Share

6 - Penuh Tanya

Author: Tiara Putri
last update Huling Na-update: 2025-07-18 17:02:24

"Kamu pikir cuma keperawananmu yang tertinggal di kamar itu?" ucap Darren.

Alara mengangkat wajahnya. Darren melangkahkan kakinya mendekat Alara di depan jendela kamar, menatapnya dalam. Ia tak terlihat seperti pria yang baru saja menjalani malam dengan perempuan yang dibayarnya. Ada sesuatu di sorot matanya. Bukan iba. Tapi juga bukan hasrat. Lebih seperti ... pengakuan.

"Saya tidak mengerti maksud Bapak," ucap Alara pelan, menunduk sedikit demi mengalihkan pandangannya.

Darren berjalan masuk sebentar dan kembali berdiri di depannya, lalu mengulurkan secarik kertas yang dilipat dua. Alara menerimanya, membuka perlahan. Isinya bukan surat cinta, bukan cek kosong. Tapi surat izin tidak masuk kerja, ditandatangani langsung oleh Darren Julian Whitmore.

"Aku minta kamu libur hari ini," kata Darren. "Dan temui adikmu. Dia pasti merindukanmu," lanjutnya.

Alara menatapnya lama, mencoba membaca maksud tersembunyi di balik kalimat itu. Tapi wajah Darren terlalu tenang untuk bisa ditebak.

"Kenapa Bapak melakukan ini semua?" tanyanya pelan.

"Ini bukan hanya tentang kamu. Ini tentang ... sesuatu yang harus saya selesaikan," jawab Darren.

Alara mengernyit bingung. Dua kalimat yang diucapkan pria itu pagi ini membuat Alara tak paham maksudnya. Tapi Darren langsung melangkah ke luar kamar, lalu bicara dari balik pintu yang setengah terbuka.

"Sopir dan pengawalku akan mengantarmu. Mereka akan ikut ke mana pun kamu pergi."

Alara membeku sejenak. "Pengawal?"

"Untuk memastikan kamu tidak kabur," jawab Darren datar. "Dan kamu aman dari siapa pun yang mencoba mencampuri hidupmu sekarang."

Ia lalu menambahkan tanpa menoleh, "Rumah ini bukan bagian dari kehidupan publikku. Bahkan Selene tidak tahu rumah ini ada. Dan kamu jangan beri tahu siapa pun."

Alara hanya diam. Kepalanya penuh pertanyaan, tapi bibirnya terkunci. Ia tahu satu hal, bosnya itu adalah teka-teki yang lebih rumit dari apa pun yang pernah ia temui.

***

Mobil sedan hitam itu menjemput Alara pukul sembilan pagi. Ia duduk di kursi belakang. Di depannya ada seorang pria berjas hitam yang memperkenalkan diri sebagai Rocco. Badannya besar, rahangnya tegas, dan suaranya dalam tapi sopan dan seorang sopir berpenampilan sama bernama Jimmy.

Perjalanan ke St. Aurélien Medical Centre terasa sunyi. Solvera pagi itu diguyur gerimis, membuat kaca jendela mobil dipenuhi tetesan air yang mengalir perlahan.

Alara menyentuh pinggiran kursinya, mencoba menenangkan detak jantungnya. Ia bukan orang baru dalam rasa takut, tapi kali ini ada rasa cemas yang aneh. Bukan karena adiknya. Tapi karena semua hal yang terjadi begitu cepat dan di luar kendalinya.

Setibanya di rumah sakit, Alara langsung diantar ke lantai dua oleh perawat yang sudah menunggunya di lobi. Rocco tetap mengawasi, mengikutinya dari jauh.

Riven sudah terjaga, duduk di ranjang dengan selang infus di tangannya. Wajahnya terlihat lebih cerah dari hari-hari sebelumnya. Alara tersenyum ketika melihat wajah tampan adiknya itu.

"Kak?" suara Riven pelan.

