Share

Mulai Sandiwara

Semua mata yang melihat kedatangan Ayunda bersama seorang pria nampak terperangah.

Berbagai macam pertanyaan dan juga dugaaan bermunculan dalam benak beberapa orang yang sedari tadi menunggu kedatangan Ayunda dengan pria yang katanya akan menjadi suaminya. Tentu saja, apa yang dipikirkan orang-orang itu berbeda satu sama lain saat melihat sosok pria tersebut.

"Kayaknya matang, ya?"

"Bule tuh pacarnya Ayunda!"

"Wah, ganteng. Tapi, kayaknya pemain wanita, deh."

"Tunggu, wajahnya kayak familiar?"

Semua pertanyaan yang bermunculan dalam benak mereka, mungkin akan mendapat jawabannya dalam waktu beberapa saat lagi.

Elang sendiri cukup terkejut begitu melihat sambutan dari keluarga Ayunda.

Di sana, ada tiga pria yang mungkin usianya tidak jauh dengan dirinya. Ada juga satu wanita dengan usia diperkirakan sama dengannya juga, serta dua wanita muda serta dua anak laki-laki.

Yang membuat Elang heran adalah, dari orang-orang tersebut, tidak satupun yang Elang kenal.

Padahal, Elang sempat berpikir kalau mungkin saja Ayunda ada sangkut pautnya dengan keluarga mendiang istrinya karena wajah yang sama.

Tapi nyatanya, apa yang ada dalam pikiran Elang, berbeda dengan kenyataan yang ada di depan matanya.

"Masuk, Mas," Ayunda mempersilahkan Elang dengan suara lembut.

Sesuai kesepakatan yang mereka buat saat dalam perjalanan menuju rumah, mereka sebisa mungkin harus bisa bersikap layaknya orang yang sudah lama memadu asmara.

Tidak mudah memang. Tapi mau bagaimana lagi? Memang, hanya cara itu yang harus mereka lakukan untuk saat ini.

Jadi, Elang mengangguk seraya mengembangkan senyum canggungnya. Dia melangkah menginjakkan telapak kakinya memasuki teras rumah, mengikuti langkah Ayunda yang sedang menyapa setiap orang di ruang tamu.

Sungguh, Elang tidak pernah kepikiran akan mengalami hal seperti ini di usianya yang sudah memasuki kepala empat. Dia terlihat seperti anak muda yang baru pertama kali menghadapi orang tua dari kekasihnya.

Malu dan sangat canggung, itulah yang Elang rasakan saat ini.

"Pak, Bu, kenalkan ini Mas Elang." Ayunda langsung mengenalkan nama pria yang bersamanya kepada orang tuanya.

Mereka pun saling melempar senyum satu sama lain dan berjabat tangan.

"Elang, Om," sapa pria itu saat menjabat Bapaknya Ayunda. Sikapnya seperti bukan Elang yang dikenal Ayunda.

"Saya Malik, ayahnya Ayunda," balas sang Ayah dengan segala keramahannya, "dan ini ibunya Ayunda, namanya Rumana."

Ibu Ayunda pun tersenyum dan mengangkup tangan di depan dada sebagai tanda hormat.

"Silakan duduk, nak Elang," sambung Pak Malik lagi.

"Baik, Om," jawab Elang canggung.

Selain berkenalan dengan orang tua Ayunda, Elang pun berkenalan dengan beberapa orang yang ada di sana.

"Jika boleh tahu, nak Elang tinggal di mana ya?" tanya Malik mulai membuka obrolan agar tidak semakin canggung.

"Saya tinggal di ibu kota, Om. Kebetulan hari ini saya ada pekerjaan di kota ini," jawab Elang berusaha tenang, sesuai rencana yang sudah disepakati.

"Oh, begitu," sahut Malik, "emang nak Elang bekerja di mana?"

Sebelum menjawab, Elang melirik sekilas ke arah Ayunda yang duduk di sebelah Ayahnya.

Mendapat tatapan penuh makna dari Elang, Ayunda terkesiap.

Hal itu tidak luput dari perhatian orang-orang yang ada di sana.

"Jujur aja bisa, kan? Ngapain pakai kode mata segala sih, Yun?" celetuk Maya dengan entengnya, hingga pasangan kontrak itu salah tingkah.

"Iya, tinggal jujur apa susahnya? Nggak perlu main petak umpet lagi."

Yanti menimpalinya agak ketus, sembari menatap sebal ke arah sahabatnya. Tampaknya, ia merasa Ayunda terlalu banyak rahasia.

"Saya bekerja di hotel Harmoni, Pak," jawab Elang masih dengan sikap yang sama, tenang meski hatinya sangat gugup.

"Hotel Harmoni?"

Salah satu warga yang ada di sana nampak terkejut begitu mendengar nama hotel yang disebut oleh Elang. Bahkan, warga itu semakin mengerutkan keningnya saat Elang mengiyakan pertanyaannya.

"Bukankah pemilik hotel Harmoni yang akan menggusur sebagian wilayah komplek ini?"

Warga yang lain ikut bersuara.

Keduanya kebetulan tetangga dekat Ayunda yang diminta untuk menemani saat menjamu "calon suaminya".

"Loh, jika kamu berasal dari hotel Harmoni, berarti kamu pasti tahu masalah yang terjadi antara warga sini dengan pihak hotel?"

Sekarang gantian ayahnya Ayunda yang bersuara, "Apa masalahnya sudah selesai?"

"Kebetulan, masalahnya sudah selesai, Om. Tadi siang kami kembali bermusyawarah dan kami sudah mengambil kesepakatan yang tidak saling merugikan," jawab Elang tenang.

