Home / Romansa / Istri Rahasia CEO Dingin / 3 - Malam Pelepasan

Share

3 - Malam Pelepasan

Author: Tiara Putri
last update Last Updated: 2025-07-18 16:57:02

Alara berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri. Matanya merah karena habis menangis karena perkataan Darren tadi terus mengulang di telinganya. Ia menyisir rambut dengan tangan kosong, lalu menarik napas panjang. Ini bukan soal suka atau tidak suka. Ini soal bertahan hidup. Demi adiknya juga.

Ia membuka pintu kamar mandi. melangkah keluar mengenakan gaun tidur tipis berwarna krem pucat yang terlihat anggun di tubuhnya. Gaun itu seperti dirancang khusus untuk malam ini. Ia tidak tahu harus merasa takut, gugup, atau justru ingin cepat menyelesaikannya.

Saat ia keluar dari kamar mandi, lampu di kamar tidur sudah diredupkan. Musik klasik mengalun pelan entah dari mana, dan Darren sedang berdiri di dekat tempat tidur, punggungnya menghadap ke arah Alara.

Darren pun berbalik perlahan saat mendengar langkah Alara. Tatapan mereka bertemu. Darren memandangi Alara seakan ingin mengukir sosoknya dalam ingatan. Bukan sebagai sekretaris, bukan sebagai alat transaksi. Tapi seorang wanita yang menjadi miliknya malam ini.

"Cantik," gumamnya.

Alara menelan ludah. "Anda bilang hanya butuh tubuh saya malam ini."

Darren melangkah pelan, lalu berhenti tepat di hadapannya. "Tidak. Saya bilang saya ingin tahu rasanya memiliki sesuatu yang belum pernah disentuh siapa pun."

Alara memejamkan mata sejenak. Kalimat itu membuat tubuhnya merinding. Bukan karena jijik. Tapi karena ia tahu kalau ia akan kehilangan sesuatu yang tak bisa diambil kembali.

"Tapi maaf, saya tidak tahu caranya," ucap Alara jujur.

Darren mengangkat tangannya, menyentuh pipi Alara dengan lembut. "Kamu hanya perlu izinkan saya menyentuhmu."

Alara menganggukkan kepalanya. Tentu saja mau tidak mau dia mengizinkan pria itu menyentuhnya. Uang yang dimintanya sudah di transfer dan sekarang waktunya dia melakukan tugasnya.

"Bisa cium saya?" pinta Darren.

Ia hanya ingin tahu seperti apa Alara menggoda seorang pria. Mata Alara terpejam erat dengan tangan yang mengepal. Wajahnya maju dan dengan cepat mencium pipi bosnya itu. Darren terkekeh membuat Alara menatapnya bingung.

"Salah tempat, Alara. Di sini," ucap Darren sambil menunjuk bibirnya.

Alara membulatkan matanya. Ia pun kembali memajukan wajahnya untuk mencium di tempat yang diminta pria itu. Alara memundurkan wajahnya ketika bibir mereka sudah bertemu. Membuka matanya, ia melihat Darren menatapnya sambil tersenyum tipis. Sangat tipis.

Tanpa aba-aba, Darren mencium bibir Alara. Ciuman itu datang perlahan. Bukan terburu-buru, tapi menguasai. Bibir Darren menyentuh bibirnya dengan ritme yang menenangkan tapi membuat jantung berdetak lebih cepat. Alara refleks menyentuh dada Darren, lalu meremas bajunya saat pria itu menciumnya lebih dalam.

Tangan Darren bergerak turun, menyentuh pinggang Alara. Lalu mengangkat tubuhnya dan membaringkannya di tempat tidur seolah Alara tak berbobot sama sekali. Darren tetap mencium Alara dan sesekali melepasnya untuk mengambil nafas.

"Lihat aku," bisik Darren. Alara membuka matanya.

"Jangan takut," katanya lagi. "Aku tidak akan menyakitimu."