Alara mendekat, menggenggam tangan adiknya. "Hai, apa kamu nyaman di sini?"

Riven mengangguk. "Aku nggak ngerti kenapa tiba-tiba dipindah. Tapi kamar ini kayak hotel bintang lima. Aku suka," ucapnya.

Alara tersenyum kecil. "Fokus sembuh, ya. Jangan pikirin biaya. Kakak sudah urus semuanya."

Riven menatapnya curiga. "Kamu dapat dari mana uang sebanyak itu, Kak?"

Alara terdiam. Lalu mengusap rambut adiknya. "Sudah. Jangan banyak tanya. Yang penting kamu sembuh."

Alara tersenyum lagi. Tapi senyum itu tidak bertahan lama. Ia melihat peralatan medis di sekeliling tempat tidur. Semua terlihat canggih dan mahal. Ini membuatnya sadar, ini bukan hasil dari usahanya sendiri. Tapi juga Darren.

Setelah beberapa menit mengobrol, perawat masuk dan meminta Alara menunggu di luar karena ada prosedur pengecekan rutin. Alara menurut, keluar ke lorong, dan menatap jendela rumah sakit. Rocco berdiri tak jauh, memperhatikan tanpa mengganggu.

Alara bersandar di dinding, menghela napas panjang. Ia merasa seperti hidupnya bukan lagi miliknya sendiri. Segalanya berjalan seperti skenario yang sudah ditentukan dan dia hanya pemain bayaran.

***

Langkah kaki terdengar mendekat, lalu pintu kamar terbuka perlahan. Darren berdiri di ambang pintu, tubuhnya sedikit letih tapi matanya masih menatap dengan intens seperti biasa. Alara sedang duduk di sisi ranjang dengan wajah datar, seperti tak tertarik pada siapa pun yang masuk.

Darren masuk tanpa berkata apa pun, menutup pintu di belakangnya. Jasnya ia letakkan di kursi dekat dinding, dasi dilonggarkan. Ia menatap Alara yang masih belum menyapanya sama sekali.

"Begini caramu menyambut suami saat pulang?" tanyanya, ringan, tapi dengan nada yang sulit ditebak.

Alara akhirnya menoleh pelan, tanpa senyum, tanpa sorot hangat.

"Maaf, saya lupa kalau saya ini istri."

Darren menarik napas panjang, lalu duduk di ranjang, tak jauh dari Alara. "Kita harus bicara."

Alara melipat tangan di dada. "Saya mendengar itu terlalu sering sejak dua hari lalu."

"Aku ingin kau jadi istri sungguhan ketika kita di rumah," ucap Darren yang menatap lurus ke matanya.

Alara menaikkan alis. "Istri sungguhan?"

"Ya. Tidak ada jarak. Tidak ada formalitas berlebihan. Kita hanya berdua di rumah ini. Tidak perlu akting."

"Lalu di luar rumah?" tanya Alara tajam.

"Kau sekretarisku. Kita profesional. Seperti sebelumnya," jawab Darren.

Alara menunduk, menghindari tatapannya.

"Aku tidak sedang memintamu mencintaiku, Alara. Aku hanya minta kau bersikap seperti seseorang yang tinggal bersamaku, bukan seperti penyusup."

Alara menghela napas. "Saya butuh waktu."

Darren mengangguk sekali. "Ya sudah."

Darren belum sempat melepas kancing kemejanya ketika ponselnya bergetar di atas meja. Ia baru saja meminta Alara untuk bersikap seperti istri di rumah dan kini suasana berubah mendadak tegang.

Alara menatap layar ponsel itu. Nama di layar itu menyala jelas 'Selene Avallon'.

Darren juga menatap layar beberapa detik, lalu menoleh ke arah Alara yang masih berdiri tegak di depan tempat tidur. Sorot matanya penuh tanya, tapi ia tidak mengatakan apa pun.

Ponsel itu masih bergetar ketika Darren akhirnya menghela napas pelan, lalu menoleh lagi pada Alara.

