"Kenapa Bapak ragu mengangkatnya?"
Alara bertanya tanpa suara meninggi. Tidak ada nada menuduh, hanya bertanya dan ingin tahu jawaban yang diberikan pria itu. Darren masih menatap layar ponselnya yang terus bergetar. Nama Selene Avallon terpampang jelas, seolah mengingatkan posisi dan janji-janji yang pernah dia buat. Tapi malam ini, rumah tempatnya berdiri, perempuan yang ada di hadapannya, dan sesuatu yang bergemuruh di dalam dirinya—semuanya terasa seperti pengkhianatan terhadap kehidupan yang selama ini ia jalani bersama Selene. Ia akhirnya menekan tombol merah. Panggilan berhenti. "Aku tidak ingin membicarakan tentang dia malam ini," ucap Darren, tenang tapi dingin. Alara mengangguk pelan. "Baik." Ia tidak bertanya lagi. Tapi justru sikap diam Alara yang membuat Darren tidak tenang. "Kamu tidak penasaran, Al?" tanya Darren akhirnya. "Penasaran? Untuk apa? Saya bukan siapa-siapa," jawab Alara datar. "Saya cuma perempuan yang Bapak bayar." "Jangan bicara seperti itu," balas Darren dengan cepat. "Tapi itu kenyataannya." Darren menghela napas panjang dan mengusap wajahnya. "Alara-" "Saya boleh tidur sekarang?" potong Alara pelan. Pria itu menatapnya lekat. Ada rasa bersalah yang tidak tahu harus ditaruh di mana. Tapi juga ada ketakutan. Bukan pada Alara. Tapi pada apa yang perlahan mulai berubah dalam dirinya sendiri. "Kamu mau ke mana?" tanya Darren yang melihat Alara keluar dari kamar. "Bapak akan tidur di sini, 'kan?" tanya Alara balik. "Ya." "Kalau begitu saya keluar, tidur di kamar sebelah," ucapnya lalu berbalik dan berjalan keluar kamar. "Kamu tidur di kamar ini," ucap Darren yang menghentikan langkah Alara. "Kamu istriku, jangan lupakan itu." Alara berbalik menatap Darren yang kini sedang menatapnya dengan tajam. "Ta-" "Kamu tau aku paling tidak suka dibantah, Alara." Darren membuka kancing bajunya satu per satu dan melangkah ke kamar mandi tanpa menunggu jawaban. Alara berdiri sebentar, lalu naik ke ranjang tanpa berkata apa-apa lagi. Matanya terbuka menatap langit-langit saat suara air dari kamar mandi mengisi keheningan malam itu. Tak lama kemudian, Darren keluar. Rambutnya sedikit basah. Ia mengenakan kaus hitam dan celana pendek selutut. Suara langkahnya berat dan lambat. Alara langsung memejamkan mata, pura-pura tidur. Darren tahu. Tapi ia tidak mengatakan apa pun. Ia hanya duduk di sisi ranjang selama beberapa detik, memandangi wajah Alara yang berpura-pura tak peduli. Lalu ia ikut berbaring, menjaga jarak, membiarkan jeda selebar dua bantal di antara mereka. Namun, jarak itu tidak cukup untuk meredam pikiran masing-masing. *** Keesokan paginya, Alara bangun lebih dulu. Ia tidak berniat membangunkan Darren. Hanya diam, bangkit dari ranjang, lalu berjalan ke dapur untuk menyiapkan teh. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Seharusnya tidak ada aturan dalam hubungan yang lahir dari kontrak. Darren muncul tak lama kemudian, masih dengan kaus tidurnya. Ia duduk di meja dapur tanpa bicara. Alara menyuguhkan teh dan duduk di seberangnya. "Bapak mau makan sesuatu?" tanya Alara. Ia ingin menyiapkan sarapan. Tapi bingung mau membuat apa. Dia juga tidak tahu kalau biasanya Darren sarapan bagaimana. "Tidak," jawab Darren setelah menyesap tehnya. "Kalau begitu, saya akan bersiap ke kantor." Darren mengangkat kepala. "Tidak usah. Kamu libur sampai aku bilang masuk nantinya." Alara mengangkat alis. "Saya masih sekretaris Anda, Pak." Darren menatapnya. "Kamu lebih dari itu sekarang, Al." Alara menunduk. "Lalu bagaimana dengan kantor? Apa kata orang-orang?" "Mereka tidak perlu tahu. Kita tetap seperti biasa di kantor. Tidak ada yang berubah di depan publik. Tapi di rumah ini kamu adalah istriku." Alara terdiam. "Berarti kita berbohong pada semua orang?" "Tidak," jawab Darren cepat. "Kita hanya perlu merahasiakannya." "Dan tunangan Bapak?" tanya Alara tanpa melihat. Darren menghela napas, meletakkan cangkir tehnya. "Selene bukan