Share

Bab 3. Pewaris yang Dirahasiakan

Memasuki restoran berkelas yang telah mendapatkan lima bintang Michelin, Lana tidak bisa menyembunyikan sikap kikuknya. Pascal yang memiliki penampilan eksklusif dan penuh gaya, tampak tidak sebanding dengan Lana yang tampil sederhana.

Berjalan hingga ke area VIP yang memiliki ruangan terpisah, Isac telah menunggu dengan tenang. Ia tersenyum, begitu melihat keduanya datang. 

Lana sendiri tampak lega, setelah menemukan keberadaan Isac. Pria berusia nyaris enam puluh tahun itu menaruh gelas sampanye, lalu berdiri untuk memeluk Lana. Ia mengelus punggung yang terasa lebih ringkih dari sebelumnya.

Entah kenapa, setiap berada dekat Isac, Lana selalu merasakan damai. Pria yang sangat baik dalam memperlakukan dirinya itu seperti pengganti ayah bagi Lana.

“Kamu baik-baik aja?” Seperti biasa, Isac akan selalu menanyakan hal sama setiap mereka bertemu setelah rentang berpisah.

Lana mengangguk, seraya mengukir senyum tulus. Pascal memperhatikan dengan ekspresi kurang sepakat, tapi tatapan gadis yang duduk di seberang terlihat memohon kepadanya–untuk tidak mengatakan apa pun pada Isac.

Meski wajah Pascal menunjukkan tidak suka, lelaki itu terpaksa menahan diri dalam geram. Pelayan pun menghampiri, menuangkan minuman di gelas tamu-tamunya. Lana yang tidak terbiasa menenggak alkohol, meminta air putih sebagai gantinya.

“Aku tahu, kalian pasti bertanya-tanya, kenapa kita berkumpul di sini.” Dengan gaya elegan dan penuh kharisma, Isac meneguk sampanye. Sisa ketampanan masa mudanya masih terlihat jelas, ditopang tubuh tegap dan gagah. 

“Sudah lama aku menunggu momen ini. Setiap hal telah kuperhitungkan, supaya nggak celah secuil pun untuk gagal.” Matanya menatap Lana, lalu Pascal bergantian.

Gadis yang buta pengalaman itu benar-benar bingung, tidak memahami arah tujuan dari obrolan saat ini.

“Sebelum aku melangkah ke pokok pembicaraan kita, untuk pengetahuanmu, Pascal … Lana adalah istri yang kudapatkan dari kesialan bisnis menguntungkan.” 

Lana menunduk, mengingat pernikahan rekayasa mereka berdua adalah demi melunasi hutang.  

“Tapi, apa pun alasan dari pernikahan kami, Lana tetap menjadi nyonya Morino. Kamu ngerti maksudku, kan?” 

Pascal mengangguk, tanpa suara. Isac meraih cerutu kecilnya, menyalakan dengan pemantik khusus–seolah ingin mengambil jeda sejenak sebelum lanjut. 

“Dia memang terlalu muda untuk jadi pendamping pria tua bangka seperti aku, tapi siapa peduli? Wanita lain udah pasti terlalu serakah dan ambisius, sementara Lana bisa menjadi segalanya hanya untuk aku.”

Terkesan egois, tapi Isac mengabaikan reaksi Pascal yang secara samar membuang muka sebentar, usai kalimat itu terlontar. 

‘Yeah, siapa juga yang nggak mau punya bini muda dan cantik?’ batinnya dengan sinis. ‘Cewek kayak Lana, udah pasti cuman bisa bilang iya.’

Selama Isac bicara, Lana menunduk sambil memainkan kuku pendeknya. Pascal melirik sesekali, mencoba menilai bahasa tubuh wanita muda yang notabene menjadi istri Isac penuh selidik.

“Jadi … dalam hal apa aja, aku mau kamu memastikan Lana selalu aman dan jauh dari masalah. Bisakah aku mengandalkan kamu?”

Lana secara refleks tersentak. Ia mulai menangkap arah pembicaraan sekarang, menoleh pada Isac yang mengisap cerutunya.

