Dalam penelurusan singkat melalui Kartu Tanda Penduduk yang terhubung pada Kartu Keluarga, Umi dan Daehan adalah lajang yang bukan saudara mara dan kerabat. Memiliki alamat serta tempat tinggal berjauhan. Itu adalah faktor utama mereka wajib disatukan.
Tanda tangan di berkas sah nikah yang bukan buku nikah baru saja selesai oleh keduanya saat satu panggilan masuk untuk Daehan. Maka lelaki itu pergi meninggalkan ruangan dengan dalih bertelepon. Umi menyusul setelah meladeni beberapa pertanyaan petugas sendirian. Di sana Umi bicara jujur segalanya dan Daehan sama sekali tidak mengetahui. Juga masih ada dua pasang lagi yang bernasib sama untuk dinikahkan dengan mudah. Tentu saja sangat mudah, hanya bermodal KTP, janji mahar, ijab kabul dan dua mempelai itu sendiri. Tanpa bersusah payah dengan syarat ribet pernikahan biasanya pun mereka sudah sah. Bahkan beberapa kali, para petugas mengingatkan pada para pengantin hasil sidak untuk lebih baik bersyukur. Umi dan Daehan sendiri sangat takut mendapati fakta bahwa pernikahan mereka telah tercatat sah di mata negara dan agama. Bukan sekadar nikah siri! Meski belum menerima dua buku nikah sebagai barang bukti. Untuk memiliki dokumen penting itu, mereka perlu mengurus sendiri di lembaga keagamaan yang berkaitan dengan membawa syarat-syarat pernikahan yang tertunda. Seorang lelaki telah menunggu Umi di pintu keluar. Menyongsong Umi dengan ragu. “Ehm… Mbak Umi, penggantinya Bi Rum, ya? Anu, shalat jamaahnya sudah? Ayo, tak antar pulang.” Lelaki itu bicara pada Umi dengan raut biasa. “Eh, iya. Sudah…,” sahut Umi pasrah. “Nggak usah buru-buru, Mbak. Bos sedang bahagia malam ini. Dia nggak bakalan nyariin kita untuk sementara,” ucap lelaki suruhan Daehan itu sambil mengajak Umi mulai jalan. “Apa dia bilang saya lagi shalat?” tanya Umi sambil jalan. Mukena dia singsing sedikit ke atas. “Iya, Mbak. Dia bilang akan kelamaan kalo harus nunggu. Mbaknya kalo shalat khusyuk dan komplet. Jadi, saya yang sedang cuti pun disuruh nunggu,” jelasnya sungguh-sungguh. Lelaki yang menunggu Umi ini adalah sopir Daehan. Seharian ingin bercuti, kini tiba-tiba dapat panggilan. Menjemput art baru si bos di sebuah hotel pinggiran. “Emang, Pak Daehan bahagia ngapain, Mas?” tanya Umi penasaran. “Tunangan, malam ini belio ada acara tunangan sama pacarnya, Mbak.” Sopir menyahut cepat. Seolah Umi adalah teman sejawat yang sudah dikenal lama. Bibir bengkak meradang nya mengatup. Tentu saja terkejut, meski tidak ada perasaan apa pun pada Daehan, fakta itu membuatnya merasa tidak nyaman. Itukah alasan yang membuat Daehan bilang bahwa dua jam lagi adalah masa depannya? Patut…. Sisi mulia hati seorang Shanumi meronta, kasihan…. Agung, sang sopir membawa Umi meluncur lancar membelah jalanan menuju sebuah kawasan yang penuh dengan gedung menjulang. Satu di antaranya adalah unit apartemen mewah kepunyaan Daehan. “Jadi, Mas Agung juga tinggal di sini?” tanya Umi merasa tidak enak. Lelaki itu mengiyakan. “Tapi kalo sudah ada kamu, aku nggak ke sini lagi, Um. Kemarin sebab sering kosong. Mak Rum sudah mudik, sakit. Bos pun jarang pulang. Aku yang disuruh jaga dan bersih-bersih,” jelas Agung dengan ekspresi normal. Tiada tanda-tanda lelaki mata keranjang. Juga tidak tahu-menahu asal-usul Shanumi yang kerabat Mak