"Saya tidak sedang menjual diri, Pak. Saya menjual satu-satunya hal yang bisa saya tawarkan. Karena nyawa adik saya… jauh lebih berharga dari tubuh ini," ucap Alara. "Lalu apa maksud Bapak meminta lebih dari yang tertulis di kontrak? Ini cuma satu malam dan setelahnya semuanya selesai, 'kan?"
Darren menatap Theo yang sedari tadi menatapnya. Lalu beralih menatap Alara yang menunggu jawabannya. "Ya. Satu malam." "Kita bisa pakai rumah yang di Ravenshire Heights," ucap Theo masih menatap ke arah Darren. "Saya urus penghulu dan saksi. Berkas Alara sudah di-scan." "Oke, kamu atur aja," balas Darren. Theo mengangguk, ia mengalihkan perhatiannya pada Alara. "Tinggal tanda tangan surat pernyataan bahwa ini atas kesadaran pribadi." Alara mendengarkan dengan nafas teratur. Semua terasa seperti transaksi bisnis. Ya, bisnis jual beli. Ia menjual miliknya dan Darren membelinya. "Tunggu apa? Silahkan tanda tangan berkas satu lagi yang ada di map itu, Alara," ucap Theo. Wajah adiknya yang pucat di ranjang ICU sekelebat muncul di benaknya—tubuh kecil itu menggantung antara sadar dan koma. Alara kemudian mengangguk. Tangan kirinya gemetar saat menatap lembaran kertas bak hukuman mati. Ia menandatanginya dengan gemetar. Alara mengangguk lalu berdiri dan melangkahkan kakinya keluar. Namun sampai di ambang pintu, Darren berkata, "Bawa satu koper saja. Tidak usah bawa apa pun yang lain." Tepat pukul lima, sebuah sedan hitam berhenti di depan kontrakan kecil tempat Alara tinggal sementara. Sopir membukakan pintu tanpa kata. Ia hanya menatap Alara dengan hormat dan mengambil kopernya. Perjalanan ke Rosevale House di Ravenshire Heights , tempat tinggal pribadi Darren yang tersembunyi, terasa senyap. Alara duduk dengan lutut rapat, tangan di atas paha, matanya menatap jalan. Tidak ada musik. Tidak ada obrolan. Hanya bayangan wajah adiknya yang masih di ICU. Rumah di kawasan Ravenshire Heights itu mewah, besar, dan terlalu sunyi untuk disebut rumah. Asisten rumah tangga yang bernama Yose menyambutnya dengan senyum ramah langsung mengantar ke kamar lantai dua. Di atas ranjang, tergantung sebuah gaun putih tulang dengan potongan sederhana namun elegan. Ada cermin besar, meja rias, dan kotak yang berisi perhiasan mewah. "Tuan Darren dan Tuan Theo akan datang bersama penghulu dan dua saksi sebentar lagi, bersiaplah," ucap Bi Yose. Satu jam kemudian, Theo datang bersama Darren, seorang penghulu dan dua saksi. Salah satunya adalah satpam rumah itu. Semuanya berlangsung cepat. Darren mengucap ijab kabul dengan lancar. Alara menatap Darren. Tidak ada pelukan. Tidak ada selamat. Darren hanya mengangguk ringan menatapnya setelah berhasil mengucapkan kalimat sakral tersebut. Kini mereka sudah sah menjadi pasangan suami istri. Setelah penghulu dan saksi pamit, tinggallah mereka bertiga di ruang tamu yang kini senyap. Darren menatap jam tangannya. Begitu juga dengan Theo. Theo menyerahkan sebuah amplop hitam pada Alara. "Untuk uang yang kamu minta sudah ditransfer ke rekening atas namamu." Alara menerima amplop itu dengan tangan dingin. Mulutnya juga tak mampu mengucap terima kasih. Theo pamit lalu keluar meninggalkan mereka. Pria itu naik lebih dulu ke tangga. Alara mengikuti dari belakang. Langkahnya pelan, kaku. Setiap anak tangga seperti menghitung ulang rasa malu yang harus ia telan. Pintu kamar terbuka. Lampu temaram menyala. Terlihat ada sebuah ranjang besar, sofa, meja, dan televisi yang cukup besar. Darren sudah masuk ke dalamnya sementara Alara masih berdiri di ambang pintu melihat sekeliling ruangan yang akan menjadi saksi malam ini. "Kau tahu apa yang harus dilakukan. Masuk." ucap