Keesokan hari, Sekar seperti biasa melakukan kewajibannya melayani suami. Kali ini, ia bangun lebih shubuh dari sebelumnya. Ada hal yang sedang ia rencanakan. Sekar ingin mencari tahu, siapa Aura. Perempuan yang sudah membuat Sandi berpaling darinya. Entah apa saja yang sudah mereka lakukan dibelakangnya, yang jelas, Sekar kini menjalani hari-hari hanya untuk menuntaskan kewajibannya saja. Setelah ia tahu seperti apa hubungan suaminya dan Perempuan itu, maka ia akan melepaskan suaminya. Tak rela rasanya jika ia harus berbagi suami, dengan janda gatal kesayangan Sandi.
"Bu, tumben sudah mandi?"Masih dengan tatapan lurus pada pakaian yang menumpuk yang sedang ia lipat, kini Sekar sedikit menoleh ke arah Sandi."Mandi pagi salah, enggak mandi salah juga. Aku harus gimana Yah?""Mau kemana sudah mandi?""Hari ini ada jadwal ngajar,""Oh iya lupa. Kamu sudah siapkan sarapan? Ayah mau berangkat agak pagi juga. Soalnya takut jalanan macet. Kamu naik gojek aja ya,"Seketika Sekar menyimpan baju yang belum terlipat sempurna itu, disampingnya. Lantas ia melihat dengan tajam ke arah suaminya, yang hampa rasa bersalah sedikitpun, dengan peristiwa semalam."Yah, apa kamu enggak kasihan sama ibu, ibu ini lho berangkat bertiga sama anak kamu yang masih kecil-kecil. Antarkan sebentar saja, bisa kan?"Sandi melihat jam didinding. ia berdecak keberatan. Kemudian membuka dompetnya dan mengeluarkan uang selembar seratus ribuan."Ini Ayah kasih jatah harian deh, bisa sekalian buat ongkos gojek, tapi Ayah beneran gak bisa antar kalian, Ayah buru-buru,""Buru-buru kemana? Ditunggu sama Si Aura itu iya? Perempuan yang sudah kamu belikan skincare, perempuan yang sudah kamu berikan baju baru?" Mata Sekar terasa panas, ingin rasanya ia lupakan semua rasa kesalnya. Semenjak semalam, ia menjadi lebih berani berbicara pada Sandi. Ia tak mau lagi menjadi seorang istri yang bodoh, yang seenaknya saat harga dirinya diinjak oleh suaminya.Sandi yang semula terlihat diam, kini mendekati Sekar dengan tatapan bengisnya."Kenapa kamu tahu tentang Aura? Apa kamu buka ponselku? Berani kamu ya?!""Heh! Munafik kamu Mas! Sudah ketahuan malah membela diri? Katakan saja, siapa Aura? Bawa dia kemari kalau perlu! Aku mau tahu seperti apa perempuan yang sudah membuatmu kalap mata, dan lupa pada istri dan anakmu!" Sekar berbicara dengan lantang, dan lebih berani. Ia tak mau lagi selalu disakiti ini."Kenapa dia jadi berani bicara seperti itu padaku? Apa dia benar-benar tak takut kalau aku meninggalkannya?" Batin Sandi."Kenapa diam? Sekiranya kamu sudah tak ingin lagi denganku, sekiranya kamu sudah bosan denganku, harusnya kamu katakan saja, jangan main dibelakang begini. Kamu enggak kasihan sama anak-anak kamu yang masih kecil begini hah?!" Sekar terus meruntuti Sandi dengan banyak pertanyaan. Sehingga ia hanya bisa diam dan tak bisa berkata apa-apa."Ayah minta maaf, Ayah cuma main-main sama si Aura itu, beneran enggak ada apa-apa.Ya lagian ibu juga, kenapa enggak bisa rawat diri, biar Ayah betah dirumah. Minimal wangi sedikit lah," Sandi masih saja merasa kalau pendapatnya itu yang benar."Kamu enak bisa bicara seperti itu. Sekarang aku mau tanya. Apa kamu pernah bantu aku ngurusin pekerjaan rumah? Kamu pernah bantuin aku pegang anak kita sebentar saja? Kasih waktu aku buat makan sebentar saja, pernah?" Serasa ditampar, Sandi hanya diam. Memang benar, selama ini ia tidak pernah membantu istrinya sedikitpun. Ia malah sibuk dengan hobbynya sendiri. Ditambah lagi, ditempat ia main ada janda cantik itu, jadi semakin betah Sandi berlama-lama disana.Sandi bergerak maju mendekati Sekar. Lantas ia langsung memeluk tubuh kurus istrinya itu. Entah kenapa, ia merasa takut saat Sekar marah padanya. Selama pernikahannya dengan Sekar, Sekar adalah perempuan yang sangat