Rumiyah. Agung yang tadi masuk ke dalam salah satu kamar, kini keluar dengan membawa ransel kecil berisi baju. Meletaknya di sofa ruang tamu dan memanggil Shanumi yang duduk. Memberi penjelasan singkat akan apartemen dan beberapa tugas Shanumi di dalamnya. Tentu saja semua berdasar pengalaman dan perintah dari pemilik langsung, Daehan. Agung pun berpamit pergi setelah menyerahkan kartu kunci apartemen pada Shanumi. Sempat berpetuah pada asisten baru agar bersabar dengan temperamen Daehan yang kadang tempe kadang tahu. Sopir itu benar-benar pergi setelah memberikan nomor ponselnya pada Shanumi. Berjaga andai perlu kapan saja. Tidak ingin makan gaji buta, sebab Daehan begitu gercep membayar gajinya di awal, Shanumi menyapu dan mengepel. Merasa lapar setelahnya, maka bersambung dengan masak makan malam. Kulkas di dapur menyimpan beragam bahan masakan yang lengkap. Soto ayam kesukaan andalan telah berkebul asap dalam mangkuk di atas meja. Juga sayur pelengkap dan sambal. Tanpa kerupuk pun, Shanumi yakin sangat sedap rasanya. Seperti biasa, gadis itu jago membuat masakan yang pas dan enak. Ceklrek Bunyi pintu terbuka membuat Shanumi sedikit merasa tegang. Obat dan salep untuk muka yang baru dia aplikasikan di wajah memarnya segera dikemas kembali ke dalam tas. Bersiap menyambut seseorang yang masuk ke dalam rumah, mungkin Daehan. “Itu…,” ucap seorang wanita cantik full make up menunjuk Shanumi. “Dia … dia pengganti Mak Rum…,” ucap Daehan agak bingung. Perempuan dengan wajah lebam itu tidak tampak besar dan gemuk. Mengenakan celana panjang dan sweater kuning. Rambutnya bergelung besar, mungkin sangat lebat atau panjang. Kulit lehernya bersih dan cerah. Hanya wajah bengkak itu yang dihapalnya. Tentu dia adalah Umi, satu-satunya wanita yang dia bolehkan ada di apartemen. “Agung sudah pergi, Um…?!” tanya Daehan agak keras. Kesal, perempuan itu tidak menyapa, justru sibuk menyambar mukena dan kini sudah terpasang di badan semula. Tertutup sudah tubuh langsingnya. “Eh, sudah, Pak!” sahut Shanumi juga agak keras. Debar jantungnya kencang jumpalitan. Menyembunyikan rasa kaget dan gugupnya. Lupa jika dirinya sedang tidak mengenakan kerudung. Baru sadar saat Daehan menatanya tajam dan heran. Itu tidak seberapa, ada hal mengejutkan lagi yang dia saksikan tanpa disangka-sangka. Wanita cantik yang bersama Daehan adalah…. “Mas, kenapa ada perempuan di rumahmu? Ini kan udah malam?” usik wanita itu sambil mengguncang lengan Daehan. “Dia gantiin Mak Rum.” Daehan menyahut pendek. Tangannya mengepal dengan menghembus napas kasar. Rasanya jadi kesal pada Umi. Membuat mood baiknya terganggu. Merasa jika perempuan itu meski sama-sama tidak menarik, tetapi tidak seperti Mak Rum. Apalagi ingat nikahan sebab kasus tangkap basah yang dialami dengan wanita itu. Kini rasa kesal dan marah yang tersisa kian berkerak. “Kenapa wajahnya serem gitu, Mas? Pembantu itu harusnya enak dilihat, nggak gitu amat. Nggak kebayang gimana dia bikin olahan makanan. Jorok …,” ucap si wanita sambil bergidik. Menatap ngeri pada Shanumi yang wajah bengkaknya kian gelap. “Aku salah pilih, kupikir akan sebagus Mak Rum. Akan segera kupecat dia, Tan,” ucap Daehan yakin pada wanitanya. Shanumi membelalak dan sempat terkejut. Tetapi kembali tenang dan seolah pasrah tak peduli. Kesal