Sully menatap seember penuh air yang sangat jernih. Permukaan ember terlihat jelas saking jernihnya. Saat itu ia bisa merasakan dingin air di desa kaki gunung bakal sedingin apa. Sully berjongkok menarik sebuah bangku kecil kayu yang tersandar ke dinding kamar mandi. Sedikit menerawang ia mencelupkan satu jarinya. Seperti disetrum, ia seketika mengangkat jarinya lagi.“Kenapa enggak ada suara mandinya, Mbak?” seru Wira dari luar.“Perempuan mandi itu enggak langsung jebar-jebur aja. Pasti ada step-stepnya. Kalau mau lanjut nelfon, ya nelfon aja,” sahut Sully dari dalam.“Ya enggak mungkin. Nanti malah ada suara-suara aneh,” jawab Wira pelan. Ia melirik layar ponselnya yang baru saja menerima notifikasi pesan. Nama Ira muncul di atas layar mengatakan, “Yang tadi siapa, Mas? Bukannya Mbak Ajeng enggak tinggal di situ? Masih pagi sekali. Lagipula Mbak Ajeng sepertinya enggak mungkin ngomong dengan Mas Wira begitu.”Wira berdecak pelan. Kepalanya menoleh ke dinding kamar mandi dengan raut
Wira menggerakkan sedikit kepalanya untuk meminta Sully masuk ke kamar. Pertanyaan Pak Gagah barusan sedikit membuatnya tak nyaman. Apalagi Sully yang mendengarnya. Hal yang sangat aneh dibicarakan di pagi hari di depan wanita yang baru dikenalnya semalam.“Baru, Pak. Baru dua bulan menikah. Untuk itu, Bagus dan Sulis enggak mau buru-buru. Masih mau menikmati banyak waktu berdua,” jelas Wira dengan luwesnya.Wajah Sully yang baru masuk ke kamar seketika mendengkus mendengar jawaban Wira. “Enggak pernah bohong...baru pertama kali. Tapi tiap ngarang cerita ke bapaknya lancar tanpa hambatan.”“Bagaimana pun itu bapaknya, Sul.” Oky mengintip ke luar dari celah pintu yang belum tertutup rapat. “Lama-lama...Mas Wira ini cakep juga, ya. Kemarin malam mukanya enggak begitu jelas. Baru pagi ini aku lihat jelas. Badannya bagus, Sul. Bahunya...punggungnya. Kulitnya eksotis. Duh,” kata Oky bergidik. Cepat-cepat menutup pintu kamar.Sully menyipitkan mata memandang Oky yang bersandar di dinding sa
Sully terperangah mendengar perkataan Wira. Laki-laki itu baru saja mengatakan hal yang tak pernah dikatakan laki-laki mana pun padanya. “Sabun itunya...buat itu .... Ngomong apa, sih? Sembarangan aja nuduh-nuduh perempuan keputihan. Geli banget ngomonginnya.” Sully berjongkok dan membuka plastik belanjaan yang dibawa Wira. Setelah mengambil keperluannya, ia membuka pintu kamar yang ditempati Oky dan meletakkan keperluannya di dalam. “Apa ini?” tanya Wira menunjuk sepiring pisang goreng berbagai bentuk. Ada yang dibelah dua, ada yang dipotong dua, ada yang dibelah banyak dan mekar berbentuk bunga. Sully sudah sampai di pintu belakang dan menoleh pada Wira. “Tadinya pisang,” sahut Sully, melanjutkan langkahnya keluar rumah. “Tadinya pisang ... sekarang apa?” Wira mengangkat piring di meja dan mengamati dari dekat pisang goreng buatan Sully. “Padahal aku cuma menyampaikan apa kata pemilik warung. Tapi bisa semarah itu. Salahku di mana?” gumam Wira, memandang pintu belakang yang baru d
Sebelum Wira masuk ke kamar membangunkan Sully, ia baru saja mendirikan tenda di depan rumah dengan bantuan warga dan di bawah pengawasan bapaknya. “Enggak ada hiburan musiknya kan, Pak?” seorang tetangga yang baru memindahkan meja bertanya pada Pak Gagah. “Enggak usah hiburan-hiburan musik. Berisik. Yang penting sudah melaksanakan kewajiban. Jadi enggak ada tetangga yang keberatan dan terus nanya siapa perempuan yang dibawa Wira.” Pak Gagah berkata sedikit keras dengan maksud menyindir tetangga yang mendekat menonton pemasangan tenda. “Itu yang beli kasur Bapak?” Wira yang duduk beristirahat di tangga teras rumah seketika berdiri melihat mobil pickup mendekat ke pagar rumah. Sebuah kasur baru yang pasti tak murah untuk kantong bapaknya terikat di bak mobil. “Iya. Kasur baru buat kamu tidur di kamar depan. Kasur Bapak sudah diangkut sama Legi. Dia minta buat kamar anaknya. Nanti yang baru ini buat kamar kamu. Bapak pindah ke belakang.” Meski nada bicaranya meninggi dan tegas, Pak
