Share

3. Wanita Penipu.

"Pelangi bisa kamu jelaskan ini?"

Pelangi tersentak dengan benda yang di jatuhkan oleh Langit, benda yang amat dia sembunyikan untuk menghindar perdebatan dan masalah baru di antara dua belah pihak, terlebih keluarganya yang menjadi penyebabnya.

"Pelangi apa kau, tuli? Sampai kamu tidak bisa mendengar suaraku?" ucap Langit dingin, suaranya begitu mengintimidasi sehingga ada rasa ketakutan dalam diri Pelangi.

"I– itu dapat dari mana, mas? Maksudku, mas–" tanpa menjawab pertanyaan Langit, Pelangi balik bertanya membuat Langit mengusap wajahnya kasar.

"Kau tidak ingin menjawab pertanyaan, ku? Atau kamu yang akan menjelaskan pada keluarga mu dan keluarga, ku?"

"M– maafkan aku mas. Tapi aku mohon untuk tidak membahas masalah ini, aku tidak ingin kesehatan Abah dan Umi terganggu dengan kejadian ini." Lirih Pelangi.

"Kamu menjaga perasaan dan kesehatan orang tua, kamu? Lalu bagaimana dengan aku dan keluarga ku, hah? Kamu pikir mereka tidak punya perasaan?"

Langit begitu kesal dengan wanita di depannya yang ia kira adalah Intan istrinya. Wanita yang seharusnya ia nikahi namun, ia terjerat dengan pernikahan yang penuh tipuan.

"T– tapi mereka,"

"Diam! Aku tidak ingin mendengarnya. Lebih baik aku katakan pada mereka siapa kamu yang sebenarnya!" ucap Langit meninggalkan Pelangi begitu saja.

"M– mas, tunggu bisa aku jelaskan ini–" ucap Pelangi tidak melanjutkannya lagi seiring hilangnya Langit dari balik pintu.

Pelangi yang tidak menginginkan pertengkaran diantara mereka berusaha untuk mengejar Langit yang pergi dengan kemarahan.

Sementara itu Langit yang berusaha untuk menemui kedua orang tuanya dan mertuanya terhenti saat suara wanita yang amat ia sayangi tengah mengucapkan kata yang mampu membuatnya terkejut.

"Abah, Umi, terima kasih sudah memberikan Pelangi untuk anakku. Tidak di pungkiri jika aku sangat bahagia meski sempat kecewa dengan sikap Intan yang kabur di hari pernikahan, tapi mendapatkan Pelangi adalah kebahagiaan yang tidak terkira. Abah, bagaimana dengan pria yang sudah ta'aruf Pelangi? Apa tidak –" ucap Rosa tanpa ia tahu jika seseorang tengah berdiri mematung mendengar kenyataan yang menyakitkan.

"Bu Rosa, seperti yang di katakan oleh Pelangi. Jika dia bersedia mengantikan kakaknya untuk menikah dengan Langit itu artinya nak Langit adalah jodohnya." Ucapan wanita yang di panggil Umi tercekat setelah mengetahui bahwa putri bungsunya jatuh hati pada sosok sederhana Rizky. Namun, hanya mereka yang tahu.

"Lalu bagaimana dengan nak Langit? Seandainya dia tahu kalau pengantin wanitanya berbeda? Apa yang akan terjadi nantinya, Bu Rosa?" lirih Umi ada ketakutan jika menantunya akan marah pada putrinya setelah mengetahui kejadian yang sebenarnya. Tidak menutup kemungkinan Langit akan membalas sakit hatinya pada Pelangi.

"Umi jangan khawatir, kami akan mengatasinya. Pelangi adalah menantu yang baik dan istri yang shalihah, aku yakin Langit akan menerimanya, jangan pikirkan hal yang belum tentu terjadi. Kami akan memberikan penjelasan kepada Langit, nanti."

