“Ayah darah tinggi? Kenapa? Marah-marah sama siapa?”“Tak ada marah sama siapa-siapa. Memangnya kalau orang terserang penyakit darah tinggi sudah pasti orangnya suka marah-marah? Mungkin Ayah terlalu capek. Mengurus kebun kelapa, menjadi pengurus perkumpulan rukun warga, ditambah meladeni ibumu yang cerewet dan suka mengomel.”“Ibu suka ngomel? Cerewet? Nggak mungkin Ibu lebih cerewet dari Ayah. Lagian kenapa kebun kelapa dari Mas Wira dijadikan alasan Ayah sakit? Kalau gitu aku minta ke Mas Wira buat jual aja kebun kelapanya.”“Jangan…jangan. Jangan dijual. Sebenarnya bukan kebun kelapa itu yang menjadi alasan Ayah capek. Pokoknya Sulis tenang aja. Ayah dan Ibu bakal datang sebelum anak Sulis lahir. Kedatangan kami sedikit terlambat, tapi kami pasti datang.”“Mas Wira udah bangun rumah buat Lis dan si kembar. Ayah dan Ibu harus lihat gimana kehidupan Lis di sini. Lis enggak suka kalau Ayah sampai sakit karena ngurus kebun kelapa.”“Jangan menangis. Sudah…sudah. Ini ibumu mau bicara.
Wira mungkin akan mengenang hari itu sepanjang hidup. Hari di mana sepertinya semua kesibukan tumpah ruah menjadi satu di menit yang sama. Pabrik memang sudah beberapa waktu beroperasi meski sebelum diresmikan. Para petani yang sudah terikat kontrak kerja sama dengan PT. Putra Pertiwi mulai menyetor hasil sadapan nira secara kontinyu ke pabrik. Tujuan Wira dalam pengelolaan pabriknya bukan semata-mata meraup keuntungan pribadi. Selaku putra daerah yang lahir dan tumbuh besar di Desa Girilayang, Wira menitikberatkan pembangunan desa dimulai dari meningkatkan taraf hidup para petani dengan memulainya dari memberikan pelatihan agar petani mumpuni dan bisa ‘dilepas’ memajukan perkebunannya sendiri. Seperti yang dikatakan Wira dalam satu pidatonya pada pertemuan dengan para petani. “Dalam rapat yang saya pimpin dan diwakili oleh Ketua Kelompok Tani juga rekan-rekan petani yang bisa hadir beberapa waktu yang lalu, kita semua sepakat bahwa cita-cita dan keinginan para petani Desa Girilayang
“Sulis kenapa? Perutnya kenapa?” Wira berjongkok di depan kursi yang ditempati Sully. Orang yang ikut berkumpul pada saat itu pasti fokus pada wajah pucat Sully dibanding wajah Wira yang tak kalah pucat. Tangannya sampai bergetar ketika meraba perut Sully ke sana kemari. “Ini telepon dari siapa?” Wira mengambil ponsel dari tangan Sully dan melihat nama ‘Bu Dahlia’ di layar. Setelah mengucapkan beberapa kata soal kondisi Sully, Wira menyimpan ponsel dan kembali mengusap-usap perut istrinya. Tak peduli dengan orang-orang yang mulai semakin ramai mendekati mereka.“Perutku sakit. Padahal tadi enggak apa-apa. Kayaknya aku kaget karena telepon Ibu. Ibu bilang Ayah masuk rumah sakit. Aduh ….” Sekarang tangan Sully meraba pinggangnya.“Apa mungkin mau lahiran? Sakit mau lahiran?” Entah siapa yang bisa ditanya Wira dalam kondisi itu. Keluarga mereka belum ada yang tampak di lokasi acara.“Kayaknya enggak. Kan, belum cukup umur. Mungkin cuma kram aja. Perutnya tegang.” Sully bicara dengan nada
Sebenarnya banyak sekali yang harus dilakukan Wira hari itu. Acara peresmian pabrik bahkan belum sepertiganya dijalankan. Harusnya ada sesi peninjauan pabrik yang akan dilakukannya bersama investor. Harusnya juga ada proses cicip-mencicipi gula aren hasil olahan pabrik PT. Putra Pertiwi yang dilakukan oleh petinggi dan investor. Semuanya harus dilewatkan Wira. Sully dan bayi kembarnya tidak bisa menunggu lagi.“Sudah…sudah. Urus istrimu dulu, Gus. Yang penting pitanya sudah dipotong. Aku bakal menjalankan semua urutan acara seperti di awal. Pak Martin juga menyanggupi buat mendampingi. Pokoknya kamu bisa tenang.” Saptono menjajari langkah Wira saat menuju mobil.“Aku bisa ikut bantu-bantu Sulis. Aku ikut!” Oky berlari kecil menyusul Sully. Sampai ia tiba di dekat Sully yang sudah duduk bersandar. “Aku duduk di depan aja,” kata Oky ketika melongok jok belakang yang sudah berisikan Ajeng, Kartika dan Saraswati. Ketiganya sudah duduk mapan hendak mendampingi Sully ke rumah sakit."Duduk
