MasukTidak sia-sia Umi masak soto sedikit banyak yang tidak habis untuk satu orang. Sebab hujan masih turun deras, kuliner langganan Daehan sudah tutup lebih awal. Tunangan cantiknya kelaparan, masakan perdana Umi pun jadi.
Tidak menyangka masakan janda burik itu enak sekali. Bahkan Intana sangat suka. Lupa dengan hinaan jorok yang tadi dilontarkan. Jika tidak ingat bahwa yang masak pun sedang lapar, mungkin Daehan sanggup menghabiskan. “Niat masak buat dinikmati sendiri, malah dapat sisanya doang, dikit lagi,” ucap Shanumi menggerutu sambil berjibaku dengan barang pecah belah di wastafel. “Nggak sopan banget, gini amat nasib istri sah.” Shanumi mengeluh kesal. Tetapi juga menyimpan tawa. Merasa konyol dengan ucapan sendiri yang menyebut diri istri sah. “Udah masak buat orang … eh, panci-pancinya pun kena nyuci sendiri. Sabar ya, Shan … Ini demi dapat uang tambahan lebih cepat!” ucap Shanumi yang kali ini agak keras. Bersaing dengan suara air kran dan panci yang beradu. “Um, kamu ini nggak ikhlas?! Kamu ini kerja, bahkan sudah aku bayar penuh di muka. Ini hanya soto doang! Mak Rum sekali masak macem-macem lah, Um!” Glontang! Daehan tiba-tiba sudah menyembur di samping kanan belakangnya. Saking terkejut, panci yang dicuci jatuh keras ke lekuk wastafel. Untung tidak ada lagi piring di sana. “Eh, anu… saya ikhlas dong, Pak. Tadi hanya suara hati, wajar kan manusia punya suara hati, Pak?” sahut Shanumi serba salah. “Nggak! Kalo suara hati, simpan aja dalam dadamu sendiri. Jangan sampai keluar hingga ada suaranya!” rutuk Daehan di samping telinga Shanumi. “Katakan sekarang juga lima permintaanmu, jangan tunda-tunda. Aku nggak enak banget, nggak nyaman lihat kamu. Mandang kamu kayak terus ingat apesku! Cepetan mintalah lima sekaligus! Perhiasan, baju, tas, sandal atau apa …?” tanya Daehan kali ini lirih setengah berbisik. Matanya sempat melirik ke pintu salah satu kamar. Tidak ingin wanita yang adalah tunangannya di dalam mendengar. “Ya enggak mendadak gini, dong Pak! Ngapain minta-minta yang saya udah punya semua? Saya berencana minta rumah, mobil, sawah, berlian dan tabungan yang nggak habis hingga tiga turunan!” sahut Umi cepat dan agak keras. “Pelankan suaramu, Um! Kamu jangan bikin kacau hubunganku sama Intana. Oke, jika itu yg kamu ingin. Kita ….” “Eits, tidak sekaligus, Pak. Bertahap. Ntar orang mikir saya punya babi ngepet. Tiba-tiba kaya, semua punya. Saya maunya satu-satu, biar yang Bapak kasih ada kualitasnya. Ogah dong, kalo dikasih rumah reot, mobil bekas, atau cuma sawah sepetak …?” ucap Umi lirih sambil mengelap tangan. Segala cucian pecah belah pun selesai. “Kamu ingin memeras aku?! Jangan kurang ajar, jangan keterlaluan, Um!” sambar Daehan dengan suara keras ditahan. Ingin sekali menabok muka bengap Shanumi yang gelap. Geram dan muak sekali rasanya. Shanumi bukan tidak tahu perasaan lelaki itu terhadap dirinya. Tetapi sengaja, sejauh mana kesabaran dan tanggung jawab lelaki itu akan ucapan dan janji yang terlanjur disanggupi sebelum terpaksa menikahi. “Baiklah, Um. Aku tak sanggup lagi bersabar melihatmu. Satu jam lagi, Aku akan pergi. Rapikan apartemen dan bersihkan. Pagi-pagi aku kembali, kuharap kamu sudah tidak ada lagi di apartemen ini.” Daehan bicara yakin dan tegas. Melihat Umi