yang sesaat ada, terganti dengan kesadaran diri yang sebenarnya tidak terlalu besar merugi. Ya, itulah hasil diskusi kala itu. Daehan berjanji akan memberikan kompensasi sebanyak lima kali selama jadi istri. Shanumi berkesempatan mengajukan apa yang diinginkan hingga lima permintaan! Jadi, semakin cepat Shanumi mendapat kelima permintaan yang diajukan. Maka semakin cepat juga mereka akan mengakhiri hubungan pernikahan. Bahkan, Daehan berpesan agar Shanumi segera mengajukan lima kompensasi yang diingin secepat mungkin tanpa mengulur lagi. Lelaki itu ingin cepat bebas dan melupakan kesialan yang terjadi pada mereka tanpa sisa. Mulut Daehan terbelenggu untuk tidak mengucap pisah dan talak sebelum lunas permintaan. Bisa saja melanggar tanpa peduli dengan janjinya pada Shanumi. Namun, sumpah perempuan itu akan kesialan hidup jika ingkar, sungguh teror mujarab bagi Daehan. Hingga membuatnya enggan melanggar. 🍓Osara hanya melihat helikopter dari tangga tanpa bisa melihat siapa orang yang datang bersamanya. Berpikir bukan urusannya dan siapa pun itu tidak masalah, maka dia melanjutkan selangkah lagi. Berjalan cepat mendekati heli untuk naik ke atas mengambil tas. “Hei, Osara!” Suara besar lelaki menyerukan namanya agak jauh dari belakang. Osara bahkan belum memijak lingkaran helipad. Jadi urung melangkahkan kakinya. “Benarkah kamu Osara?!” seruan besar itu kembali terdengar dan lebih mendekat. Osara buru-buru berbalik untuk tahu. Terkejut setengah mati. Lebih tepatnya takut sepenuh hati. Kenapa lelaki itu tiba-tiba ada dan di mana Erick? Jantung Osara telah berdetak kencang. “Osara? Ya, kau Osara! Kenapa jadi sekurus ini? Suamimu sudah lama tidak ada. Tidak mungkin sebab itu kau begitu kurus. Apa kau sakit, Rara?” tanya lelaki itu dengan pandangan redup yang iba. Mengamati perempuan di depannya dari ujung rambut hingga pucuk kaki. Osara tidak bisa berkata-kata. Kakinya gemet
Perasaan gugup, takut, waswas dengan hati berdebar keras dan jantung berdetak kencang perlahan menghilang seiring membumbung tinggi helikopter. Tenang, santai dan halus tanpa sedikit pun oleng, Erick sangat lihai menerbangkannya. Osara seperti mimpi yang tiba-tiba menaiki heli bersama Irgi hari ini. Berputar jauh dan melintasi kota Kuala Lumpur yang indah menakjubkan dan sangat menyenangkan. Irgi berkedip-kedp bingung dengan apa yang dia rasa dan dia lihat. Sepanjang perjalanan, Osara terus menjelaskan pada Irgi tentang segala hal mengikuti ekspresi yang terbaca di wajah anaknya. “Bagaimana, Gi? Asyik gak?!” seru Dimas sambil terkekeh. Merasa lucu melihat mimik dan ekspresi Irgi yang berubah-ubah dengan cepat. Kadang tegang, santai, senyum, menahan tangis juga menahan napas. “Dia terheran-heran, Mas!” Osara tersenyum lebar-lebar memandang Dimas dan Irgi. Erick melirik di kaca dan tersenyum. Merasa lega, usahanya untuk menyenangkan ibu dan anak di tahun pertama kebersamaan mer
