Share

Semakin Sesak

Aroma minyak kayu putih mulai terasa, Alesha meringis dan memegang kepalanya. Mata perempuan itu mulai terbuka dan berusaha menyesuaikan cahaya terang.

“Alhamdulillah ... nona sudah bangun, sebentar saya panggilkan tuan Arsen dulu ya.”

Perempuan itu tampak tidak peduli dan memilih mengedarkan pandangan ke segala arah. Sadar dia tidak tahu posisinya di mana, ia tersentak dan langsung duduk. Ia menggeleng pelan.

“Aku di mana,” ucapnya dalam hati. Alesha takut terjadi sesuatu hal dan memilih turun dari kasur, belum sempat pergi. Pintu terbuka dan Arsen masuk dengan langkah tegap.

“Mau ke mana kamu?”

“Eh itu—

“Diam di sana, saya tidak mau di repotkan lagi dengan menggendong kamu.”

Alesha diam tak berkutik di tempatnya.

“Tadi saya sudah bicara dengan asisten saya dan ternyata memang benar, ibu kamu pelaku alias dalang di balik kejadian semalam. Saat ini, ibu kamu sedang dalam perjalanan ke sini. Jadi saya harap kamu bisa memarahi ibu kamu bukan saya, karena saya juga korban di sini.”

Arsen terus menyudutkan Alesha yang tidak tahu apa-apa itu. Semua kata kasar terus di lontarkan Aresen yang tanpa sadar membuat Alesha memekik sambil menutup telinganya. Ia menggeleng.

“Ini juga bukan yang aku mau!” histeris Alesha memberanikan diri menatap Arsen. “Aku juga korban di sini, kalau tuan salahin saya. Terus saya salahin siapa? Bahkan sampai detik ini aja saya nggak tau kenapa bisa ada di sini. Bukan ini yang saya mau,” ucap Alesha menjadi formal

Arsen tersentak lalu diam.

“...”

“Bahkan saya nggak mau menikah,” ucap perempuan itu dengan sendu. “Bukan ini ... bukan ini yang aku mau.” Setetes air mata turun di wajahnya manisnya.

Alesha meremat kerudungnya, hatinya sesesak itu membicarakan fakta yang berusaha ia tolak.

“Aku bahkan berusaha nerima fakta yang tuan bilang kalau ibu kandung aku sendiri udah jual aku sama orang asing.” Alesha mendekati Arsen. “Dari semua itu, aku harus nyalahin siapa?” tanya Alesha dengan suara tertahan.

Arsen hanya diam.

“Apa aku harus nyalahin ibu? Atau nyalahin tuan yang malah beli aku dari ibu? Atau aku harus nyalahin takdir buruk yang selalu datang ke hidup aku? Atau ... Aku harus nyalahin diri aku sendiri, kenapa harus hidup di tengah masalah yang berat.”

Arsen berdeham.

“Saya tidak peduli dan saya tidak mau mendengar semua kesedihan di hidup kamu, karena itu bukan urusan saya sama sekali,” ucap Arsen tidak punya hati. “Saya tunggu di luar dulu, nanti setelah ibu kamu datang. Terserah kamu mau ngelakuin apa aja, karena saya malas bertemu sama orang munafik macam ibu kamu.”

Arsen melangkah keluar, meninggalkan Alesha yang sudah terjatuh dan menyandar di balik dinding.

Pandangannya mengabur dan ia kembali menangis histeris. Tangannya bergerak memukul dadanya berulang kali, berusaha menghilangkan rasa sesak yang malah semakin terasa.

“Apa nggak puas ibu ngelakuin hal jahat sama aku? Sampai ngelakuin semuanya sama aku kayak gini?” tanya Alesha

Ia menarik napas dalam dan menatap ke langit rumah. “Ya Tuhan ... Aku capek.”

***

Alesha memandang lurus keberadaan sang ibu yang sedari tadi hanya duduk santai di sofa. Seperti tidak ada masalah sama sekali dan itu semakin membuat Alesha marah. Dengan perasaan tak menentu, ia mendekati ibunya dan tersenyum sangat tipis.

“Bu ... apa kabarnya?” tanya Alesha. “Gimana? Semua yang ibu mau udah terwujud kan? Ibu bisa bayar semua hutang ibu. Ibu bisa belanja pakai uang hasil ngejual anak sendiri. Ibu juga bisa senang-senang karena aku udah nggak tinggal bareng sama ibu.”