Sewaktu turun dari mobil tadi Pak Gagah ikut bingung. Harus melakukan apa? Bisa membantu apa?Bagus Prawira; putra bungsu yang rasa-rasanya tak pernah takut terhadap apa pun pagi itu ikut memucat. Mungkin karena pengalamannya yang sedikit soal rumah sakit dan selalu membawa berita tak enak, membuat Wira resah bukan kepalang.Mungkin juga baru kali itu para staf rumah sakit, perawat termasuk dokter yang membantu kelahiran cucu kembarnya melihat serombongan keluarga pengantar berdandan apik bak hendak ke pesta. Seakan, keelokan penampilan mereka hari itu memang khusus ditujukan buat menyambut si kembar.Keresahan yang tengah dirasakan Wira hari itu seakan ikut dibaginya ketika pintu ruang bersalin ditutup. Dengan tubuh tinggi kurusnya, Pak Gagah ikut mondar-mandir di luar. Lupa kalau tas perlengkapan bayi berwarna cerah dengan motif lucu sedang berada di tangannya. Ia meminta tas itu dari Ajeng agar tangannya tak terasa terlalu kosong.“Duduk aja, Pak. Bayinya Bagus pasti lahir sehat da
Berdamai dan sepakat dengan diri sendiri adalah hal yang diminta Wira pada Sully untuk memulihkan kesedihan karena tak bisa ‘sama’ dengan kondisi ibu baru lainnya. Namun, di hari kedua usai melahirkan Sully belum bisa menyusui anaknya. Air susunya sedikit dan Sully kembali menangis karena hanya menghasilkan 10 ml dari hampir satu jam mencoba memompa ASI. Air mata Sully yang bertetesan saat mengumpukan sedikit demi sedikit ASI-nya. Wira hanya bisa mengatakan, “Sudah...sudah jangan nangis lagi. Nanti kamu sakit. Bisa pakai susu formula. Pertumbuhan si kembar pasti sama dengan bayi lainnya. Kalau ibunya nangis terus begini bayinya juga pasti kerasa.” Kata-kata Wira bukan hanya sekedar hiburan untuk Sully. Aslinya ia orang yang tidak terlampau pintar menghibur. Wira mengatakan itu sebagian besar untuk dirinya sendiri. Hatinya ngilu melihat Sully terus menangisi keadaan bayi mereka. Wanita yang awalnya terlihat pecicilan itu ternyata sangat keibuan. Setiap pagi Sully mendatangi ruang ba
Sully hampir setengah melompat mendengar kedua putranya diperbolehkan pulang. Matanya berembun dengan cepat karena haru. Pelukannya terlepas dari Pak Anwar lalu kembali berlabuh pada Wira. Dengan kebiasaan yang terbentuk belakangan hari ini, Wira tidak terlalu sungkan ketika Sully bergelayut memeluk pinggangnya. Wira ikut membalas pelukan Sully dengan mata yang juga mengembun karena bahagia.“Pak…Pak, kenalin ini ayahnya Sulis. Namanya Pak Anwar. Ini istrinya, Bu Dahlia namanya.” Sully membawa kedua orang tuanya di kiri kanan.“Macam mana cara Sulis mengenalkan orang tua. Kok, begitu?” Pak Anwar protes beberapa langkah sebelum tiba di dekat Pak Gagah.“Enggak apa-apa …. Tidak ada yang salah. Sulis anak perempuan yang enggak pernah macam-macam.” Pak Gagah tersenyum ramah memandang Pak Anwar.“Anak perempuan yang enggak pernah macam-macam ya …” Pak Anwar sudah berdiri berhadapan dengan Pak Gagah. Ia juga tersenyum lebar membalas senyum besannya itu. Sambil membayangkan pujian besan terha
Bisa dibilang bahwa saat itu Wira membangun rumah yang amat berbeda dibanding kebanyakan rumah bergelar paling mewah di Desa Girilayang.Rumah di Girilayang yang disebut mewah biasanya dicat lebih dari satu warna. Bisa dua, tiga atau bahkan empat warna. Sedangkan rumah yang disebut Wira sebagai ‘Rumah Sulis’ hanya diwarnai satu warna. Putih. Semuanya berwarna putih. Wira tak pernah memikirkan soal kemungkinan mengecat rumahnya dengan warna kesukaan Sully; merah. Pernah Saptono memberi ide untuk memadukan warna putih dan merah. Wira tetap menolak dengan alasan ia tak mau rumahnya terlihat seperti Kantor Kepala Desa.Rumah Sully berada di ujung jalan buntu, menghadap jalan. Berbeda dengan rumah Pak Gagah yang letaknya di samping jalan, menghadap bagian samping rumah Subardi. Rumah putih Sully berdiri tegak dan kokoh di belakang rumah Pak Gagah. Perpaduan antara tradisional dan modern yang berada dalam satu pekarangan.“Benar kamu enggak pernah lihat ke belakang?” Sari menjajari langkah S