“Memastikan aman? Tu-tunggu, ke-kenapa dia harus melakukan itu, Isac? Bu-bukannya selama ini aku nggak perlu dijagain?” tanya Lana, terbata-bata dan mulai panik.

“Dengar, Lana ….” Intonasi itu selalu lembut dan penuh kesabaran, berbeda jauh saat bicara dengan Pascal tadi. “Aku harus pergi dalam waktu yang cukup lama.”

Mulut mungil Lana terbuka, kedua matanya dalam hitungan detik berkaca-kaca. Jika Isac pergi, maka itu berarti ….

‘Oh, tidak …. Ya, Tuhan …. Kenapa harus berakhir kayak gini?’ pekik Lana, tampak putus asa.

Melihat kekhawatiran Lana, pria itu menghela napas dengan prihatin.

“Maafkan aku, tapi hanya ini satu-satunya cara buat tahu, siapa yang berkhianat dalam lingkaran dalam, Lana. Bisa jadi itu seseorang yang kukenal, tapi sebelum menyimpulkan, aku butuh bukti lebih akurat. Pascal akan menjagamu dengan ….”

“Dia orang asing yang nggak kukenal, Isac!” bantah Lana, mulai ketakutan dan terisak pelan. 

“Hei, aku memang orang asing, tapi bukan berarti kamu nggak bisa mempercayai aku!” bantah Pascal, tampak tersinggung.

“Tetap nggak mengubah apa pun!” Lana berpaling dengan mata basah. “Aku nggak kenal kamu dan untuk percaya sama seseorang, nggak segampang balikin telapak tangan!”

Mungkin saking paniknya, Lana meluapkan kekesalan secara frontal. Dua detik kemudian ia menyadari, gadis itu buru-buru melengos dan tampak menyesal telah bersikap kasar.

“Lana, Pascal nggak akan pernah menyakitimu dan kujamin itu, oke?” Isac menyentuh lengan dengan hati-hati, seakan-akan istrinya adalah sebongkah berlian yang mudah tergores.

“Kenapa kamu nggak pergi dua atau tiga hari, kayak yang udah-udah, dan balik ke rumah?” tanya Lana, terisak sambil menatap suaminya.

Isac menggelengkan kepala. 

“Kali ini, aku harus menghilang. Memantau dari jauh merupakan cara terbaik untuk memancing ular itu keluar. Tenang, Pascal adalah orang yang paling tepat untuk kamu percaya, karena dia adalah anakku.”

….

Tangis itu terhenti, Lana membeku dengan wajah syok. Ia perlahan melihat ke arah Pascal yang menyilangkan tangan disertai sikap angkuh. 

“Anakmu?” ulang Lana, terus memandang wajah Pascal dan baru menyadari kemiripan mereka berdua.

Ya, hidup dan bibir itu sangat menyerupai Isac, begitu juga dengan gaya rambut juga dagunya.

“Maaf, aku nggak sempat memberitahumu soal ini,” sesal Isac. “Pascal adalah anak dari wanita yang tidak semestinya diketahui oleh mendiang istri dan keluargaku.”

Lana terus menatap Pascal tak berkedip, sementara pria muda itu bersikap acuh. 

“Andini nggak bisa memberiku keturunan, sedangkan aku butuh pewaris. Yolanda adalah wanita yang kujadikan simpanan dan baru kunikahi secara diam-diam setelah Pascal ada dalam rahimnya.”

Kisah pun mengalir dari bibir Isac, bagaimana semua bisa terjadi. 

Sepuluh tahun lalu Andini meninggal tanpa mengetahui jika Isac telah memiliki wanita lain dalam rentang pernikahan mereka. Kematian istri pertamanya membuka celah untuk Isac menikahi Yolanda dan bahagia. Sayang … wanita yang melahirkan seorang putra sebagai penerus, menyusul ke alam baka dua tahun kemudian.

Isac memutuskan untuk menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut, setelah memergoki kecurangan dalam organisasi yang dia miliki. Ia membesarkan dan mendidik Pascal untuk menjadi pewaris berikutnya, tanpa diketahui oleh siapa pun.

