Share

Istri Muda sang Mafia
Istri Muda sang Mafia
Author: Theresia Rini S

Bab 1. Menjalani Seribu Takdir

“Nikahi dia dan hidup kita akan selamat dari penjara juga risiko mampus, Lana!”

Teriakan ultimatum dari paman dan sang ibu tercinta menggelegar di siang hari, bagaikan petir yang menyambar segenap jiwa dan raganya. Meski kiasan belaka, kenyataannya, Lana telah mati rasa semenjak melangkah ke dalam pernikahan rekayasa tersebut.

Lana tersudut, hingga dia tak memiliki ruang bergerak lagi. Detik-detik dirinya nyaris putus asa, pria tua itu ternyata manusia yang sangat baik dan tidak pernah menyentuh dirinya, Lana tetap utuh.

“Aku bukan pria bejat, yang menikahimu karena nafsu. Aku hanyalah pria tua kesepian, yang butuh teman bicara. Ada malam-malam tertentu, kesunyian itu begitu mencekik.”

Isac kehilangan istri sepuluh tahun lalu. Lana seakan mendapat perlindungan dari lelaki yang menjadi pengganti ayahnya. Kebaikan suaminya luar biasa menyentuh sanubari Lana.

Pria yang dikenal sebagai sosok sangar dan keras itu, ternyata menyimpan kebaikan tersembunyi. Bahasa dan caranya berbicara pada Lana juga sangat lemah lembut.

Namun, menjalani pernikahan di usia muda dengan gelimang harta tidak membuat Lana bahagia. Segala kemudahan itu hanya terjadi jika Isac ada di rumah saja. Begitu suaminya pergi ke luar kota, kerabat Isac akan menempatkan Lana di situasi yang terhina.

Hari-harinya tak lagi sama, penuh tekanan dan deraan intimidasi dari banyak pihak, terutama dari keluarga besar suaminya. 

Lana berusaha menyimpan semua, sebab penyataan dari keluarga Isac selalu menempatkan gadis itu ke dalam ketakutan yang tak berkesudahan. 

Dari ancaman siksaan fisik, hingga melibatkan paman juga ibunya, Lana harus menelan semua itu dalam diam. Dia bisa bertahan, meski harus menjalani seribu takdir kelam.

Terlahir sebagai anak tunggal, masa kecilnya dulu sangat bahagia sampai ayah tercinta meninggal secara misterius.

Lana menyimpan kenangan indah itu sebagai pegangan untuk mampu menjalani hari-hari ke depan. Langkah itu kadang gamang, tubuhnya juga penat. Hanya saja, dalam jiwa itu masih menyala sedikit cahaya redup yang berkelip begitu kecil. 

Doa Lana, suatu saat hidup akan tersenyum padanya.

[-]

Semilir angin sejuk yang bertiup dari celah jendela itu memasuki kamarnya. Rumah bergaya Belanda tersebut sangat mewah dan berkelas. Wanita berambut ikal tebal yang terbaring di kasur itu membuka mata.

‘Apakah aku masih hidup?’

Lana Bastin, perempuan berusia dua puluh satu tahun yang memiliki kecantikan klasik itu bergerak pelan seakan enggan. Meluruskan posisi tidurnya, ia menghadap ke arah langit-langit kamar. 

‘Kenapa aku masih di sini?’ 

Helaan napas itu terhela, seperti sebuah sesal sebab dirinya masih berada di tempat yang sama. Semalam Lana menemukan obat dari suaminya dalam tas. Entah apa yang merasuki pikirannya, ia menelan semua sebelum tidur.

Dia tidak sempat merasakan apa pun, deraan mengantuk itu menyeret Lana ke alam bawah sadar. Ia tidak tahu, berada di alam mimpi atau sudah mati, tapi Lana merasakan ketenangan luar biasa.

Sebuah situasi yang sudah lama tidak dia dapatkan. Hidupnya penuh dengan drama. Semua orang yang Lana percayai begitu tega mengombang ambingkan dirinya ke dalam nasib buruk tak berkesudahan.

Kini, ia terdampar dalam kondisi hancur, baik jiwa maupun raga. Mentalnya terhempas berulang kali, hingga nyaris tak sanggup melewati satu hari lagi. 

‘Caci maki dan intimidasi itu akan kudengar lagi ….’

Lana memejamkan mata, seakan tidak ingin bangkit dari ranjang nyamannya. Dia menyukai waktu tidur, sebab Lana tidak perlu bertemu dengan siapa pun. Ironisnya, manusia yang dia coba hindari adalah kerabat dari suami yang begitu baik memperlakukan Lana.

Entah, apa kesalahan yang pernah dia perbuat, tapi tak ada satu pun yang menganggap Lana sebagai kakak ipar yang seharusnya berkuasa atas mereka. Adik Isac, beserta dengan anak-anak pemalasnya, paman juga bibi dari Isac, semua menetapkan Lana sebagai manusia paling hina.

Setiap hari adalah rasa takut, menghadapi detik demi detik, menit menuju ke jam. Dia tidak akan pernah siap atau terbiasa menghadapi, sebab jiwa itu terlalu lelah untuk mendampingi tubuhnya mengayun langkah. 

Harapan Lana sudah terlalu lama mati.

