Sempat bingung dengan apa yang dibawa, kepergian ini sangat mendadak sedang menolak pun tidak berguna. Osara menyambar beberapa barang Irgi dan barangnya untuk dimasukkan ke dalam koper. Mengingat ada lelaki bersama anaknya sedang menunggu. Jikalah ada yang ingin dipakai ternyata tidak dibawa, semoga ada yang menjual dan bisa dibelinya. Sekelebat tanya bagaimana nanti di rumah Erick, itu tidak bisa dipikir lagi, lebih baik dijalani saja. Asalkan lelaki itu tidak punya sifat jahat, biarlah dia turuti, semua demi Irgi. “Sudah, Osara?” tanya Erick yang langsung berdiri dari duduknya. Osara keluar dari rumah dengan menyeret koper mini.“Sudah. Tetapi aku tidak yakin apakah barang penting Irgi sudah kubawa semua apa belum…,” ucap Osara galau. “Gak masalah, nanti jika ada yang lewat, dibelikan.” Erick berjalan dengan isyarat agar Osara mengikuti. Mobil yang dibawa adalah mobil Osara beserta sopirnya. Sedang Erick dari bandara menaiki taksi. Rumah yang dulu begitu ramai saat acara, kini
Rasa aman dan lega hanya sesaat dirasakan sebelum rasa kaget serta rasa dilecehkan menyadarkan. Lelaki yang menangkap dirinya agar tidak jatuh, kini memeluknya dan tidak tahu siapa dia. Bagaimana wajah dan rupanya tidak pun tahu. Osara dipeluk erat dari menyamping di belakang. “Aarrrgggh!” Pekikan itu bersama lepasnya pelukan dan Osara menjauh. Namun, sangat terkejut. Mereka berdua saling pandang saat Osara berbalik. Lelaki pemeluk yang kurang ajar tadi ternyata adalah Erick! Sambil meringis, dia mengguncangkan kakinya berulang kali demi mencegah adanya otot-otot terjebak dan menghindari gumpalan darah. Osara telah memijak kuat-kuat punggung kaki dengan tumit high heels yang dipakai. “Pak Erick, kamu …. Kenapa diam-diam saja kalo datang ke Kuala Lumpur? Apa kakimu sangat sakit? Kenapa tidak bersepatu?” tanya Osara gugup dan khawatir. Selain rasa cemas, juga sedang degup kencang di dadanya. Lelaki yang rencana tidak usah dilihat, justru sudah sangat dekat dan bahkan memeluk
Osara terpekur sambil menatap Irgi yang pulas tertidur. Meski kesal dan menyesali sebab membuat malu sendiri hingga seperti setengah mati, sedikit pun tidak ada rasa marahnya pada Irgi. Tetapi kesal sekali dengan lelaki yang menuduhnya sengaja memancing. Berapa kali sudah dirinya tampak aib di depan Erick? Meski bukan sengaja, bagaimana nanti jika bertemu muka? Mungkin semakin tidak punya nyali untuk menatap muka tampannya. Ah, apa sebaiknya mereka berdua tidak usah saling bertemu hingga kapan pun. Osara tidak sanggup! "Osa, kata papamu, Erick akan datang?" tanya Mama Azizah saat Osara berpamitan. "Emmm. Tapi belum jelas lagi kapan tepatnya, Ma." Osara menyahut dengan nada meyakinkan. Resah andai terpaksa kena tahan. "Emang gak bilang kamu?" tanya Mama Azizah lagi. Wanita itu sedang memegang gelas berisi kopi yang sambil diaduknya. "Iya, Ma. Gak jelas kapan. Mending aku cari angin sama Amira ke bioskop, Ma!" Osara sambil melangkah menjauh mendekat ke pintu. "Ya sudah! Penting
Dengan handuk kekecilan yang melilit di badan, Osara mendekati anaknya. “Sudah habis, Gi?” tanya Osara tanpa menyadari apa yang sedang terjadi. Menghampiri Irgi dan menatap sekilas. Makanan itu ternyata hampir habis. Ah, pintar sekali anaknya belajar makan sendiri. Sesemangat itu, pantas gendut bukan main. Osara tersenyum lebar sendirian sambil pergi ke almari. Mencari baju dan menariknya keluar. Posisi almari di belakang punggung Irgi. Osara merasa leluasa untuk memakai baju dalamnya di kamar. Handuk pun dia campak sementara ke ranjang dan melanjutkan berpakaian. Meski dilakukan cepat, perasaannya tenang dan santai. Tidak menyadari sepasang mata dari negara seberang sedang tercengang melihat segala yang nampak di depan layar. Osara telah selesai shalat dzuhur. Mendapati jika Irgi sudah tidak lagi dalam kamar. Sedikit makanan tercecer di karpet. Tidak banyak dan itu adalah prestasi tersendiri bagi seorang ibu dari anak batitanya. Irgi tidak ada di playground depan kamar. Kemun
Tok Tok Tok “Ada apa, Pak Erick?” Dimas tidak menunggu sahutan dari Erick, telah menyembul di pintu dengan pertanyaannya. “Sorry, Dim. Tolong padatkan dan majukan seluruh jadwalku. Paling lama lima hari ke depan, kelarkan seluruhnya. Jika ada masuk baru, selipkan saja. Aku harus bisa terbang ke Malaysia ujung minggu ini.” Erick menyahut tanya Dimas. “Apa ada masuk book heli mendadak, Pak? Sebab tidak ada jadwal bersemuka dengan pelanggan perhiasan di sana. Itupun jika ada, biasanya anda memintaku mewakili.” Dimas merasa heran. “Memang tidak ada, Dim. Tetapi aku ingin menemui Osara dan Irgi. Hampir setahun aku menelantarkan mereka.” Erick berdiri untuk mengambil minum dari dispenser. Rasa badan sungguh gerah tiba-tiba. Mesin pendingin seperti tidak berfungsi dengan maksimal siang ini. “Menelantarkan gimana, Pak Erick? Anda kan mencukupi semua, diluar jatah dan provit milik Mbak Osara…,” tanya Dimas penasaran. Merasa berhak tahu mengingat selama ini dia telah mengurus janda sek
Menyadari anak lelaki tiga tahunnya mendapat panggilan dari Erick dengan kamera menyorot ke arah ranjang. Osara kebingungan dan merasa blank sebab bangun tidur. Osara buru-buru mengancingkan baju sambil merubah posisi jadi memunggungi Irgi yang sedang video call dengan seru. Namun jelas terlihat sejak bangun tidur, pandangan Erick justru kepadanya. Aduh, Irgi! Tidak kuat menanggung malu, lebih baik tidak bangun, menarik selimut dan menutup rapat hingga menutup seluruh kepala yang tidak berkerudung. “Irgi, tutup panggilannya! Mama mau tidur siang, kamu juga harus tidur!” seru Osara kesal. Merasa tidak siap dengan penampilan bangun tidur saat Erick video call. “Ma, Papa Eiik. Ada Papa Eiik.” Irgi justru berniat membangunkan Osara dengan mengguncang- guncang bahunya. “Irgi! Sudah… mamamu bilang ingin tidur. Sebaiknya kamu pun juga tidur, Papa akan lanjut bekerja, ya. Nanti malam telponan lagi!” seru Erick yang suaranya terdengar agak jauh. Mungkin ponsel diletak Irgi di meja.