Share

Bab 2. Nyonya Berperan Pembantu

Semua pekerjaan hari ini selesai tepat waktu. Lana tersenyum puas, sebab merawat rumah adalah hal yang paling dia sukai. Setiap vas yang ada di mansion ini terisi oleh bunga, yang Lana rawat sepenuh hati pada waktu luangnya.

Menebarkan pandangan ke sekeliling ruangan luas yang biasa dijadikan tempat berkumpul kolega Isac, Lana merasa jika dia mulai terikat dengan rumah ini. Meski penghuni di sini tidak memperlakukan dirinya dengan baik, tapi Lana merasa cukup nyaman.

“Hei! Ngapain bengong?!” Suara bentakan yang begitu keras terdengar di telinganya, membuat Lana hampir melompat kaget.

Esther, bibi dari Isac yang memiliki wajah mirip penyihir itu, tampak geram saat memergoki Lana berdiri tanpa melakukan apa-apa.

“Kamu nggak liat itu debu di piano? Dilap, jangan cuman melongo kayak manusia tolol! Kerja aja harus dibilangin setiap hari!”

Lana mengangguk, tak menjawab sedikit pun. Esther berlalu sambil mendengus sinis, meninggalkan wanita yang semestinya dia perlakukan sebagai menantu dan bukan pembantu dengan hati puas.

Sejak orang tua Isac meninggal sewaktu anak mereka remaja, Esther dan suaminya, Johan, menjadi pengasuh lelaki itu dan Mona. Walau tidak membesarkan dengan baik, kenyataannya Esther dan Johan menagih hutang budi dengan menumpang hidup mewah setelah Isac sukses.

Lana selalu melakukan tugas dengan hati tulus dan tidak mengeluh, terlepas dari segala cacian yang tertuju pada dia. Ada kalanya dia bisa istirahat dari segala intimidasi, jika Isac berada di rumah.

Namun, itu sangat jarang terjadi ….

Tap tap!

Suara sol sepatu menapak di lantai marmer terdengar, tapi Lana tidak menyadari. Dia kembali sibuk mengelap piano hitam yang ada di ruangan tersebut, hingga mengkilap.

“Permisi.”

Suara bariton bulat dan dalam menyapanya, Lana yang tengah berjongkok untuk mengelap bagian bawah piano spontan menengok. Ia menemukan kaki panjang terbalut celana hitam rapi dengan sepatu senada yang pasti mahal jika dilihat dari bentuknya.

Ia perlahan mendongak, pria asing tersebut berbalik menatapnya. Memiliki rahang kokoh dan hidung tinggi yang tegas, Lana selama beberapa detik mengagumi lekuk nyaris sempurna di raut muka laki-laki asing itu. Rambut sedikit berombak tampak tersisir rapi, dengan jenggot dan kumis baru tumbuh kasar yang menambah kesan jantan.

“Ya?” sahut Lana, belum mengubah posisi semula.

“Maaf, tapi pelayan di depan mengatakan jika aku bisa menemui nyonya rumah di ruangan ini. Apakah aku bisa dibantu, untuk menemui beliau?”

Ucapan yang terlontar dengan sangat sopan tersebut membuat Lana terkesan. Meski eskpresi lelaki yang kisaran usianya Lana tebak di akhir tiga puluhan itu terlihat dingin, tapi sikap dan suaranya lebih beradab dari semua orang yang ia kenal.

Dengan sikap sungkan, Lana pun berdiri. Lap dekil yang ia pegang Lana sembunyikan ke belakang tubuhnya.

“Aku adalah nyonya rumah ini,” jawab Lana, terdengar sumbang tanpa percaya diri.

Mata dengan retina cokelat itu melebar, secara refleks lelaki tersebut memperhatikan sosok wanita muda di depan dari atas hingga ke bawah.

Rambut tebal dan ikal Lana terikat setengah, pakaian yang dia kenakan hanyalah gaun sederhana selutut yang motifnya nyaris memudar. Sulit dipercaya, jika gadis itu adalah nyonya dari Isac Morino. Deskripsinya tidak sedikit pun mendekati, sebagai pendamping pria miliuner yang kaya raya di kota tersebut.

Meskipun memiliki paras yang sangat menawan, jika dilihat dengan benar, tapi dia tidak mencerminkan sebagai sosok wanita berkelas. Lebih menyerupai gadis lugu dari desa, daripada istri seorang pengusaha yang ditakuti seantero kota.

“Oh ….” Hanya itu komentar pertama, yang keluar dari mulut tamunya. 

Lana berdiri kikuk, melirik sekilas dan menunduk lagi. 

“Ada yang bisa kubantu?” tanyanya begitu pelan.

Tergagap serba salah, pria itu segera menguasai diri.

“Ah, ma-maaf! Ak-aku … Pascal! Pascal Maximus!” Lelaki itu mengulurkan tangan kepadanya, disambut oleh Lana dengan segan.

Genggamannya terasa hangat, tapi tangan kokoh yang menjabat jemari Lana itu ditanggapi lewat gerakan kaku. 

Jam yang ada di pergelangan itu sangat mahal dan Lana kian tidak memiliki percaya diri. Membetulkan jas sambil berdehem, Pascal segera menjaga sikap betul-betul.

“Tuan Morino memintaku untuk menjemput Nyonya. Kita akan menemui dia di restoran Golden King. Aku akan menunggu, sementara Nyonya bersiap.”