Langit memilih kembali ke kamar hatinya begitu kecewa atas apa yang di lakukan orang tuanya dan juga mertuanya. Satu hal yang tidak di dengar oleh Langit kebenaran tentang perginya Intan, dan kesalahan pahaman dan kebencian Langit begitu dalam terhadap wanita yang kini telah sah menjadi istrinya.

Langit terkejut saat membuka pintu kamar Pelangi yang ternyata terkunci dari luar, pantas saja langit tidak mendapati istrinya di belakang.

"M– mas, maafkan aku dan–" ucapan Pelangi terhenti saat tatapan tajam dari pria di depannya mampu menusuk hatinya.

"Pergilah jangan perlihatkan wajahmu di hadapan, ku! Satu lagi, jangan berharap apapun dari pernikahan ini. Aku adalah pria bebas, tidak ada cinta pada wanita penipu seperti kamu!" Ucap Langit sengit. Pelangi menjauh dari hadapan Langit yang begitu marah terhadap dirinya.

"B– baik mas, assalamualaikum."

"Hum.."

Pelangi tidur dengan posisi menghadap ke jendela, hatinya sakit saat mendengar jika dirinya jangan berharap lebih dari ini. Pria yang kini telah halal untuknya telah membenci setelah berapa jam lalu menikah.

Langit memandang tubuh Pelangi yang tertidur dengan posisi miring dengan kerudung yang menutupi kepalanya. Sungguh wanita yang berhati baik namun, rasa kecewanya kepada keluarga dan kaburnya Intan yang membuatnya enggan mendekati Pelangi.

'Kamu akan merasakan pernikahan neraka Pelangi.' Ucapnya dalam hati ia memilih merebahkan tubuhnya di lantai dengan selimut yang tebal.

Sepertiga malam seperti biasa Pelangi akan terbangun melaksanakan salat di lanjutkan dengan membaca Alquran hingga suara adzan subuh berkumandang. Pelangi membangunkan Langit yang masih tertidur walau ada rasa takut namun, Pelangi tetap mencobanya.

Melihat Langit yang tertidur di lantai dengan selimut sebagai alas.

"Mas bangun waktunya salat subuh,"

"Hum," Langit bangun mengambil wudhu dan mereka melaksanakan salat berjamaah ada sesuatu yang menyeruak dalam hati mereka. Tetapi Langit menepisnya dengan kuat. Kemarahan dan kebenciannya pada Pelangi semakin menjadi saat melihat wanita di depannya tanpa merasa bersalah.

Usai melaksanakan salat subuh Pelangi keluar dari kamar menuju dapur, membantu Umi yang tengah menyiapkan sarapan.

"Assalamualaikum, Umi."

"Wa'alaikumsalam, sayang sudah bangun?" sahut Umi begitu lembut.

"Sudah Umi, biar Pelangi bantu ya, Umi mau masak apa?" tanya Pelangi berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya, kebahagiaan orang tuanya adalah hal utama untuknya. Belum sempat Umi menjawab Pelangi menuju kamar tamu dan tidak lama kembali menghampiri Umi di dapur.

"Umi, dimana orang tua mas Langit? Kenapa tidak ada di kamar tamu?" tanya Pelangi setelah kembali dari kamar tamu.

"Mereka sudah pulang semalam sayang, mereka ingin menyambut kamu di sana. Alhamdulillah, orang tua nak Langit menyayangi kamu nak, semoga rumah tangga kamu samawa, Aamin." Ucap Umi berharap apa yang ia doakan akan menjadi nyata walau hatinya ragu seandainya Langit mengetahui semuanya.

"Umi seandainya hari ini mas Langit mengajak Pelangi tinggal di kota, apakah Umi tidak apa-apa?" tanya Pelangi, semalam tanpa sadar ia mendengar perkataan Langit dengan seseorang yang berada di sambungan telepon yang akan mengajaknya pergi.