yang burik dengan gaya sok jual mahal, bisa membuat mental Daehan terganggu. Dirinya tidak ingin hilang kendali akibat amarah yang meledak sebab tak bisa ditahan lagi. “Anda mau ke mana? Jadi … saya diusir?” respon Umi setelah sempat termenung. “Bukan urusanmu. Aku tidak mengusir, tetapi memecatmu.” Suara Daehan penuh penekanan. Menahan emosi yang mudah tersulut jika menatap wajah Shanumi. “Anda tidak kapok-kapok ya, Pak. Sudah kena kemarin dengan saya, sekarang berduaan lagi bersama perempuan lain. Nggak takut kena tangkap lagi?” tanya Umi sengaja. Mungkin Daehan akan bertambah marah. “Bedalah, aku dan dia memang akan menikah. Lagipula satu jam lagi kami akan ke bandara. Dia gadis berkelas, suka terbang ke luar negara.” Daehan berekspresi santai tetapi remeh pada Shanumi. “Oh jadi begitu… padahal Bapak udah berumur, usia tiga satu itu nggak muda lagi lho, Pak. Kenapa tunangan doang, nggak nikahan aja? Bermakna tunangan anda tuh egois. Bisa jadi juga punya serepan di negara orang.” Umi sengaja memanasi. Lumayan bisa membalas mulut Daehan yang selalu pedas padanya. “Umi, jaga mulutmu! Udah bengkak, julidnya nggak kira-kira. Intana tidak akan seperti itu, dia berpendidikan dan berwawasan. Dari keluarga baik-baik!” sembur Daehan kesal. “Kalo berwawasan, harusnya paham gimana keadaan calon lakinya. Dijaga… bukan ditinggal-tinggal ke luar negara!” timpal Umi lagi. “Tutup mulutmu! Jangan ngomong lagi kamu! Tahu dirilah sedikit!” Daehan menyentak Shanumi sengit. Gadis itu bungkam. Serta merta menyadari jika ucapan Daehan ada benarnya. Memang, dirinya pun siapa? Hanya asisten rumah tangga yang dipecat. Bahkan diusir pulak! Dirinya gagal mendapat legalisir kerja yang bagus. “Maaf, Pak. Baiklah, saya ini lancang. Janji, saya akan pergi besok pagi. Saat anda buka mata, saya pastikan udah ngga ada lagi Umi di sini.” Shanumi bicara sungguh-sungguh. “Bagus! Terima kasih pengertianmu. Aku sudah membayar gajimu di awal. Aku juga siap menerima lima permintaanmu. Jangan lama-lama, aku ingin cepat bebas dari hubungan apa pun denganmu! Juga jangan lupa, ini rahasia. Tamat hidupmu jika kejadian di hotel barusan sampai bocor! Paham, Um?” Daehan berbicara sambil melirik lagi ke pintu kamar sekilas. “Siap, Pak. Paham.” Shanumi menjawab singkat sambil mengangguk dan ikut melirik. “Eh, Um … saranku, cepetan kelarin urusan permak mukamu. Kurasa untuk tubuh, kamu udah bisa dibilang sukses sedot lemak, atau itu juga hasil operasi dan permak?” tanya Daehan sambil menelusur seluruh badan Umi dengan tatapan mencemooh. “Jangan menuduh sembarangan, ini bukan hasil …!” protes Shanumi terpotong. Daehan telah berbalik dan melangkah pergi. Pintu kamar yang beberapa kali dilirik tadi tiba-tiba terbuka. Ada Intana menyembul dari dalamnya. Sudah bertukar baju berbeda dari yang dipakai saat datang. Baju tunangan panjang telah berganti baju sangat seksi. “Sudah siap, Tan?” tanya Daehan. Mereka saling berhadapan di depan pintu. “Ini udah mepet, Mas. Gimana sih!” ucap Intana dengan nada manja. Melirik pada Shanumi sekilas. Merasa heran, kenapa dirinya sangat tidak suka pada asisten rumah tunangannya. “Mas… aku ingin jika datang ke sini, jangan dia pembantumu. Yang lain aja…,” ucap Intana. Matanya memandang Shanumi sinis. “Itu perkara