Darren melepaskan gaun Alara perlahan. Ciumannya kini pindah di sekitaran ceruk leher milik Alara. Gerakannya begitu tenang namun penuh kendali. Alara melenguh tertahan. Ia merasakan sensasi yang berbeda.

"Jangan ditahan. Mendesahlah yang kencang. Jangan takut kalau ada yang mendengar. Di sini hanya ada kita berdua," ucap Darren.

Setelahnya Alara mendesah dengan kencang ketika tangan Darren meremas kedua gundukan dagingnya. Tidak sakit, justru Alara merasa kegelian. Darren benar-benar membuatnya gila kali ini.

Alara menahan napas saat ia merasakan tubuh Darren menyatu dengannya untuk pertama kalinya. Perih, itu yang ia rasakan. Tapi juga disertai dengan kehangatan yang membuatnya tidak ingin menolak. Darren tidak memaksa memasuki. Ia begitu lembut melakukannya.

Tidak terasa, Darren melakukannya berkali-kali. Kini Alara benar-benar sudah tidak kuat lagi. Badannya begitu lelah, intinya juga terasa begitu perih. Darren memakluminya. Darren pun menarik selimut dan menarik tubuh Alara ke pelukannya.

Ia menatap dinding kamar dalam keheningan, berpikir apakah ia akan bangun besok dan menyesal. Tapi tangan Darren memeluk pinggangnya begitu erat, seperti tidak ingin melepaskan.

Beberapa jam kemudian, fajar mulai muncul di balik jendela besar kamar. Alara turun dari tempat tidur lebih dulu. Ia mengenakan kembali gaunnya, duduk di pinggir ranjang sambil menatap keluar jendela kaca yang menyisakan pantulan langit abu-abu kota Solvera. Ia mendengar suara Darren bangun.

"Sudah pagi?" tanya pria itu pelan.

"Sudah," jawab Alara tanpa menoleh.

"Kamu tidur?" tanya Darren lagi.

"Tidak."

Darren duduk. Ia menarik napas pelan. "Kamu tidak harus begini, Al."

Alara menoleh. "Begini bagaimana?"

"Menjadikan dirimu orang yang dingin. Seperti robot."

Alara tertawa kecil. "Bukankah itu yang kamu bayar?"

Darren menatapnya lebih lama. "Aku membayar tubuhmu. Tapi kamu beri aku lebih dari itu."

Alara berdiri. "Apa maksud Bapak?"

"Matamu."

Alara terdiam.

"Aku tidak membayar mata yang menatap seperti ingin bunuh diri," ucap Darren.

Napas Alara tertahan. Ia memalingkan wajah, menyembunyikan getar di bibirnya.

"Saya akan pergi sekarang," ucapnya singkat lalu berdiri dan berjalan ke arah kamar mandi hendak membersihkan tubuhnya.

Darren berdiri, memakai kembali celana pendeknya. "Kamu mau ke mana?"

"Pulang," jawab Alara tanpa menoleh ke arah Darren. "Saya tahu akan posisi saya. Semuanya sudah selesai dan saya mau pulang."

"Kamu pikir aku akan membiarkanmu pergi?" tanya Darren yang membuat Alara menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Darren bingung.

"Kamu pikir, setelah semalam, aku akan selesai?" tanya Darren lagi.

Alara menatapnya tajam. "Kita sudah sepakat hanya untuk satu malam."

Darren melangkah mendekat. Ia menatap balik Alara dengan tajam dan tersenyum miring. Alara memundurkan langkahnya namun sudah tidak bisa karena sudah mentok ke tembok.

"Bagaimana kalau aku tidak puas?" ucap Darren sambil berbisik.