Memandang wanita cantik itu, Osara merasa tidak asing. Yakin pernah melihatnya. Tetapi, kembali tidak pasti di mana melihatnya. Coba keras diingat-ingat pun tetap saja tanpa hasil. Jika dipikir terus, justru akan sakit kepalanya. Langkah wanita itu terhenti sebab Dimas menahannya. Meski terlihat sebal, tetapi diam di tempat juga dengan tatapannya yang sengit. “Ada apa lagi, Dimaaasss…,” ucapnya kesal sembari mundur. Asisten lelaki itu terlalu maju menghadang hingga seperti saling rapat saja terlihat. Tampak sekali jika Dimas kurang menghargainya. “Kali ini nggak boleh ikut, Mbak. Sebab ini penerbangan khusus. Hadiah Pak Erick untuk ulang tahun keponakannya itu. Harap mengerti dan ngasih kesempatan ya, Mbak.” Dimas menunjuk Irgi yang dalam gendongan ibunya. Wanita itu menoleh. Memicing mata pada Osara dan anaknya. Lalu berjalan mendekati. “Kurasa Erick tidak punya saudara seperti dia. Seingatku adiknya Erick sangat cantik….” Wanita itu bicara pelan tetapi tidak mengenakkan di
Pagi secerah ini, Osara terlihat cantik. Meski masih disayangkan bodi kerempengnya yang terus bertahan semenjak kematian suaminya. Mama Azizah memandang dan tersenyum sambil menyimpan rasa sedih. “Sudah siap? Kamu sangat mempesona dengan baju itu, Nak. Jika kamu mau gemuk sedikit saja, akan sempurna kecantikanmu. Kayak Osara yang dulu.” Mama Azizah menatap redup anak angkatnya. “Ah, Ma. Jangan menyanjung ku. Aku tidak terpikir lagi menjadi cantik.” Osara menyahut datar. Merasa pujian mamanya sekadar menyemangati hari ini. Wanita itu sangat antusias dirinya pergi naik heli dengan Dimas. Diam-diam berharap lelaki itu berminat pada putrinya yang janda. Sedang perasaan Osara terhadap lelaki sudah seperti mati rasa. Mama Azizah menhempas napas sambil menggeleng dan berdecak. Padahal, pujiannya bukan berlebihan. Osara memang sangat cantik dengan tubuh berisi yang body goals. Tetapi itu dulu, dalam ingatannya…. Sekarang, ibu muda itu terlalu kurus dengan pipi kelewat tirus. Mata pun
Dua belas bulan kemudian. Tahun pertama perayaan birthday anak lelaki Osara berlangsung sederhana. Membeli sebuah kue tart dan dua belas nasi ayam plus dua belas kotak Donat JCO dengan alamat di sebuah taman bermain anak-anak di lantai dua puluh satu Gedung Kembar Petronas dalam kawasan KLCC (Kuala Lumpur City Centre). Lilin berbentuk angka satu yang tadi menyala kini padam oleh tiupan kecil dari lelaki mungil berbadan tebal, Irgio Dhandy, anak lelaki Osara yang gemuk dan tampan. Dua belas nasi dan dua belas kotak donat juga sukses dibagi-bagi. Anak-anak yang berkunjung di sana hari itu, tidak peduli dari keluarga biasa atau kaya raya, terlihat sangat gembira dan senang hati menerima pembagian nasi dan donat dengan gratis. . Tart yang tidak habis dimakan sekeluarga, yakni Papa Handy, Mama Azizah serta dua adik Osara, dibagikan juga pada anak-anak di sana yang berminat. “Sebentar, Nak. Tinggal sepotong lagi….” Osara membujuk anaknya yang rewel minta pergi. Sedang irisan tart
Mama Hana sudah datang bersama Daehan. Hanya sendiri dengan rencana dua malam saja dan kemudian kembali ke Surabaya. Sebab Shanumi pun baru saja melahirkan."Apa Clara juga sudah melahirkan, Ma?" tanya Osara iseng saja. "Osa, apa Erick tidak pernah bilang?" Mama Hana memandang penuh tanya. "Bilang apa, Ma?" Osara sambil menggeleng tidak paham. "Clara sedang dirawat di rumah sakit Jiwa. Bayinya meninggal dalam kandungan. Maafkan segala kesalahan Clara padamu ya, Osa." Mama Hana terlihat sedih. "Oh, aku ikut belasungkawa, Ma. Aku sudah memaafkan semuanya. Tidak pernah lagi kupikir yang tidak enak di masa lalu." Osara benar-benar terkejut. Tidak menyangka, ternyata nasib Clara justru lebih mengenaskan. "Namun, Osa... kamu pun berhak merasa lega. Ericklah yang membuat Clara gila. Juga, wanita yang datang ke rumahmu dan mengaku hamil oleh almarhum suami kamu, adalah suruhan Clara. Erick mendapat bukti bahwa dia masih punya suami. Tidak tanggung-tanggung, rumah tangganya dibuat beranta