urusanmu. Dan semua ini sudah kita bahas sebelumnya, Alara." "Tapi saya tidak ingin menyakiti perempuan lain. Dan Bapak belum memberikan saya jawaban yang jelas untuk itu semua," ucap Alara. "Selene tidak tahu tentang rumah ini. Dia tidak tahu tentang kamu. Dan dia tidak akan tahu." Alara menatap pria itu. "Sampai kapan kita bisa menyembunyikan ini?" "Selama mungkin," jawab Darren tenang. "Atau sampai aku memutuskan semuanya selesai." "Dan kalau saya ingin pergi?" "Kamu tidak akan bisa." Alara mengepalkan tangan di atas pahanya. "Karena saya sudah Bapak bayar?" "Karena kamu sudah terlibat terlalu jauh." Alara berdiri. "Kalau begitu, sebaiknya Bapak tegas. Apa sebenarnya yang Bapak inginkan dari saya?" Darren menatapnya. Tatapan itu lama. Dalam. Lalu ia berdiri pelan, berjalan mendekat. "Aku ingin kamu tetap di sini. Bukan karena kontrak saja. Tapi karena kamu satu-satunya orang yang tidak berpura-pura di hadapanku." Alara tertawa kering. "Lucu. Justru saya merasa saya harus terus berpura-pura setiap detik sejak pernikahan ini terjadi." Darren tak menjawab. Ia hanya menatap dalam, lalu menyentuh pelan tangan Alara. Tapi perempuan itu menarik diri sebelum sempat disentuh. "Aku akan ke luar sebentar. Ada rapat dengan investor," ucap Darren akhirnya. Alara tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan dan melangkah ke jendela. Darren menghela nafas lalu melangkahkan kakinya menuju tangga, hendak ke atas untuk bersiap. Namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara Alara. "Kalau tidak ada yang boleh tahu tentang saya ...." ucap Alara pelan, "sampai kapan saya harus tetap jadi bayangan di balik hidup Bapak?" Darren berdiri kaku, tapi tak menjawab. "Atau saya memang ditakdirkan untuk tidak pernah ada di mata siapa pun?" Hening mengisi ruangan. Darren akhirnya berkata, tanpa menoleh. "Jangan paksa aku memilih sekarang, Alara."Pagi itu masih terasa dingin. Matahari belum sepenuhnya naik ketika Alara masih duduk diam di meja makan, menatap kosong ke arah secangkir tehnya yang mulai kehilangan uap. Wajahnya tenang, tapi tangannya bergetar pelan saat memutar sendok kecil dalam cangkir porselen.Langkah kaki terdengar menuruni tangga. Darren muncul dengan kemeja putih separuh dikancingkan, dasi dan jas tergantung di lengannya. Rambutnya masih basah, wajahnya terlihat segar setelah mandi, tapi tatapan matanya tetap seperti semalam: tajam, rumit, dan tak bisa ditebak.Tanpa berkata sepatah kata pun, ia menghampiri Alara dan meletakkan dasi serta jasnya di atas meja."Pakaikan," ucapnya pendek.Alara mengangkat wajah, sedikit ragu. Tapi Darren hanya berdiri di hadapannya, menatap lurus, menuntut dengan sikap tenangnya yang seperti biasa. Alara bangkit perlahan. Tangannya gemetar sedikit saat menyentuh kerah kemeja Darren, membetulkan posisinya sebelum melilitkan dasi biru gelap di leher pria itu.Darren tak menund
"Kenapa Bapak ragu mengangkatnya?"Alara bertanya tanpa suara meninggi. Tidak ada nada menuduh, hanya bertanya dan ingin tahu jawaban yang diberikan pria itu.Darren masih menatap layar ponselnya yang terus bergetar. Nama Selene Avallon terpampang jelas, seolah mengingatkan posisi dan janji-janji yang pernah dia buat. Tapi malam ini, rumah tempatnya berdiri, perempuan yang ada di hadapannya, dan sesuatu yang bergemuruh di dalam dirinya—semuanya terasa seperti pengkhianatan terhadap kehidupan yang selama ini ia jalani bersama Selene.Ia akhirnya menekan tombol merah.Panggilan berhenti."Aku tidak ingin membicarakan tentang dia malam ini," ucap Darren, tenang tapi dingin.Alara mengangguk pelan. "Baik."Ia tidak bertanya lagi. Tapi justru sikap diam Alara yang membuat Darren tidak tenang."Kamu tidak penasaran, Al?" tanya Darren akhirnya."Penasaran? Untuk apa? Saya bukan siapa-siapa," jawab Alara datar. "Saya cuma perempuan yang Bapak bayar.""Jangan bicara seperti itu," balas Darren