mudah. Biar jadi urusanku. Sekarang kita berangkat ke bandara. Ntar kamu telat.” Daehan berbalik dari pintu kamar. Menyambar koper di samping sofa serta kunci dan dompet dari atas meja. Intana membuntuti tunangannya dengan santai. Melirik lagi ke dapur. Tidak ada lagi Shanumi di sana. “Tidak sopan. Juragan mau keluar, bukannya buka pintu, malah tiba-tiba ngilang. Dasar nggak ada akhlak!” rutuk Intana lirih. Namun, Daehan mendengar. Serta merta melirik ke tempat Shanumi tadi berdiri. Perempuan itu sudah tidak ada di seluruh area dapur. Ke mana dia, tanya Daehan dalam hati. 🍓Kesibukan Anthony yang terlalu prioritas waktu itu, membuatnya jadi seorang suami sekaligus calon ayah yang lalai. Tidak memberi full support pada kehamilan istri dan semua hanya dipercayakan pada suster yang dibayar untuk mendampingi istrinya. Hingga sesal mendalam saat istrinya tiada, sebab kehabisan tenaga setelah begitu lama proses melahirkan putrinya yang sungsang. “Hei, paman Anthony!” tegur Erick. Anthony menoleh penuh tanya. “Sebaiknya segera bikin istrimu hamil lagi. Dia masih muda. Anak jangan cuma dua jika sudah tua. Tambahlah out put lagi satu atau dua! Jangan ditunda, keburu saraf-saraf senjatamu impoten!” ucap Erick begitu berani dan sengaja. Ingin menggoda Anthony yang terlihat muram dan diam. Lelaki yang diusik memandang dengan tatapan tajam. Tetapi wajahnya cerah kemudian. Dia tidak marah. “Aku sudah punya dua anak dan semua benar-benar hasil benihku. Kurasa itu cukup, aku tidak ingin merepotkan istriku.” Anthony berkata pada Erick dengan tersenyum masam d
Tujuh bulan sejak kematian Clara. __**__ Dua bayi yang masih belajar tengkurap bolak balik itu sangat menggemaskan dengan tubuh tebalnya masing-masing yang berusaha berguling di atas karpet empuk dalam playground. Dua bayi itu adalah paling kecil di antara banyak balita yang bermain bersama mereka di sana. Bukan siapa-siapa, dua bayi lelaki yang otewe merangkak tersebut adalah milik Yunita dan Amira. Jarak kehamilan serta kelahiran mereka berdua memang tidak jauh. Hanya hitungan minggu saja. Sedang balita lainnya di sana, adalah kepunyaan Shanumi, Intana, dan Osara. Meski mereka bertiga kini sudah terlihat berperut buncit lagi. Semua sedang hamil. Shanumi, hamil ke tiga kalinya bersama Daehan. Intana, hamil anaknya Juan yang pertama, dan Osara pun hamil anaknya Erick yang pertama. Intana dan Osara, usia kehamilan terpaut dua bulan. Perut buncit mereka terlihat cukup besar. Untuk Intana, kemungkinan akhir bulan ini melahirkan bayi laki-laki. Perkembangan kehamilannya sel
Osara baru saja mandi sore, menyuapi Irgi dan adiknya di ruang televisi. Bunyi denting di pintu besi apartemen membuatnya seketika menoleh. Ternyata Erick dan telah melemparkan salamnya. Tumben sekali, suaminya pulang kerja lebih cepat hari ini. “Ada apa, Pak Erick? Tak biasa balik cepat….” Osara berkomentar saat Erick sudah masuk melewati pintu besi. Mengulurkan tangan untuk disalim anak-anak setelah Osara pun demikian. “Osara, sebaiknya bersiap-siap, kamu kena ikut pergi denganku kali ini. Anak-anak biar di rumah dengan Suster.” Erick berbicara dengan ekspresi serius. Belum juga duduk.... “Kat mana…,” sahut Osara heran. Tidak mungkin rasanya Erick mengajak jalan-jalan sore dengan ekspresi seperti itu. “Kita ta'ziah. Clara meninggal dunia lepas ashar tadi.” Erick berkata dengan ekspresi yang sama. “Oh….” Osara merasa raganya seketika jadi lunglai di seluruh sendi. “Innalillahi wa inna ilaihi roji'un.” Osara berbisik kemudian setelah menyadari sepenuhnya yang terjadi
