ini, apa yang harus ia lakukan? Bagaimana mungkin ia bisa mencarikan uang yang jumlahnya tak sedikit dalam waktu yang singkat?!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status