"Kenapa Bapak ragu mengangkatnya?"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Istri Rahasia CEO Dingin   8 - Bukan Yang Diinginkan, Tapi Dibutuhkan

    Pagi itu masih terasa dingin. Matahari belum sepenuhnya naik ketika Alara masih duduk diam di meja makan, menatap kosong ke arah secangkir tehnya yang mulai kehilangan uap. Wajahnya tenang, tapi tangannya bergetar pelan saat memutar sendok kecil dalam cangkir porselen.Langkah kaki terdengar menuruni tangga. Darren muncul dengan kemeja putih separuh dikancingkan, dasi dan jas tergantung di lengannya. Rambutnya masih basah, wajahnya terlihat segar setelah mandi, tapi tatapan matanya tetap seperti semalam: tajam, rumit, dan tak bisa ditebak.Tanpa berkata sepatah kata pun, ia menghampiri Alara dan meletakkan dasi serta jasnya di atas meja."Pakaikan," ucapnya pendek.Alara mengangkat wajah, sedikit ragu. Tapi Darren hanya berdiri di hadapannya, menatap lurus, menuntut dengan sikap tenangnya yang seperti biasa. Alara bangkit perlahan. Tangannya gemetar sedikit saat menyentuh kerah kemeja Darren, membetulkan posisinya sebelum melilitkan dasi biru gelap di leher pria itu.Darren tak menund

  • Istri Rahasia CEO Dingin   7 - Siapa Aku Di Hidupmu?

    "Kenapa Bapak ragu mengangkatnya?"Alara bertanya tanpa suara meninggi. Tidak ada nada menuduh, hanya bertanya dan ingin tahu jawaban yang diberikan pria itu.Darren masih menatap layar ponselnya yang terus bergetar. Nama Selene Avallon terpampang jelas, seolah mengingatkan posisi dan janji-janji yang pernah dia buat. Tapi malam ini, rumah tempatnya berdiri, perempuan yang ada di hadapannya, dan sesuatu yang bergemuruh di dalam dirinya—semuanya terasa seperti pengkhianatan terhadap kehidupan yang selama ini ia jalani bersama Selene.Ia akhirnya menekan tombol merah.Panggilan berhenti."Aku tidak ingin membicarakan tentang dia malam ini," ucap Darren, tenang tapi dingin.Alara mengangguk pelan. "Baik."Ia tidak bertanya lagi. Tapi justru sikap diam Alara yang membuat Darren tidak tenang."Kamu tidak penasaran, Al?" tanya Darren akhirnya."Penasaran? Untuk apa? Saya bukan siapa-siapa," jawab Alara datar. "Saya cuma perempuan yang Bapak bayar.""Jangan bicara seperti itu," balas Darren

  • Istri Rahasia CEO Dingin   6 - Penuh Tanya

    "Kamu pikir cuma keperawananmu yang tertinggal di kamar itu?" ucap Darren. Alara mengangkat wajahnya. Darren melangkahkan kakinya mendekat Alara di depan jendela kamar, menatapnya dalam. Ia tak terlihat seperti pria yang baru saja menjalani malam dengan perempuan yang dibayarnya. Ada sesuatu di sorot matanya. Bukan iba. Tapi juga bukan hasrat. Lebih seperti ... pengakuan."Saya tidak mengerti maksud Bapak," ucap Alara pelan, menunduk sedikit demi mengalihkan pandangannya. Darren berjalan masuk sebentar dan kembali berdiri di depannya, lalu mengulurkan secarik kertas yang dilipat dua. Alara menerimanya, membuka perlahan. Isinya bukan surat cinta, bukan cek kosong. Tapi surat izin tidak masuk kerja, ditandatangani langsung oleh Darren Julian Whitmore."Aku minta kamu libur hari ini," kata Darren. "Dan temui adikmu. Dia pasti merindukanmu," lanjutnya. Alara menatapnya lama, mencoba membaca maksud tersembunyi di balik kalimat itu. Tapi wajah Darren terlalu tenang untuk bisa ditebak."K