Mama Hana sempat keluar sebentar dari kamar mendiang Daishin ketika Papa Sam kembali dari Osaka pukul dua siang lepas dzuhur. Mama Hana kecewa berat sebab kehilangan peluang terbang dua kali hari ini, yakni penerbangan pagi tadi dan penerbangan siang pukul dua. Padahal itu baru saja. Benar-benar membuatnya kesal. “Punya HP nggak guna banget! Disimpan dalam tas melulu buat apa! Buang saja HP kamu, Pa, gak ada gunanya!” Mama Hana sangat kesal. Dia naik tangga lagi meninggalkan suaminya. Ingin pergi ke kamar mendiang lagi. Perasaannya semakin tidak enak. Entah, biasanya tenang dan sabar, kini meledak-ledak dengan bising. Papa Sam garuk-garuk kepala merasa sangat bingung. Bagaimana lagi, dirinya pun tak berdaya dengan kelakuan pihak kereta cepat yang merubah total schedulenya. Hujan deras disertai angin kencang memang sangat berbahaya. Begitu amat nasib bapak-bapak yang berjuang demi bisa pulang. Eh, sampai di rumah, istri pun marah-marah. Sepertinya, seluruh babak-bapak di at
Di sebuah negara, di belahan bumi lain yang jauh dari nusantara, terpisah oleh benua dan samudera, juga hamparan bunga sakura yang gugur menyelimuti buminya yang indah. Harum semerbak wangi menyebar ke seluruh penjuru kota pagi ini. Terdapatlah sebuah keluarga di rumah besar dengan darah Indonesia yang menglir dalam raga. Mereka sarapan pagi hanya bertiga dengan banyak menu di atas meja. “Ya sudah, Ma. Masak Mama akan terbang sendiri? Papa pun tidak mungkin ke Tokyo jalan kaki, kan?” Khaisan mengomentari Mama Hana yang terlihat sangat runsing pagi ini. Papa Samuel belum kembali juga dari Osaka. Baru berkirim kabar lambat tiba, kemungkinan baru siang bisa pulang sebab jadwal kereta cepat menuju Tokyo terhambat hujan badai sejak semalam. Mama Hana tidak ikut sebab sangat repot kemarin. Dua anak Sazlina dan Khaisan sama-sama ulang tahun di tanggal hari itu. “Apa sama kamu saja, Kha? Mama benar-benar tidak tenang. Takut ada apa-apa pada Clara dan Mama tidak di sana,” kata Mama Hana
Di sebuah apartemen mewah di jantung kota di Surabaya. Bukan apartemen yang dibeli dengan kantong sendiri, tetapi ditempati lebih dari seperti milik sendiri. Tanpa batas waktu, bahkan hingga kapan pun. Pemilik tidak berminat menjual tetapi juga tidak teringin menghuninya. Apartemen penuh kenangan. “Mas… Mas Dimas, bangun, dah pagi!” suara bising Amira mengudara dari dapur menembus pintu kayu dan masuk ke dalam kamar. Meski sayup, suara ini adalah alarm mujarab. Lelaki yang sedang meringkuk dan berselimut di atas ranjang pun seketika merespon dengan bergeliat. Buru-buru duduk dan menyempatkan diri untuk terpekur-pekur sejenak. Dering ponsel tanda panggilan masuk berbunyi nyaring membuat Dimas terusik dan tidak tenang. Rasa mengantuk disertai pening sedikit, seketika menghilang. Bos terbaik sekaligus pemilik apartemen malang ini adalah pemanggil dirinya di ponsel. “Assalamu'alaikum, halo Pak Erick!” sapanya bersemangat. Dua hari lalu dirinya baru mendapatkan bonus semesteran