Erick berdiri diam ditempatnya. Niat menghampiri Osara yang sedang menangis meski tidak yakin apa yang akan dilakukan, dia urungkan. Perempuan kurus yang masih terlihat lemah sehabis lahiran itu juga sedang bangun dan turun ranjang perlahan. Melangkah pelan untuk menghampiri bayi yang kembali tampak gelisah. Melihat itu, Erick buru-buru kembali duduk di ranjang dan merebah sebelum Osara berbalik melihatnya. Paham jika bayi itu haus dan akan disusukan. Perempuan itu pasti akan enggan jika dirinya bangun dan melihat. Memilih lebih baik pura-pura tidur saja. Meski tidak nyaman, melihat Erick tidur nyenyak dengan memunggungi, Osara sedikit tenang untuk menyusui. Dari pengalaman singkat beberapa jam setelah persalinan, lebih baik cepat menyusukan sebelum ai bayi merasa kesal dan menangis sebab lapar. Bayi laki-laki dengan berat sedang, tiga setengah kilo itu sangat pintar yang kini sudah sangat mudah menyusu. Hanya didekatkan, bibir mungil itu sigap menangkap dan langsung menghisap put
Osara merasa bingung dan serba salah. Erick dengan santai meminta Dimas agar memanjangkan kursi roda menjadi ranjang. Merapat di dinding dan jauh dari ranjang pasien yang ditempati nya. “Pak Erick, apa yang kamu lakukan?” tanya Osara merasa tidak terima. Dimas telah disuruh keluar sedng Erick merebah terlentang di atas kursi roda yang sudah jadi ranjang. “Sudah kubilang, Osa. Aku jagain kalian. Mamamu kan udah pulang.” Erick mendongak dan memandang Osara. Ranjang pasien jauh lebih tinggi daripada ranjang kursi rodanya “Tapi… tidak usah di dalam juga. Di luar kan bisa…,” ucap Osara kebingungan. “Angin malam tidak bagus. Aku juga masih berstatus pasien di sini, Osa. Karena namaku sebagai penanggungmu, mereka membolehkanku di sini.” Erick berkata tenang. "Iya itu, tetapi Pak Erick kan pasien. Kenapa boleh pasien jaga pasien?" Osara jadi heran. "Ya namanya juga pasien istimewa. Yang penting pasiennya waras saja. Jika tidak boleh, dari awal pun aku sudah tidak bisa bertan
Osara menangis saat menyusui pertama kali. Rasanya luar biasa dengan sejuta sensasi. Haru, takjub, sedih, puas, dan seperti mimpi berbaur menyatu di dadanya. Penuh syukur menatap bayi mungil di pangkuan yang tampak damai dan nyaman dalam balutan handuk lembut. Begitu mudah bayi itu dia susukan. Osara bersyukur, kedua payudara pun begitu mengerti kondisi diri dan langsung menyambut bibir mungil itu dengan aliran colostrumnya yang deras. Hanya si bayi yang sempat kebingungan saat pertama disodorokan putingg ibu. Namun, dia menyesap tepat dan fokus setelah penuh perjuangan dijejalkan. Mama Azizah datang tepat saat bayi itu sudah diletak di ranjang khusus bayi. Kondisi kesehatan bayi lelaki itu tidak memiliki masalah sama sekali dan bisa terus di samping ibu. Osara baru dibersihkan kembali oleh perawat dan kini sudah rapi. Memakai baju pasien rumah sakit dengan gelang warna pink sebagai simbol untuk ibu yang baru saja melahirkan. “Sekali lagi Mama Minta maaf, ya, Nak. Mama tidak si