"Sayang itu sudah menjadi tanggung jawab kita sebagai seorang istri yang akan mengikuti kemana pun suami pergi, apa kamu belum siap Nak?"

"Tentu tidak Umi, hanya saja aku akan meninggalkan Umi dan Abah sendiri. Bagaimana kalau aku rindu pada Umi dan Abah?"

"Anak nakal, apa nanti kamu akan terus menerus merindukan Umi? Sayang, ketika seorang wanita bersuami maka semuanya mutlak milik suaminya. Jika kamu merindukan Umi dan Abah, maka meminta ijin pada suamimu untuk bertemu dengan Umi dan Abah. Atau saat kamu keluar dari rumah maka ijin suami adalah keharusan, sayang, Umi bersyukur memiliki anak sepertimu Nak. Jangan pikirkan kami hiduplah dengan baik bersama suami mu, tundukkan dirimu saat suamimu tengah marah nak, ajaklah bicara jika keadaan sudah tenang. Kecilkan suaramu di hadapan suami, tetaplah berada di jalan Allah ingatlah surga seorang istri ada pada suami lakukan karena keikhlasan dan kewajiban. Menikah adalah ibadah yang panjang jadi tetapkan sesuai ajaran agama kita, apa putri Umi, paham?" Umi mengusap punggung Pelangi, walau ia tahu jika putri bungsunya adalah anak yang tahu akan batasan.

Tetapi sebagai seorang ibu, Umi ingin memberikan nasehat sebelum putrinya pergi mengikuti suaminya.

"Aku paham Umi, terima kasih nasehat Umi. Satu hal yang harus Umi tahu kalau aku adalah anak yang begitu bersyukur memiliki orang tua seperti Umi dan Abah, aku sayang Umi dan Abah."

"Ada apa ini, kenapa pagi-pagi sudah melow begini?" Abah keluar dari persembunyiannya, sejak tadi Abah memberikan kesempatan untuk dua wanita berbeda usia saling melepas rindu sebelum terpisahkan oleh jarak.

"Abah, sejak kapan Abah di sana?"

"Sejak istri dan putriku sedang berpelukan, Abah tidak mendengar ucapan putri Abah, dimana Nak Langit nak?" tanya Abah untuk berbohong.

"Ada di kamar Abah, sebentar lagi akan turun."

"Assalamualaikum, Abah, Umi."

"Wa'alaikumsalam, Nak Langit mari kita sarapan bersama," ucap Abah.

Pelangi berharap jika Langit tidak mengatakan apa pun pada kedua orang tuanya, biarkan ia memilih pergi bersama suami asalkan kedua orang tuanya tidak tahu apa yang akan di lakukan oleh Langit padanya.

"Begini Abah, Umi, sebelum kita sarapan ada yang ingin saya sampaikan kepada Abah dan Umi. Hari ini saya akan kembali ke kota dan membawa dek Pelangi bersama saya," ucap Langit.

"Abah tidak akan menahan kepergian kalian, tapi Abah minta pada Nak Langit jaga putri Abah, bimbing putri Abah menjadi istri yang penurut–" Abah tidak mampu melanjutkan ucapannya hatinya begitu sakit melihat pengorbanan putri bungsunya yang menjadi pengantin pengganti.

"Abah jangan khawatir soal dek Pelangi, saya akan menjaganya dengan baik. Tentunya menyiksa tanpa memberikan kesempatan untuk melepaskan diri, wanita penipu." Lanjutnya dalam hati.

"Abah jadi lega mendengarnya. Ya sudah kita sarapan."

Mereka sarapan dalam diam hingga usai tidak satupun dari mereka mengeluarkan suara. Langit tahu dan terbiasa bukan hanya di keluarga Abah tetapi di keluarganya pun sama tidak ada yang bersuara saat tengah menikmati hidangan di meja makan.

"Kamu akan merima akibat dari perbuatan kamu. Kamu akan membayar mahal atas penipuan yang kamu lakukan padaku, wanita licik!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status