Darren. Alara pun melangkah masuk. Tangannya mendorong pintu hingga tertutup rapat. Suara klik kunci terdengar seperti pengunci nasibnya sendiri. Di dalam kamar luas bernuansa putih itu, Darren duduk di tepi ranjang, lengan kemejanya sudah ia gulung hingga setengah. Wajahnya tenang. Sorot matanya tajam. Alara tak berani menatapnya. Alara berdiri di tengah ruangan, tak tahu harus meletakkan tubuhnya di mana. Ia mencoba bicara. "Saya—" Tapi suaranya patah. Darren berdiri, berjalan pelan ke arahnya. Tak menyentuh. Tak berkata. Hanya mendekat. Alara mundur satu langkah. Detak jantungnya begitu cepat. "Saya akan mandi dulu," ucapnya pelan, hampir seperti bisikan. Ia membalikkan badan, melangkah menuju pintu yang ia yakini itu adalah kamar mandi. Tapi sebelum sempat memutar knop pintu, suara Darren menahan langkahnya. "Pastikan kamu tidak berubah pikiran." Jantung Alara berdegup semakin cepat. Darren tidak berteriak. Tidak mengancam dengan nada kasar. Tapi kata-katanya lebih menusuk daripada teriakan mana pun. Alara memutar kenop pintu kamar mandi dengan tangan yang gemetar. Pintu terbuka. Tapi sebelum ia masuk, Darren berkata lagi. "Kamu sudah menjual. Dan saya sudah membayar. Jangan membuat saya berpikir kamu menyesalinya.""Kamu pikir cuma keperawananmu yang tertinggal di kamar itu?" ucap Darren. Alara mengangkat wajahnya. Darren melangkahkan kakinya mendekat Alara di depan jendela kamar, menatapnya dalam. Ia tak terlihat seperti pria yang baru saja menjalani malam dengan perempuan yang dibayarnya. Ada sesuatu di sorot matanya. Bukan iba. Tapi juga bukan hasrat. Lebih seperti ... pengakuan."Saya tidak mengerti maksud Bapak," ucap Alara pelan, menunduk sedikit demi mengalihkan pandangannya. Darren berjalan masuk sebentar dan kembali berdiri di depannya, lalu mengulurkan secarik kertas yang dilipat dua. Alara menerimanya, membuka perlahan. Isinya bukan surat cinta, bukan cek kosong. Tapi surat izin tidak masuk kerja, ditandatangani langsung oleh Darren Julian Whitmore."Aku minta kamu libur hari ini," kata Darren. "Dan temui adikmu. Dia pasti merindukanmu," lanjutnya. Alara menatapnya lama, mencoba membaca maksud tersembunyi di balik kalimat itu. Tapi wajah Darren terlalu tenang untuk bisa ditebak."K
Alara mengangkat wajahnya perlahan. "Jadi saya boleh pergi?" Darren berdiri bersandar di ambang pintu kamar mandi dengan lengan menyilang. Sorot matanya terlihat tajam menatap Alara. "Tidak," jawab Darren setelahnya. Alara menegakkan tubuh. "Tapi tadi Bapak bilang saya boleh pergi. Lalu sekarang berubah lagi? Kenapa semakin sesuka hati Bapak saja." "Saya memang bilang begitu. Tapi saya berubah pikiran,” ucap Darren. Alara menarik napas panjang. "Kenapa? Apa kamu pikir kamu bisa merubah kontrak semaumu?" Darren berjalan mendekatinya perlahan, berhenti beberapa langkah di depannya. "Aku sudah memindahkan adikmu ke rumah sakit elit yang biayanya tidak murah. Aku sudah menanggung semuanya. Dan sekarang aku mau perpanjangan kontrak." Alara mengeraskan rahangnya. "Bapak pikir saya bisa langsung setuju hanya karena Bapak sudah bayarin semua itu?" Ponsel Alara tiba-tiba bergetar. Ia menunduk, melihat layar. Lalu matanya membulat sempurna. Transfer Masuk: Rp500.000.000,- d