sabar. Ia bahkan tidak pernah meminta uang Mingguan, karena dia bisa mencari uang sendiri dengan berjualan online dan gaji honorernya. Sandi hanya memberikan seingatnya dia saja. Dia tak pernah tahu, sebenarnya Sekar selalu merasa kekurangan. Jangankan untuk membeli barang yang dia inginkan, hanya membeli daster saja, Sekar harus menabung lebih dulu,sisa dari kesehariannya. Lantas kemana uang Sandi? Sekar tak pernah tahu. Yang Sandi bilang, ia sedang menabung untuk membeli rumah, agar tak lagi tinggal Dirumah mertua. Makanya Sekar hanya bisa sabar, dan tak banyak keinginan."Mas minta maaf ya. Ya sudah, Mas antar kamu berangkat ya, hayu! Kamu sudah siap kan?" Sandi terus berusaha mengajak Sekar, agar Sekar bisa memaafkan kesalahannya. Sedang Sekar masih hanya diam, nafasnya memburu, sepertinya tak bisa lagi di luluhkan. Saat genting seperti itu pun, tiba-tiba ponsel Sandi berbunyi. Terlihat nama Aura disana. Sekar menyeringai sinis."Benar rupanya firasat ku ini. Kalian ternyata sudah janjian? Angkat saja telepon kekasihmu itu Mas! Aku berangkat sekarang dengan anak-anak. Jangan pernah ajak aku bicara sebelum kau putuskan hubunganmu dengan perempuan itu. Kalau kau memang tak mau lagi melihat anak-anak, maka teruslah kau bermain dengan janda itu, dan aku jamin, hari ini adalah hari terakhir pertemuan mu dengan kamu!" Kata Sekar dengan tegas. Ia sudah lelah, lelah selama ini diperlakukan dengan seenaknya oleh lelaki yang seharusnya bisa membahagiakannya itu. Dengan tubuh ringkihnya, Sekar berjalan menjauhi Sandi, dan membawa serta kedua anaknya pergi.Sekar sedikit mendorong tubuh Sandi dengan lengannya saat ia berlalu meninggalkan Sandi yang mematung. Sandi hanya menelan saliva, kala ia mendapat perlakuan yang tak menyenangkan hatinya dari Sekar.ia kepalkan tangannya, menahan emosi yang hampir mencuat dalam dadanya. Kemudian ia acak rambutnya dengan kasar, lalu kembali merapikannya. ia ingat kalau ada Nida yang sedang menunggunya.langkahnya ia perlambat saat ia mulai memasuki ruangan tamu. Ia tak berani menatap Andre dan Sekar serta anak sulungnya yang kali ini tengah tertawa melihat Nida yang mencoba menaiki mainan motor pemberian Andre."Ibu, aku kayak ibu ya, bisa naik motor sendiri," kata Nida dengan senangnya. Sekar hanya mengulas senyumnya, mendengar perkataan anak perempuannya itu."Kamu suka sayang?" tanya Sekar kembali. Nida tak membalas, ia hanya senyum. Senyum yang seharusnya menjadi sebuah kebahagiaan bagi seorang Ayah, kini hanya membawa luka bagi Sandi. Ia kini tengah berdiri diambang pintu, ingin berpamitan pada p
"Ayah, kenapa diam, ayo kita main lagi!" ajak Nida sambil menarik narik celana Sandi."Oh iya sayang. Ayo kita main lagi. Maaf ya, tadi Ayah istirahat sebentar. Ayah capek," Sandi berbohong. Mata teduh Nida kini menatap Ayahnya. "Ayah mau minum? Ayah haus ya, dari tadi pegangin sepeda Nida?" tanya Nida, dengan nada khas kekanakan nya. Sandi mengusap lembut rambut anaknya."Ayah enggak haus nak, Ayah cuma panas aja,""Panas Ayah?" tanya Nida kembali. Maksud Sandi adalah panas hatinya, bukan panas cuacanya. Nida mana tahu kalau Ayahnya sekarang sedang cemburu melihat Andre yang datang ke rumah dengan disambut baik oleh Ibunya."Ya sudah kalau Ayah panas, kita masuk saja yu yah. Nanti Ayah sakit kalau kepanasan," ajak anak sulungnya kembali. Sandi hanya mengangguk. Ia memang ingin masuk ke rumah itu, ingin bertegur sapa dengan Andre, yang saat ini tengah bersama Sekar."Assalamualaikum," sapa Sandi saat ia masuk ke ruangan tamu, sambil menggendong Nida. Andre yang tadinya tengah melamu