Delapan tahun menanti, Isac benar-benar membiarkan ular dalam sarangnya membesar. Ia menunggu momen tepat untuk memangkas kepala dan itu akan Isac lakukan dalam waktu dekat.

Lana tidak peduli akan bisnis yang suaminya geluti. Apa yang berkecamuk dalam kepala Lana saat ini adalah tentang dia harus bersama Pascal selama suaminya pergi.

Bagaimana mungkin dia merasa nyaman, jika dirinya tak mengenal pria tersebut?

Bisa jadi keluarga Isac yang tak pernah jera mengintimidasinya akan kian merajalela. Mereka tidak mungkin menakuti Pascal, yang Isac sebutkan akan mengaku sebagai penjaga pribadi Lana.

“Aku butuh kesanggupanmu, Lana. Ini nggak akan mudah buatku juga, tapi … aku udah muak sama sepak terjang pengkhianat itu. Mengertilah … untuk satu kali ini aja.”

Pascal benar-benar tidak bisa mempercayai penglihatannya, jika pria yang selama dia kenal menunjukkan sikap keras dan tegas, kini tampil begitu lemah lembut di hadapan seorang gadis lugu bernama Lana Bastin.

Dirinya bahkan tidak diberi kesempatan untuk datang ke pernikahan mereka, Isac menyimpan Lana dari semua orang.

Ia paham, jika pilihan itu untuk keselamatan Lana yang pasti menjadi incaran musuh mereka. Namun, menyembunyikan dari dirinya sebagai anak? 

Kadang itu sangat keterlaluan, bila dipikirkan secara mendalam. 

Akan tetapi, Pascal terlanjur dibentuk oleh ayahnya sebagai lelaki yang mematikan emosi jika itu menyangkut kepentingan pribadi.

Menjadi anak seorang Isac Morino memang harus siap mengalami hal-hal pahit, agar kuat menghadapi kerasnya dunia. 

“Apakah ini akan berlangsung lebih dari sebulan?” Suara Lana terdengar kering dan tercekat.

“Mungkin, bisa jadi lebih lama ….” Jawaban dari Isac kian menenggelamkan Lana ke dalam jurang putus asa. 

“Bagaimana dia melindungiku? Apakah Tuan Maximus ini bakal tinggal di rumah untuk menggantikan kamu?”

Isac mengangguk, berusaha tersenyum untuk menenangkan sikap Lana yang terlihat kian gelisah. Menarik napas yang terasa sesak, tidak ada lagi pertanyaan berikutnya. Lana sibuk memikirkan cara untuk bertahan di rumah tanpa perlindungan Isac sama sekali.

‘Semoga aku nggak mati dengan cara menggenaskan,’ harapnya dengan hati getir.

Rahasia yang terkuak malam itu seperti awal bagi Lana menjalani hidup ke depan dalam neraka sesungguhnya. Dia tak mampu membayangkan, siksaan apa lagi yang bakal diterima dari Mona dan kerabat Isac lainnya.

Lukman jelas pernah dua kali nyaris memperkosanya, sementara Johan selalu menatap dengan liar seolah hendak menelan Lana bulat-bulat. Ia menggigil ketakutan, tak lagi berpikir lurus.

Sementara Isac menerima telepon, Pascal memandang Lana yang gemetar. Gadis itu seperti menyimpan beban berat, sayangnya Isac tidak pernah menyadari sedikit pun.

Bukan kepergian suaminya yang menyebabkan Lana panik, melainkan risiko tanpa perlindunganlah yang membuat gadis malang tersebut sekarang tampak tertekan.

Menenggak sampaye yang tak lagi terasa nikmat, Pascal berusaha mengenyahkan simpati dalam hatinya. Tanggung jawab menjaga Lana yang Isac berikan tidak lebih dari sekedar tugas belaka. Dirinya tak perlu melibatkan rasa, apalagi empati.

Benarkah?

Bisakah dia melakukan itu laksana manusia tak berhati?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status