Lana terdiam, tak segera menyahut. Ini kali pertamanya Isac mengutus seseorang untuk menjemput dia dan itu sangat ganjil. 

“Kenapa dia nggak nelpon aku?” 

Pertanyaan Lana sangat wajar, dan Pascal pun memahami kecemasan gadis itu. 

“Nyonya mau bicara dengan Tuan Morino lebih dulu? Aku nggak masalah kok,” balas pria itu, tetap menjaga kesopanan.

Lana mengangguk, berjalan menjauh untuk menghampiri pesawat telepon di dekat lemari berlaci dari dinasti Ming. Ia menekan nomor seraya menoleh ke arah Pascal, dalam beberapa detik kemudian tersambung.

Suara lembut Isac menyapa, membenarkan jika dia memang mengirim seseorang. Lana sempat menanyakan, kenapa dia tidak kembali ke rumah, tapi Isac memintanya untuk datang agar bisa menjelaskan lebih baik.

Menutup panggilan dengan hati lumayan lega, Lana kembali menghampiri Pascal. Namun, belum juga lebih dari dua langkah, suara melengking Mona terdengar.

“Lanaaaa! Kenapa bajuku belum dikirim ke kamar?!” 

Pascal mengerutkan kening, seiring kemunculan wanita sintal dengan postur tinggi keluar dari arah lantai dua. 

“Ben-bentar, Mon. Aku udah setrika tadi,” sahut Lana gugup.

“Kamu paham nggak, aku harus dateng ke pesta jam delapan?! Ini udah jam berapa?! Ngapain aja sih dari tadi?!” semprot Mona, tanpa menyadari kehadiran Pascal yang terhalang patung.

“I-iya, aku ambilin sekarang.” 

Lana tidak sempat pamitan kepada tamunya, segera melesat pergi dengan langkah kaki tergesa. Pascal menghela napas, berusaha untuk tidak syok atas perlakuan wanita tadi terhadap Lana.

Ia berjalan menuju ke sofa, seiring Mona naik ke atas dengan pijakan kaki kesal. Duduk sembari berpikir keras, sepertinya dia mulai mengerti akan tujuan Isac memanggil dia.

Dua puluh menunggu dan nyaris meminta bantuan pelayan yang lewat, akhirnya Pascal melihat Lana muncul dengan kondisi sudah rapi. Setidaknya penampilan sekarang jauh lebih baik daripada tadi.

Meski gaun bernuansa hitam di bawah lutut tanpa lengan itu tetap sederhana, tapi Lana tampak rapi dan tidak kucel.

“Maaf, udah nunggu kelamaan,” sesal Lana. 

Pascal menggelengkan kepala samar. “Nggak apa-apa. Kita bisa pergi sekarang, Nyonya Morino?” 

Gadis yang menguncir rambut dengan gaya ekor kuda tersebut mengangguk. Dia justru seperti remaja belia dengan penampilan sekarang. Tas selempang kulit kecil itu menambah kesan jika Lana masih sangat polos dan tidak tahu bergaya.

Ditambah flat-shoes model dulu, Pascal tidak akan mengenali dia sebagai istri Isac jika tanpa informasi apa pun.

Menaiki mobil Bentley keluaran terbaru, Pascal memberitahu lokasi berikutnya pada sopir. Kendaraan itu melaju pelan, keluar dari kediaman mewah.

“Kenapa kamu diam aja, diperlakukan seperti tadi?” 

Pertanyaan Pascal menyentak Lana yang melamun. Ia menoleh ke samping, di mana pria itu berada. Menelan cairan di mulutnya disertai sudut bibir membentuk senyum kecut, Lana menggeleng lemah.

“Udah biasa, nggak masalah. Aku emang pantas nerima semua itu, toh nikah dengan Isac juga karena keluargaku nggak mampu bayar utang. Diliat dari strata, diri ini nggak layak untuk disebut nyonya,” sanggah Lana, dengan suara bergetar.

“Pantas? Ini bukan soal pantas atau tidak, Nyonya Morino! Dirimu berhak untuk ….”

“Bisakah kita nggak usah bahas soal ini?” sambar Lana buru-buru, tangan yang bergerak itu tampak gemetar. “Kumohon, jangan juga ceritain ke Isac, karena … karena aku nggak mau sesuatu buruk terjadi sama keluargaku.”

Pascal benar-benar terhenyak, menatap raut ketakutan Lana yang menurutnya tidak masuk akal. Ia mengembuskan napas kesal, raut angkuhnya seketika tercipta. 

Ada yang terjadi tanpa sepengetahuan Isac dan itu sepertinya telah berlangsung lama. Pascal memang sedikit paham soal kelicikan keluarga besar lelaki yang dikenal orang sebagai penguasa kaya raya dengan harta melimpah, tapi tak menyangka akan sejauh itu mereka bertingkah.

Semua keluarganya menggerogoti, seperti semut yang merubung gula. Entah Isac sadar atau tidak, tapi wanita yang dia nikahi itu berada dalam situasi buruk. 

Ia berpaling ke samping, menggelengkan kepala disertai hati iba, saat menemukan Lana sudah tertidur pulas. Mungkin dia terlalu lelah, karena seharian bekerja keras. Pascal tidak sanggup membayangkan hari-hari yang harus dilalui oleh Lana.

Nyonya yang seharusnya diperlakukan seperti ratu itu, harus berperan menjadi pembantu hina di rumah sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status