Muka Sandi terlihat sangat kusut. Berbeda dengan biasanya yang selalu nampak segar, kali ini Sandi bisa disebut seperti orang yang tak mandi sama sekali."Kenapa sih kamu? Mukamu kusut banget sumpah, kalo enggak semangat ya udah, nggak usah kerja kali! Enek aku liat kamu kerja enggak ada semangat-semangatnya," kata Deni, niatnya bercanda, tapi justru malah membuat Sandi semakin murung dan tak berniat membalas candaan kawannya itu."Den, kali ini aku pusing banget. Hubunganku dengan istriku semakin kacau, aku bahkan tak menemukan keberadaan mereka. Pusing banget kepalaku," Sandi akhirnya mengungkapkan perasaannya yang tersimpan.Deni mendekati Sandi, dan mencoba menenangkan kawannya itu."Mereka pergi?""Iya, sudah satu malam mereka pergi. Bahkan Sekar ingin agar aku mengurus perceraian dengannya. Aku tak pernah berpikir untuk pisah dengannya, aku selingkuh hanya untuk hiburan saja, tapi kenapa istriku sangat marah?" Kali ini Sandi. Berbicaralah sambil menatap hampa ke depan."Kamu yan
Sandi kini sudah sampai dirumahnya. Ia lekas masuk ke dalam kamarnya."Aah ya Tuhan, apa ini sebuah karma untukku? Belum juga apa-apa, aku sudah dipecat. Aku ini difitnah! Kenapa Bos malah percuma pada perempuan itu, daripada padaku? Padahal aku ini adalah anak buahnya, sudah lama aku ikut bersamanya. Sial!" Umpat Sandi sambil melemparkan semua benda yang ada didepan matanya. Sandi benar-benar kalap, merasa menjadi orang yang paling tersiksa. Ia lupa, kalau sudah membuat sakit hati istrinya selama pernikahannya dengan Sekar. Selalu membandingkan Sekar dengan perempuan lain, selalu menuntut Sekar menjadi seorang perempuan yang sempurna, sementara dirinya tak pernah membantu sedikit pun kesulitan Sekar. Kerap kali Sandi meninggalkan Sekar sendirian, merasa seperti terkurung dirumah, tak pernah memuji kebaikan istrinya itu."Sekar!! Pulanglah!! Aku rindu pada kalian, kalian dimana?" Tiba-tiba Sandi ingat akan Sekar dan kedua anaknya. Perempuan itu selalu ada untuknya, selalu mendukung ap
Sandi kini sudah sampai dirumahnya. Ia lekas masuk ke dalam kamarnya."Aah ya Tuhan, apa ini sebuah karma untukku? Belum juga apa-apa, aku sudah dipecat. Aku ini difitnah! Kenapa Bos malah percuma pada perempuan itu, daripada padaku? Padahal aku ini adalah anak buahnya, sudah lama aku ikut bersamanya. Sial!" Umpat Sandi sambil melemparkan semua benda yang ada didepan matanya. Sandi benar-benar kalap, merasa menjadi orang yang paling tersiksa. Ia lupa, kalau sudah membuat sakit hati istrinya selama pernikahannya dengan Sekar. Selalu membandingkan Sekar dengan perempuan lain, selalu menuntut Sekar menjadi seorang perempuan yang sempurna, sementara dirinya tak pernah membantu sedikit pun kesulitan Sekar. Kerap kali Sandi meninggalkan Sekar sendirian, merasa seperti terkurung dirumah, tak pernah memuji kebaikan istrinya itu."Sekar!! Pulanglah!! Aku rindu pada kalian, kalian dimana?" Tiba-tiba Sandi ingat akan Sekar dan kedua anaknya. Perempuan itu selalu ada untuknya, selalu mendukung ap
"Eeh ternyata nak Sandi, ibu kira siapa," ujar Ibu saat melihat anak mantunya datang."Ibu sehat Bu?" Sandi berbasa-basi."Iya, Alhamdulillah. Duduk nak!" ibu Warti menyuruh Sandi duduk, dan lekas ke dapur mengambil air minum untuk Sandi. Sementara Sekar masih betah berada diruang tengah, bermain dengan kedua anaknya, tanpa keinginan sedikit pun untuk menemui suaminya itu."Kamu ini Sekar, ada suamimu kenapa diam saja? Temui sebentar saja Sekar," "Sekar minta maaf Bu, Sekar tak bisa lagi berbaik hati pada Mas Sandi,""Mungkin dia merasa menyesal sudah melakukan Kesalahan kemarin, apa kamu tak mau juga memberikan maaf pada suamimu?" Ibu masih berusaha agar Sekar berbaik hati pada Sandi, karena Sekar tak menceritakan semua salah yang Sandi lakukan. Ia hanya bercerita kalau Sandi selalu menghina dan menuntunnya saja. Namun Ia menutup aib Sandi yang berselingkuh dengan Aura, si janda anak satu itu."Maafkan aku Bu. Sekar belum bisa bertemu dengan mas Sandi," sekali lagi Sekar menolak nasi