"Bagaimana kalau aku tidak puas?"Pertanyaan itu masih terngiang-ngiang di kepala Alara saat ia berdiri di depan jendela kamar. Udara pagi yang lembab dan dingin menusuk kulitnya, tapi yang membuatnya menggigil bukan suhu ruangan. Melainkan ucapan pria yang semalam telah membeli keperawanannya."Saya mohon maaf, Pak Darren, tapi bukankah semalam Bapak bilang ini hanya satu malam?" tanya Alara.Ia menoleh, menatap pria itu yang duduk santai di atas ranjang. Dengan kemeja putih yang sudah setengah dikenakan dan rambut sedikit berantakan karena baru bangun, Darren Whitmore terlihat tenang. Terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menjungkirbalikkan hidup seseorang.Darren tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Alara dengan ekspresi kosong yang tidak bisa ditebak.Alara melanjutkan, nada suaranya sedikit naik. "Kita sudah sepakat. Saya juga sudah menandatangani kontrak yang sudah Bapak buat. Saya akan mendapatkan uang ketika saya menikah dengan Bapak, secara agama, hanya untuk sat
Alara berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri. Matanya merah karena habis menangis karena perkataan Darren tadi terus mengulang di telinganya. Ia menyisir rambut dengan tangan kosong, lalu menarik napas panjang. Ini bukan soal suka atau tidak suka. Ini soal bertahan hidup. Demi adiknya juga.Ia membuka pintu kamar mandi. melangkah keluar mengenakan gaun tidur tipis berwarna krem pucat yang terlihat anggun di tubuhnya. Gaun itu seperti dirancang khusus untuk malam ini. Ia tidak tahu harus merasa takut, gugup, atau justru ingin cepat menyelesaikannya.Saat ia keluar dari kamar mandi, lampu di kamar tidur sudah diredupkan. Musik klasik mengalun pelan entah dari mana, dan Darren sedang berdiri di dekat tempat tidur, punggungnya menghadap ke arah Alara.Darren pun berbalik perlahan saat mendengar langkah Alara. Tatapan mereka bertemu. Darren memandangi Alara seakan ingin mengukir sosoknya dalam ingatan. Bukan sebagai sekretaris, bukan sebagai alat transaksi. Tapi seorang
"Saya tidak sedang menjual diri, Pak. Saya menjual satu-satunya hal yang bisa saya tawarkan. Karena nyawa adik saya… jauh lebih berharga dari tubuh ini," ucap Alara. "Lalu apa maksud Bapak meminta lebih dari yang tertulis di kontrak? Ini cuma satu malam dan setelahnya semuanya selesai, 'kan?"Darren menatap Theo yang sedari tadi menatapnya. Lalu beralih menatap Alara yang menunggu jawabannya. "Ya. Satu malam.""Kita bisa pakai rumah yang di Ravenshire Heights," ucap Theo masih menatap ke arah Darren. "Saya urus penghulu dan saksi. Berkas Alara sudah di-scan.""Oke, kamu atur aja," balas Darren.Theo mengangguk, ia mengalihkan perhatiannya pada Alara. "Tinggal tanda tangan surat pernyataan bahwa ini atas kesadaran pribadi."Alara mendengarkan dengan nafas teratur. Semua terasa seperti transaksi bisnis. Ya, bisnis jual beli. Ia menjual miliknya dan Darren membelinya."Tunggu apa? Silahkan tanda tangan berkas satu lagi yang ada di map itu, Alara," ucap Theo.Wajah adiknya yang pucat di r
“Saya ingin menjual keperawanan saya.”Itu pernyataan paling bodoh yang Alara nyatakan di depan bosnya. Ia mengutuk dirinya sendiri, memastikan ingatan tadi pagi hilang sekaligus dirinya yang kepalang malu. Alara bahkan tidak percaya itu keluar dari mulutnya sendiri. Kepalanya panas, tapi tubuhnya dingin.Malam sudah lewat tengah. Kantor mulai sepi, Alara dengan tak sengaja mendengar percakapan Darren Whitmore—CEO Whitmore Company yang berkuasa dan sok dingin itu ingin merasakan satu malam dengan perempuan yang belum pernah disentuh siapapun.Alara merasa tubuhnya panas dingin– belum lagi adiknya yang terbaring di ICU yang diagnosis gagal ginjal dengan transplantasi mendatang sebesar tiga ratus juta. Uang darimana? Semua barang miliknya sudah dijual, sebagian sudah dilelang. Orang tuanya sudah tiada.Alara Devienne berdiri dengan laporan di tangan dan masih mendengarkan percakapan bos dan asisten bosnya itu. Ia hanya ingin mengantar laporan seperti biasa. Tapi yang ia dengar justru ha