Sully langsung meringkuk setibanya di ranjang baru. “Selimutnya … selimutnya kurang. Masih dingin ….” “Sebentar,” Wira membuka lemari dan melongok tiap rak. Hanya ada setumpuk kain panjang milik ibunya yang tersimpan rapi dan selama ini amat disayang-sayang bapaknya. Melihat isi lemari yang nyaris kosong, Wira teringat bahwa ia belum sempat memindahkan pakaiannya ke kamar depan. “Enggak ada selimut di sini. Sebentar saya cari di kamar lain,” kata Wira, keluar kamar. “Pagi tadi padahal masih bisa ngomong sejudes itu. Sekarang malah demam.” Wira berhenti bergumam saat mengingat kemungkinan penyebab Sully yang meriang. “Mandi pagi pakai air dingin?” Alisnya terangkat. “Pak, aku masuk, ya.” Wira tak menunggu jawaban dari bapaknya dan langsung mendorong pintu kamar. “Maaf ganggu istirahatnya sebentar. Aku mau nyari selimut dan obat. Sulis badannya panas, tapi menggigil.” “Benar-benar sakit?” tanya Pak Gagah dari ranjang. Pria tua itu kembali duduk. Wira berbalik memandang bapaknya. Me
Sully sebenarnya hanya ingin tidur tanpa diganggu sebentar saja. Penyakit yang sering singgah di tubuhnya memang hanya meriang karena masuk angin. Ia pernah muntah-muntah di pagi hari karena keramas tengah malam dan langsung tidur di kamar ber-AC. Ia juga pernah dilarikan ke UGD karena mual dan rasa sakit menusuk di dadanya. Setelah ditanyai dokter di rumah sakit, Sully baru teringat bahwa ia memakan nasi goreng di malam sebelumnya. Dan hari itu badannya panas hanya karena keramas dengan mandi air sedingin es.Sejak tadi Wira mengaduk-aduk kopernya. Sekilas tadi ia mendengar pria itu memintanya berganti pakaian rumah dan bertanya soal daster. Matanya belum sanggup membuka. Saat Sully mengerjap dan membuka matanya yang berat, tangan Wira berada di depan wajahnya mengibaskan lingerie yang ia sembunyikan di bagian bawah koper. Kekesalannya memuncak.Sully duduk dengan susah payah, “Apa, sih, Mas? Kenapa ini yang diambil? Tadi nanya daster, sekarang bongkar koper aku ngeluarin barang-bara
Rasanya Sully baru tertidur beberapa menit saja, pintu kamar kembali dibuka. Ia tak mau membuka mata karena mengira yang masuk adalah Wira. Lalu dirasanya sebuah tangan meraba kepala, memijat lengan, mengusap punggung dan perutnya dengan gerakan cepat. Sully mendelik. Hampir saja mengempaskan tangan itu karena mengira Wira yang terlampau berani.Ternyata wanita tua yang seingatnya mungkin adalah tukang urut yang dikirim Wira. Tak ingin bersikap kasar dengan wanita tua yang terlihat khawatir setelah meraba tubuhnya, Sully mengikuti perkataan wanita itu. Tak ada siapa-siapa di sana. Wira pasti tak akan begitu saja masuk ke kamar karena memanggil tukang urut merupakan inisiasinya.Sully mengerling jendela kamar yang tertutup. Tirainya pun masih tertutup rapat. Setelah melapisi tubuhnya dengan selembar kain sarung, Sully mencampakkan pakaiannya ke ranjang begitu saja. Kedua tangannya memeluk lengan dan tubuhnya menggigil.Dalam bayangannya yang akan menerima pijatan di atas ranjang baru,
Wira sedang memindahkan ranting kayu yang biasa dijadikan bahan bakar tambahan di dapur luar saat mendengar suara Mbah Urut memanggilnya. Wira meletakkan sisa kayu terakhir dan menutupnya dengan terpal agar kayu itu tak kena air cucuran atap saat hujan.“Ada apa, Mbah? Sudah selesai?” Wira menemui Mbah Urut di depan kamar.“Buat teh manis hangat dengan irisan jahe, Gus. Selesai diurut istrimu biar langsung minum teh. Sebentar lagi selesai. Nanti Mbah panggil,” kata wanita tua itu.Wira mengangguk dan meninggalkan Mbah Urut. Pintu kamar berdebum dan wanita tua itu pasti sedang menyelesaikan pekerjaannya. Di dapur Wira menoleh pisang goreng buatan Sully yang baru dimakan sepotong. Tidak benar-benar hangus. Hanya digoreng asal-asalan. Merasa kasihan dengan pisang itu, Wira kembali menyambarnya sepotong dan memasukkannya ke mulut. Matanya sempat membelalak sedetik menyadari ia belum mencuci tangan seusai mengangkangi ranting kayu.Saat ke luar rumah, ia menyadari kalau ember yang biasanya