Ibunya hanya diam.

“Ibu sebenarnya mikir perasaan Alesha nggak sih?” Alesha menyentuh dadanya. “Alesha ini anak ibu kan? Kalau memang anak ibu, kenapa ibu jahat banget sama Alesha? Alesha tuh kurang apa sih sama ibu? Walaupun hidup ibu sama hidup Alesha bertentangan, Alesha selalu berusaha buat nurutin semua yang ibu mau. Tapi kenapa malah ini yang aku terima?”

Dengan berbagai protes yang keluar dari mulut Alesha. Ibunya itu hanya diam saja. Memasang wajah tak bersalah.

“Cukup ya bu ... Ibu dari dulu selalu ngomong kalau muak punya anak kayak Alesha kan?” tanya Alesha

Ibunya mendengus membuat Alesha berpikir kalau itu jawaban ‘iya' dari sang ibu.

“Ibu udah jual aku, yang artinya ibu nggak ada hak atas aku lagi. Jadi ibu nggak bisa merintah aku lagi. Jadi aku harap. Ini terakhir kalinya ibu otoriter sama aku. Udah cukup ya, bu. Sampai di sini aja.”

Suara tawa remeh dari ibu membuat salah satu alis Alesha terangkat.

“Bu?”

“Kamu ngomong gini karena tahu kan hidup kamu bakalan terjamin buat ke depannya?” sarkas ibu. “Kamu takut kalau ibu nanti minta sama kamu. Alah, harusnya kamu bersyukur kalau ibu ngelakuin ini semua demi kamu. Tapi malah ini yang ibu dapetin dari kamu. Dasar anak tidak tahu diri. Anak pembangkang kamu.”

“...”

“Harusnya kamu seneng sama semua yang ibu lakuin ke kamu. Akhirnya kamu bisa tinggal di rumah sebagus ini. Hidup kamu bakalan terjamin. Nggak ada lagi tuh kamu harus kesulitan cari uang kesana kemari. Cukup diam dan nadahin tangan ke suami. Kamu udah bisa dapet uang. Jadi, jangan malah marah sama ibu. Semua yang ibu lakuin juga demi kamu.”

“Ini mungkin baik buat ibu, tapi enggak buat aku.”

Alesha menatap sekeliling rumah. Rumah yang sangat megah ini tidak pernah terlihat menarik di matanya. Bagi Alesha semua orang yang hidup di rumah megah itu palsu. Mereka memalsukan semua kebahagiaan. Padahal kenyataannya, rumah megah ini membuat semua orang tersiksa.

Dan,

Impian Alesha bukan menjadi orang kaya yang tinggal di rumah besar. Sejak kecil Alesha hanya mau tinggal bersama keluarga yang hangat dan paham agama. Supaya bisa membawanya ke surga-Nya Allah. Alesha mau hidul bahagia bersama orang yang dia sayangi. Bukan sama orang asing yang bahkan tidak Alesha kenal sama sekali.

“Bu ... setelah semua yang ibu lakuin sama Alesha? Ibu masih bisa santai kayak gini? Ya ampun ... dari kemarin Alesha nggak berhenti menangis. Tapi bisa-bisanya ibu masih santai karena udah jual anak kandungnya sendiri.”

“...”

“Mungkin di dunia ibu ini hal biasa. Tapi enggak bagi Alesha, bu. Ini udah keterlaluan. Ibu jahat banget.”

Berulang kali Alesha menghembuskan napas kasar. Berusaha menenangkan diri supaya tidak kelepasan marah sama ibunya.

“Kamu marah hanya karena hal kecil gini?”

“Ini bukan hal kecil,” sela seseorang dengan suara beratnya.

Dari lantai dua Arsen turun dengan langkah tegapnya. Laki-laki itu mendatangi mereka dan berdiri di samping Alesha.

“Di perjanjian, sudah tertulis kalau anda tidak ada hak atas Alesha lagi setelah saya membayarnya. Tetapi, sekarang saya mendapat fakta kalau anda mencampuri urusan pernikahan kami? Saya tidak akan tinggal diam. Tunggu surat panggilan yang datang ke rumah anda!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status