"Terus masalah rumah saya bagaimana? Saya tidak pernah merasa menjual rumah ini loh? Apa ada solusinya?" tanya Malik lagi.

"Ya ampun, pak, Kan tadi Ayunda sudah bilang sama kita. Ayunda akan segera mendapatkan sertifikat rumah kita dengan bantuan pacarnya?" Istri Malik menyela ucapan suaminya, lalu dia menatap ke arah Elang, "apa benar, yang dikatakan Ayunda? Kamu akan membantu menebus surat tanah rumah kami?"

Elang mengangguk. "Itu juga yang menjadikan alasan saya, mengajak Ayunda untuk segera menikah, Tante."

"Iya, kami tahu, Ayunda juga sudah cerita. Ibu sama Bapak sih tidak keberatan kalau anak kami menikah. Toh, dia juga bukan remaja lagi. Cuma kami kaget aja, saat dia mengatakan kalau kalian akan menikah dalam minggu ini, apa itu tidak terlalu mendadak? Kalian tidak terlalu jauh selama pacaran, kan?" tanya Rumana dengan tatapan menyelidik.

Tentu saja Ayunda dan Elang terkejut mendengar pertanyaan Rumana. Mereka kembali saling pandang dengan perasaan yang tidak bisa diungkapkan.

"Mana mungkinlah, Bu. Kalau Elang tinggal di kota besar, berarti selama ini, mereka menjalani hubungan jarak jauh, benar kan, Nak elang?" Kembali Pak Malik bersuara, sedangkan Elang mengangguk sembari tersenyum canggung.

"Iya saya tahu, saya kan cuma menanyakan kepastian. Pak. Bapak kayak nggak tahu aja warga sini dan keluarga besar kita itu gimana," timpal Ibu Ayunda kesal, "kalau ada orang yang mendadak nikah, pasti pikiran mereka langsung pada negatif."

"Iya, Bapak tahu."

Mengingat sedang ada tamu, jadi Malik tidak mau terjadi perdebatan--membuat Rumana mendengus.

Namun, wanita itu tak sengaja melihat ke arah mobil mewah milik Elang. "Apa itu mobil, beneran punya kamu?" tanyanya penasaran.

"Iya, Tante, itu mobil saya," jawab Elang menahan bingung.

"Berarti kamu dari kalangan orang kaya, ya? Apa orang tua kamu akan merestui pernikahan kalian? Secara, kamu sudah lihat sendiri, perbedaan yang nyata antara kamu dan Ayunda. Sebagai orang tua, saya cuma tidak mau terjadi hal yang buruk kepada anak saya nantinya."

Elang tertegun untuk beberapa saat. Matanya lekat menatap beberapa orang yang juga sedang menatap kepadanya.

"Maaf, Om, Tante, keluarga saya, bukan keluarga yang suka membeda-bedakan orang lain dengan hartanya. Jadi, Om dan Tante tidak perlu khawatir dengan keadaan Ayunda jika nanti dia sudah sah menjadi istri saya. Dia akan tetap aman dan baik-baik saja."

Ayunda yang mendengar ucapan Elang justru malah bergidik ngeri.

Pikiran wanita itu sudah menebak kalau apa yang dikatakan Elang pasti hanya tipu muslihat semata.

Mana mungkin, pria kaya itu akan memperlakukan wanita biasa dengan baik?

Pernikahan keduanya saja terjadi gara-gara sebuah pernjanjian.

"Benarkah?" tanya Rumana memastikan--membuyarkan pikiran Ayunda yang sedang melanglang buana. 

Elang  tampak mengangguk serta mengiyakan pertanyaannya.

Tak lama, Rumana dan semua yang ada di sana, merasa lebih lega.

Mereka lalu secara bergantian saling melempar pertanyaan kepada Elang.

Bahkan, pertanyaan yang tidak ada hubunganya dengan Ayunda. Beruntungnya, Elang mampu menjawab semua pertanyaan dengan baik dan memuaskan.

"Mas Elang," panggil Maya, "kalau dilihat-lihat, wajah Mas Elang seperti bukan orang negara ini? Apa Mas Elang berasal dari luar negeri?"

Elang mengangguk. "Kebetulan, almarhum ayah saya orang Eropa dan aku juga lama tinggal di beberapa negara di Eropa sana."

"Oh maaf, ayah kamu sudah meninggal?" tanya Ibu Ayunda.

"Iya Tante. Sekitar lima tahun yang lalu," jawab Elang yang kini lebih bisa bersikap santai dengan hati yang tenang setelah cukup lama berbincang dengan calon keluarganya itu.

"Oh gitu?" sahut Rumana, "kalau boleh tahu, Nak Elang di hotel Harmoni kerja sebagai apa?"

Elang sedikit ragu untuk menjawabnya. Sejenak dia menatap ke arah Ayunda, sebelum menjawab pertanyaan dari calon mertuanya. Namun tak lama setelahnya, Elang pun berkata, "Saya pemilik hotel itu, Tante."

"Hah?!"

Semua orang terperangah mendengar jawaban Elang.

"Pantes, wajahnya tidak asing!" seru Maya, "eh ... tapi, tunggu dulu! Kalau anda pemilik Hotel Harmoni, berarti usia Anda..."

Ucapan Maya terhenti, tapi Elang menyadari perkataan Maya ke arah mana.

Jadi, pria itu pun menganggukan kepalanya. "Benar, usia saya memang terpaut cukup jauh dari Ayunda. Usia saya saat ini sudah 40 tahun."

Rcancer

Terima kasih teman-teman sudah membaca ceritaku. Kira-kira gimana kelanjutannya. ya? Ikuti terus kisah Elang dan Ayunda di sini!

| 3

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status