Mengapa jawaban yang Sekar berikan sangat menusuk tajam di hatinya. Bukankah kata-kata itu yang dulu sangat ia harapkan dari Sekar, agar ia bisa segera menikahi kekasihnya? Tapi pada saatnya, Allah maha mudah membalikkan hati hamba-nya. Sandi merasa tersiksa dengan kata-kata yang Sekar ucapkan."Saya permisi dulu Mas. Silahkan kalau Mas mau main lagi sama anak-anak," pamit Sekar, meninggalkan Sandi. Ia bergegas membersihkan diri, karena siang ini ia ada keperluan. Ya, uang dari sisa membeli motor akan ia belikan untuk membeli sebidang tanah yang kebetulan dijual di pinggir jalan. Daripada uangnya dipakai untuk hal yang tak jelas, ia pakai untuk membeli tanah, dan nantinya akan ia bangun rumah disana.Saat Sekar baru saja selesai mandi, tiba-tiba ponselnya kembali berdering. Nama Andre tertera disana. Sekar hanya mengernyitkan keningnya."untuk apa dia menghubungiku lagi? Ada perlu apa ya?" batin Sekar, dan segera mengangkat panggilan temannya itu."Iya, Wa'alaikumsalam Andre. Ada apa?
"Ia masih menarik seperti dulu. Aku masih menyimpan perasaan ini padanya. aku kira setelah semua ini aku tak akan lagi jatuh cinta padanya. Namun nyatanya, ia masih menjadi primadona di hatiku," batin Andre, memuji Sekar. Ia terus tersenyum mengingat pertemuan singkat barusan."Kamu kenapa Ndre? kelihatannya seneng banget?" Tanya Tio, temannya bekerja."Enggak ah. Aku lagi seneng aja. Mau tahu aja sih kamu?""Cie elah, Kamu ketemu perempuan cantik ya? Mana dong? sini aku mau tahu,""Iih apaan sih? Mau tahu urusan orang aja sih lu?""Nih, gua kasih tahu ya, jangan biarin perempuan yang lu cintai diambil orang buat kedua kalinya lagi, lu kejar! entar nangis lagi baru tahu rasa lu!" sumpah Tio, pada Andre."Bener juga kata lu. Entar deh, gua kasih jurus biar dia mau sama gue, hahaha!" canda Andre pada temannya. ***Sekar sangat menikmati perjalanan ini. Ia ingin kalau urusan keluarganya bisa segera selesai. sangat lelah rasanya batinnya, jika mengingat masalah ini semua.Teringat kemba
Sekar lantas menolehkan tubuhnya. Ia mencari keberadaan seseorang yang sudah memanggil namanya tadi. "Siapa yang sudah manggil aku ya, kok nggak ada orangnya?" batin Sekar sambil terus matanya menjelajah ke sana kemari. "Hhei aku di sini," suara seorang laki-laki mengagetkannya. Sekar hanya mengerutkan keningnya, ketika melihat laki-laki itu berjalan mendekatinya. Seorang laki-laki bertubuh tegap dengan pakaian seragam batik yang melekat di tubuh atletisnya."Hai apa kabarmu?" tanya laki-laki tersebut sambil menyodorkan tangannya. Bau wangi parfum tercium begitu sangat wangi karena jarak mereka tak terlalu jauh. "Sebentar, ini siapa ya?" tanya Sekar tak lantas menerima sodoran tangan dari laki-laki tersebut. Lupa-lupa ingat dengan sosok didepannya."Masa kamu sudah lupa sih, aku Andre teman kuliah kamu. Inget nggak?" Laki-laki itu mencoba mengingatkan Sekar pada masa kuliahnya beberapa tahun silam. Tiba-tiba Sekar tersenyum karena dia mulai mengingat kejadian apa saja yang terjadi
"Kamu masuk yuk! Jangan tidur diluar, nanti sakit. Udara diluar sangat dingin sekali," ajak Ibunya Aura, sembari memberikan sebuah selimut tebal pada mantunya itu."terimakasih banyak bu. Tapi Sandi disini saja. Ayah juga tak mengijinkan Sandi masuk,""Tak usah dengarkan apa kata Aura dan Ayah. Kamu masuk saja, ayo!" Ibu masih berusaha untuk membujuk Sandi agar mau masuk kerumah. Sangat tak tega rasanya melihat anak mantunya diperlakukan seperti itu.Usaha Ibu sama sekali tak membuahkan hasil. Sandi lebih memilih tidur diluar saja dari pada harus tidur didalam kamar bersama Aura."Aku lebih baik diam disini saja. Daripada aku harus tidur bersama perempuan yang tak aku cintai," ucap Sandi pelan. Ia kemudian tutupkan selimut itu pada seluruh tubuhnya.***Keesokan harinya, Sekar sudah bersiap untuk pergi. Tapi kali ini, bukan untuk pergi ke sekolah atau menjalankan bisnis yang lainnya, melainkan ia akan pergi ke pengadilan Agama. Baginya tak adalagi yang perlu dipertahankan dari Sandi.