Dia pernah menjadi sosok gadis ceria, tapi itu dulu ….

Saat sang ayah masih hidup, menjadi naungan satu-satunya untuk Lana. Dia adalah seorang laki-laki hebat yang selalu memiliki sinar penuh semangat di matanya. Tiada hari yang Lana lalui tanpa merasakan bahagia. 

“Kamu adalah putri papa yang paling keren. Suatu saat nanti, papa bakal merasakan bangga yang luar biasa, karena kamu membuktikan diri sebagai perempuan kuat.”

Kenyataannya, dia tidak lebih dari seorang wanita lemah yang selalu mengiyakan saja, tidak berani membantah. Selama bertahun-tahun, ibu dan pamannya memanfaatkan Lana. Dari memaksa Lana bekerja di kasino sebagai penghibur lelaki hidung belang, hingga menikahkan dia dengan pria tua yang kini menempatkan dia di neraka. 

Sejauh ini, Lana masih bisa menjaga keutuhan diri. Dia tidak pernah membiarkan siapa pun menyentuhnya, termasuk Isac yang begitu menghormati Lana.

Dentang jam dinding tua berharga ribuan dollar terdengar dari luar. Kondisi luar masih gelap, tapi Lana harus beranjak dari tempat tidur. 

Banyak tugas yang menanti, selama Isac ada di luar rumah. Ini adalah bulan ketiga dia menempati rumah mewah di kawasan kota besar.

Sejauh ini Lana masih bersyukur, sebab ada naungan untuk dia tinggal. Namun, apakah menjalani hidup seperti sekarang adalah pilihan terbaik?

Dok dok!

Gedoran keras terdengar di pintu. Lana sudah menduga, siapa yang melakukannya.

“Lana! Bangun, Pemalas!”

Suara Mona, adik suaminya, terdengar penuh kebencian. Lana beringsut dari tempat tidur, menyeret kaki malas untuk membuka pintu.

Klik.

Mata melotot dan sikap geram sudah menghadangnya.

“Kamu pikir kalo tidur dapet duit? Jangan bertingkah kayak nyonya besar dong! Tahu nggak ini udah jam berapa?! Sarapan udah bikin belum? Enak-enakan tidur!” damprat Mona, ludah itu sampai menyemprot di wajah Lana yang tergagap.

“Maaf, Mon. Baru bangun,” sahut Lana selirih mungkin. “Tadi malam bersihin gudang sampe jam dua.”

Wanita bertubuh sintal dengan tinggi sedang itu mendengus kesal. “Alasanmu selalu itu! Kalo nggak kerja, emangnya selama ini makananmu gratis?!”

Tanpa simpati, dia menjambak rambut Lana. “Buruan bikin sarapan, Tolol! Lama-lama nggak sabar aku ngadepin kamu!”

Lana terhuyung ke depan, meringis dengan mata merebak. Dia mengiyakan dengan tubuh gemetar, lalu bergegas ke dapur buru-buru. 

Segenap pegawai di rumah itu sudah terbiasa menghadapi perlakuan buruk keluarga Isac Morino terhadap nyonya rumah mereka. Wanita muda itu selalu diam dan tidak pernah membantah sedikit pun. 

Lana cenderung menghindari konflik, menerima semuanya dengan tabah. Sementara menyiapkan makanan, keluarga besar Isac duduk bersantai di meja makan panjang. Lukman, suami dari Mona, yang sedang membaca koran mengintip saat Lana datang membawa nampan bersama dua pelayan lainnya.

“Kamu itu mirip almarhum kakak ipar kita yang udah mati! Lambat, nggak pernah gesit!” kecamnya.

Semua mata melirik kesal, seolah memiliki pemikiran yang sama. Dua anak kembar Mona yang seumuran dengan Lana bahkan mencibir, tertawa mencemooh.

“Sekali mental pembantu, selamanya bakal kayak gitu!” Sona, si kembar yang bermulut paling nyelekit turut mengumbar hinaan.

“Mending cuman males, tapi bego juga!” Sola, kembaran Sona yang suka memerintah seenaknya tidak mau kalah.

Di ujung, paman dan bibi Isac hanya tersenyum sinis, tapi tumben sekali hari ini keduanya tidak melontarkan apa pun.

Semua kalimat dia dengarkan dengan mata berkaca-kaca. Meski sudah terbiasa, tapi rasanya tetap menyakitkan setiap kalimat itu dilontarkan. Pagi itu Lana kembali menjalani takdir pahitnya. Entah sampai kapan dia bisa mengakhiri, yang pasti celah untuk melarikan diri tertutup rapat.

‘Tuhan, cobaan ini begitu berat dan pahit. Namun, aku percaya … bahwa seribu takdir pun Engkau mengirim diriku ke jurang neraka, akan ada akhir yang baik menanti.’

Sentuhan lembut di pundaknya membuat Lana tersentak. Ia menoleh dan Asmi, salah satu pelayan di rumah ini, tersenyum penuh kesedihan.

“Sabar, ya, Bu,” ucapnya lirih.

Lana mengangguk, sembari menegarkan hatinya kembali. Ya, satu-satunya hal yang bisa dia lakukan hanyalah bersabar dan itu haruslah tanpa batas.

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yanti Aching
kenapa semua nya tinggal satu atap sih...
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status