"Kenapa? Kenapa kamu bicara seperti itu?" Tanya Sandi lirih."Lho, Mas malah bertanya padaku? Bukankah itu perkataan yang selalu keluar dari mulutmu Mas? Kamu sendiri yang bicara, kamu sendiri yang lupa. Aku sudah kenyang dengan semua penghinaan yang selalu kau Lintar Mas. Selama enam tahun kita bersama, apa tak layak jika aku mendapatkan sedikit saja pujian manis darimu? Namun sayang, kau lebih memilih memuji potongan kaca itu daripada berlian, dan sekarang, aku sudah berpikir. Aku juga ingin bahagia bersama anak-anakku,""Apa selama ini kau tak bahagia denganku?""Kau ini orang yang cerdas Mas. Harusnya kau tahu sendiri tanpa harus aku jelaskan. Istri Mana yang bahagia, jika selalu mendapat hinaan dan cemoohan dari suaminya sendiri. Dan yang lebih membuatku tak bisa memaafkanmu adalah, kau yang menceritakan aib dan kelemahan istrmu sendiri pada kekasihmu itu. Kau kerap kali membandingkan aku dan Aura, seolah aku ini hanya barang rusak, yang sudah tak berguna,"Dengan nafas yang mem
Bu Warti hanya menghela nafasnya berat. Ia tak bisa memaksakan apa yang sudah menjadi kehendak putrinya itu. Jika sebuah nasihat sudah tak berlaku, maka entah apa yang harus Bu Warti lakukan.Dengan langkah lemas, seolah tak lagi ada tenaga yang tersisa, Sandi melangkahkan kakinya pelan. Sesekali ia kembali menoleh, berharap jika Sekar bisa berubah pikiran. Nampak wajahnya terlihat sangat sedih. Ia merasa hidupnya hancur hari ini. Usahanya mengajak Sekar dan kedua anaknya ternyata berujung kekecewaan.Kini mobil Sandi sudah melaju. Sekar hanya menahan sesak di dadanya, menyaksikan kepergian Sandi. Sebisa mungkin ia menahan rasa sakit itu kembali. Jauh di lubuk hatinya, masih ada tersimpan rasa sayang, walau setipis tisu, namun rasa kecewanya begitu dalam, sehingga tak mampu mengalahkan tipisnya rasa sayang itu.Bu Warti kembali masuk ke dalam rumahnya, dan kini duduk di sebelah Sekar. Ia paham, kalau perasaan Sekar sedang tidak baik-baik saja."Sekar, apa ibu bisa bicara denganmu? Ada
Tak jauh dari tempat Sandi beristirahat, ternyata terdapat sebuah masjid. Segera ia parkir kan kembali mobil miliknya dan lekas turun dari dalamnya. Ketika ia membuka pintu mobil, nampak matanya nanar melihat tempat didepannya, yang sudah sangat lama sekali tak pernah lagi ia kunjungi.Entah berapa minggu, berapa bulan, bahkan berapa tahun ia tak pernah lagi berkunjung ke rumah Allah. Semua perasaan bercampur aduk, membuat Sandi segera berjalan untuk masuk ke dalamnya.Segera ia ambil wudlu, dan lekas masuk ke dalam masjid. Rasa sejuk begitu menusuk ke dalam dadanya. Tiba-tiba ia kembali mengingat Sekar. Ya, apapun yang pernah terjadi diantara Sekar dan dirinya, kini menjadi sebuah kenangan paling indah.Bagaimana istri Sholihahnya itu selalu mengingatkan dirinya untuk sholat berjamaah ketika Sandi sedang berada dirumahnya. Tapi dulu, hal itu sama sekali tak menarik baginya. Ajakan itu tak enyak seperti sebuah gonggongan yang memekik ditelinga. Membosankan hidup dengan perempuan yang
Sandi terdiam sejenak. Ia bingung dengan langkah apa yang harus ia ambil. Sampai sesaat, ia baru sadar, kalau pertengkaran mereka membuat beberapa tetangga melihat dan menjadikan mereka sebagai tontonan.Terlihat beberapa orang ibu-ibu berkerumun melihat adu mulut antara Sandi dan lelaki yang mengaku ayahnya Aura tersebut. Mereka saling berbisik, pasti membicarakan Sandi. Terdengar bisik salah satu diantara mereka, berbicara kurang enak di telinga Sandi."Iih dasar ya, lelaki tak tahu bersyukur, kurang apa Bu Sekar ya, dia kan perempuan baik, Sholihah, kenapa juga main serong ya?""Ooh pantas saja beberapa hari ini dia tak terlihat, mungkin dia pulang ke rumah orang tuanya ya?" timpal salah satu lagi diantara mereka. Spontan Sandi melirik ke arah mereka dan tentu saja para ibu-ibu itu langsung membuang muka, seolah tak sedang melihat Sandi."Sialan! Ternyata aku jadi pusat perhatian tetangga. Bisa turun harga diriku gara-gara kejadian ini. Malu aku kalau sampai tinggal disini, gara-gar