"Lalu? Kamu tak sanggup membelikannya untuk Aura?" tanya Ayahnya Aura dengan sengit."Pak, bapak sendiri kan tahu, kalau saya sekarang tidak bekerja. Saya hanya pengangguran. Bagaimana saya bisa membelikan apa yang Aura mau?" keluh Sandi mengusap keringat di keningnya."Seharusnya kamu bekerja! Cari uang yang banyak!" timpal Ayahnya lagi. Sandi seperti seekor sapi yang diperah tenaganya. Baru sehari jadi suami Aura, dia diperlakukan dengan tidak baik oleh mereka. Sangat jauh dengan apa yang selalu ia dapatkan dari keluarga Sekar dulu. Dia selalu dihormati, diperlakukan dengan sangat baik. Tapi sekarang itu semua hanya tinggal kenangan. Semua berakhir karena kesalahannya sendiri. Sandi hanya bisa menyesali semuanya.Sandi berjalan masuk ke rumahnya. Namun tangan kekar mertuanya menghalalkan Sandi di gawang pintu."Siapa suruh masuk? Saya tak mengijinkan kamu masuk sebelum keinginan anakku kamu kabulkan!" ucapnya dengan datar."Apa? Yang benar saja ? Ayah kira mudah cari uang jutaan unt
Semua kerjasama sudah selesai.Sekar sudah mendapatkan bayaran untuk novelnya, dan Tuan Antoni akan segera memulai membuat film tersebut. Mereka kini pulang masing-masing ke tempat tujuan mereka sendiri.Serly hanya membuang mukanya, merasa tak suka jika Antoni bekerja sama dengan Sekar.Antoni yang tak paham akan hal itu, malah terus menerus menceritakan guru baik itu didepan istrinya."Mas. Apa kau tak ada lagi cerita lain selain cerita tentang Sekar?" tanya Serly yang merasa kupingnya panas mendengar cerita membosankan tentang Sekar."Lo, memangnya kenapa? Ada yang salah kalau Mas cerita tentang Sekar? Dia itu perempuan yang hebat. Mas acungkan jempol untuk perempuan mandiri seperti dia," puji Antoni lagi, untuk Sekar.Serly memutar bola matanya dengan malas. Sungguh rasa cemburu itu membuatnya merasa sangat tersiksa.***Sekar langsung pulang ke rumahnya. Ia rebahkan tubuhnya diatas ranjang keras yang terbuat dari kayu jati, milik ibunya.Rasanya hari ini begitu sangat melelahkan b
Antoni meninggalkan Serly bersama rasa kepenasarannya. Ia berlari mengikuti Antoni yang terus berjalan dengan cepat. Dunia seolah berubah bagi Serly. Dulu, dirinya lah yang selalu sibuk dengan semua urusannya. Seringkali Antoni meminta waktu untuk berdua, atau bertiga bersama anaknya, tapi Serly selalu menyibukkan dirinya. Dan saat ini, semu berbanding terbalik. Antoni kini sedang fokus pada bisnisnya. Ia sudah lupa bagaimana rasanya punya seorang istri."Mas. Tunggu aku. Jangan cepet-cepet Begitu dong jalannya!" teriak Serly dengan terengah.Tapi Antoni masih tetap berjalan meninggalkan istrinya yang kesusahan berjalan. Ia memasuki sebuah ruangan, dimana tak ada orang lain yang bisa masuk selain hanya yang berkepentingan saja."Stop bu. Jangan ikut masuk. Di dalam sedang ada rapat besar, jadi mohon ibu tak ikut masuk,""Apa? Kau berani melarang ku masuk? Kau satpam baru disini, jadi tak tahu siapa saya hah?""Tak penting bagi saya anda itu siapa. Tugas saya hanya mengamankan Bos saya