"Kamu pikir cuma keperawananmu yang tertinggal di kamar itu?" ucap Darren. Alara mengangkat wajahnya. Darren melangkahkan kakinya mendekat Alara di depan jendela kamar, menatapnya dalam. Ia tak terlihat seperti pria yang baru saja menjalani malam dengan perempuan yang dibayarnya. Ada sesuatu di sorot matanya. Bukan iba. Tapi juga bukan hasrat. Lebih seperti ... pengakuan."Saya tidak mengerti maksud Bapak," ucap Alara pelan, menunduk sedikit demi mengalihkan pandangannya. Darren berjalan masuk sebentar dan kembali berdiri di depannya, lalu mengulurkan secarik kertas yang dilipat dua. Alara menerimanya, membuka perlahan. Isinya bukan surat cinta, bukan cek kosong. Tapi surat izin tidak masuk kerja, ditandatangani langsung oleh Darren Julian Whitmore."Aku minta kamu libur hari ini," kata Darren. "Dan temui adikmu. Dia pasti merindukanmu," lanjutnya. Alara menatapnya lama, mencoba membaca maksud tersembunyi di balik kalimat itu. Tapi wajah Darren terlalu tenang untuk bisa ditebak."K
Alara mengangkat wajahnya perlahan. "Jadi saya boleh pergi?" Darren berdiri bersandar di ambang pintu kamar mandi dengan lengan menyilang. Sorot matanya terlihat tajam menatap Alara. "Tidak," jawab Darren setelahnya. Alara menegakkan tubuh. "Tapi tadi Bapak bilang saya boleh pergi. Lalu sekarang berubah lagi? Kenapa semakin sesuka hati Bapak saja." "Saya memang bilang begitu. Tapi saya berubah pikiran,” ucap Darren. Alara menarik napas panjang. "Kenapa? Apa kamu pikir kamu bisa merubah kontrak semaumu?" Darren berjalan mendekatinya perlahan, berhenti beberapa langkah di depannya. "Aku sudah memindahkan adikmu ke rumah sakit elit yang biayanya tidak murah. Aku sudah menanggung semuanya. Dan sekarang aku mau perpanjangan kontrak." Alara mengeraskan rahangnya. "Bapak pikir saya bisa langsung setuju hanya karena Bapak sudah bayarin semua itu?" Ponsel Alara tiba-tiba bergetar. Ia menunduk, melihat layar. Lalu matanya membulat sempurna. Transfer Masuk: Rp500.000.000,- da
"Bagaimana kalau aku tidak puas?"Pertanyaan itu masih terngiang-ngiang di kepala Alara saat ia berdiri di depan jendela kamar. Udara pagi yang lembab dan dingin menusuk kulitnya, tapi yang membuatnya menggigil bukan suhu ruangan. Melainkan ucapan pria yang semalam telah membeli keperawanannya."Saya mohon maaf, Pak Darren, tapi bukankah semalam Bapak bilang ini hanya satu malam?" tanya Alara.Ia menoleh, menatap pria itu yang duduk santai di atas ranjang. Dengan kemeja putih yang sudah setengah dikenakan dan rambut sedikit berantakan karena baru bangun, Darren Whitmore terlihat tenang. Terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menjungkirbalikkan hidup seseorang.Darren tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Alara dengan ekspresi kosong yang tidak bisa ditebak.Alara melanjutkan, nada suaranya sedikit naik. "Kita sudah sepakat. Saya juga sudah menandatangani kontrak yang sudah Bapak buat. Saya akan mendapatkan uang ketika saya menikah dengan Bapak, secara agama, hanya untuk sat
Alara berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri. Matanya merah karena habis menangis karena perkataan Darren tadi terus mengulang di telinganya. Ia menyisir rambut dengan tangan kosong, lalu menarik napas panjang. Ini bukan soal suka atau tidak suka. Ini soal bertahan hidup. Demi adiknya juga.Ia membuka pintu kamar mandi. melangkah keluar mengenakan gaun tidur tipis berwarna krem pucat yang terlihat anggun di tubuhnya. Gaun itu seperti dirancang khusus untuk malam ini. Ia tidak tahu harus merasa takut, gugup, atau justru ingin cepat menyelesaikannya.Saat ia keluar dari kamar mandi, lampu di kamar tidur sudah diredupkan. Musik klasik mengalun pelan entah dari mana, dan Darren sedang berdiri di dekat tempat tidur, punggungnya menghadap ke arah Alara.Darren pun berbalik perlahan saat mendengar langkah Alara. Tatapan mereka bertemu. Darren memandangi Alara seakan ingin mengukir sosoknya dalam ingatan. Bukan sebagai sekretaris, bukan sebagai alat transaksi. Tapi seorang