  • Istri Rahasia CEO Dingin   5 - Perpanjangan Kontrak

    Alara mengangkat wajahnya perlahan. "Jadi saya boleh pergi?" Darren berdiri bersandar di ambang pintu kamar mandi dengan lengan menyilang. Sorot matanya terlihat tajam menatap Alara. "Tidak," jawab Darren setelahnya. Alara menegakkan tubuh. "Tapi tadi Bapak bilang saya boleh pergi. Lalu sekarang berubah lagi? Kenapa semakin sesuka hati Bapak saja." "Saya memang bilang begitu. Tapi saya berubah pikiran,” ucap Darren. Alara menarik napas panjang. "Kenapa? Apa kamu pikir kamu bisa merubah kontrak semaumu?" Darren berjalan mendekatinya perlahan, berhenti beberapa langkah di depannya. "Aku sudah memindahkan adikmu ke rumah sakit elit yang biayanya tidak murah. Aku sudah menanggung semuanya. Dan sekarang aku mau perpanjangan kontrak." Alara mengeraskan rahangnya. "Bapak pikir saya bisa langsung setuju hanya karena Bapak sudah bayarin semua itu?" Ponsel Alara tiba-tiba bergetar. Ia menunduk, melihat layar. Lalu matanya membulat sempurna. Transfer Masuk: Rp500.000.000,- da

  • Istri Rahasia CEO Dingin   4 - Mengingkari Janji

    "Bagaimana kalau aku tidak puas?"Pertanyaan itu masih terngiang-ngiang di kepala Alara saat ia berdiri di depan jendela kamar. Udara pagi yang lembab dan dingin menusuk kulitnya, tapi yang membuatnya menggigil bukan suhu ruangan. Melainkan ucapan pria yang semalam telah membeli keperawanannya."Saya mohon maaf, Pak Darren, tapi bukankah semalam Bapak bilang ini hanya satu malam?" tanya Alara.Ia menoleh, menatap pria itu yang duduk santai di atas ranjang. Dengan kemeja putih yang sudah setengah dikenakan dan rambut sedikit berantakan karena baru bangun, Darren Whitmore terlihat tenang. Terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menjungkirbalikkan hidup seseorang.Darren tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Alara dengan ekspresi kosong yang tidak bisa ditebak.Alara melanjutkan, nada suaranya sedikit naik. "Kita sudah sepakat. Saya juga sudah menandatangani kontrak yang sudah Bapak buat. Saya akan mendapatkan uang ketika saya menikah dengan Bapak, secara agama, hanya untuk sat

  • Istri Rahasia CEO Dingin   3 - Malam Pelepasan

    Alara berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri. Matanya merah karena habis menangis karena perkataan Darren tadi terus mengulang di telinganya. Ia menyisir rambut dengan tangan kosong, lalu menarik napas panjang. Ini bukan soal suka atau tidak suka. Ini soal bertahan hidup. Demi adiknya juga.Ia membuka pintu kamar mandi. melangkah keluar mengenakan gaun tidur tipis berwarna krem pucat yang terlihat anggun di tubuhnya. Gaun itu seperti dirancang khusus untuk malam ini. Ia tidak tahu harus merasa takut, gugup, atau justru ingin cepat menyelesaikannya.Saat ia keluar dari kamar mandi, lampu di kamar tidur sudah diredupkan. Musik klasik mengalun pelan entah dari mana, dan Darren sedang berdiri di dekat tempat tidur, punggungnya menghadap ke arah Alara.Darren pun berbalik perlahan saat mendengar langkah Alara. Tatapan mereka bertemu. Darren memandangi Alara seakan ingin mengukir sosoknya dalam ingatan. Bukan sebagai sekretaris, bukan sebagai alat transaksi. Tapi seorang

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status