"Apa maksud Bapak?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Rahasia CEO Dingin   8 - Bukan Yang Diinginkan, Tapi Dibutuhkan

    Pagi itu masih terasa dingin. Matahari belum sepenuhnya naik ketika Alara masih duduk diam di meja makan, menatap kosong ke arah secangkir tehnya yang mulai kehilangan uap. Wajahnya tenang, tapi tangannya bergetar pelan saat memutar sendok kecil dalam cangkir porselen.Langkah kaki terdengar menuruni tangga. Darren muncul dengan kemeja putih separuh dikancingkan, dasi dan jas tergantung di lengannya. Rambutnya masih basah, wajahnya terlihat segar setelah mandi, tapi tatapan matanya tetap seperti semalam: tajam, rumit, dan tak bisa ditebak.Tanpa berkata sepatah kata pun, ia menghampiri Alara dan meletakkan dasi serta jasnya di atas meja."Pakaikan," ucapnya pendek.Alara mengangkat wajah, sedikit ragu. Tapi Darren hanya berdiri di hadapannya, menatap lurus, menuntut dengan sikap tenangnya yang seperti biasa. Alara bangkit perlahan. Tangannya gemetar sedikit saat menyentuh kerah kemeja Darren, membetulkan posisinya sebelum melilitkan dasi biru gelap di leher pria itu.Darren tak menund

  • Istri Rahasia CEO Dingin   7 - Siapa Aku Di Hidupmu?

    "Kenapa Bapak ragu mengangkatnya?"Alara bertanya tanpa suara meninggi. Tidak ada nada menuduh, hanya bertanya dan ingin tahu jawaban yang diberikan pria itu.Darren masih menatap layar ponselnya yang terus bergetar. Nama Selene Avallon terpampang jelas, seolah mengingatkan posisi dan janji-janji yang pernah dia buat. Tapi malam ini, rumah tempatnya berdiri, perempuan yang ada di hadapannya, dan sesuatu yang bergemuruh di dalam dirinya—semuanya terasa seperti pengkhianatan terhadap kehidupan yang selama ini ia jalani bersama Selene.Ia akhirnya menekan tombol merah.Panggilan berhenti."Aku tidak ingin membicarakan tentang dia malam ini," ucap Darren, tenang tapi dingin.Alara mengangguk pelan. "Baik."Ia tidak bertanya lagi. Tapi justru sikap diam Alara yang membuat Darren tidak tenang."Kamu tidak penasaran, Al?" tanya Darren akhirnya."Penasaran? Untuk apa? Saya bukan siapa-siapa," jawab Alara datar. "Saya cuma perempuan yang Bapak bayar.""Jangan bicara seperti itu," balas Darren

  • Istri Rahasia CEO Dingin   6 - Penuh Tanya

    "Kamu pikir cuma keperawananmu yang tertinggal di kamar itu?" ucap Darren. Alara mengangkat wajahnya. Darren melangkahkan kakinya mendekat Alara di depan jendela kamar, menatapnya dalam. Ia tak terlihat seperti pria yang baru saja menjalani malam dengan perempuan yang dibayarnya. Ada sesuatu di sorot matanya. Bukan iba. Tapi juga bukan hasrat. Lebih seperti ... pengakuan."Saya tidak mengerti maksud Bapak," ucap Alara pelan, menunduk sedikit demi mengalihkan pandangannya. Darren berjalan masuk sebentar dan kembali berdiri di depannya, lalu mengulurkan secarik kertas yang dilipat dua. Alara menerimanya, membuka perlahan. Isinya bukan surat cinta, bukan cek kosong. Tapi surat izin tidak masuk kerja, ditandatangani langsung oleh Darren Julian Whitmore."Aku minta kamu libur hari ini," kata Darren. "Dan temui adikmu. Dia pasti merindukanmu," lanjutnya. Alara menatapnya lama, mencoba membaca maksud tersembunyi di balik kalimat itu. Tapi wajah Darren terlalu tenang untuk bisa ditebak."K

  • Istri Rahasia CEO Dingin   5 - Perpanjangan Kontrak

    Alara mengangkat wajahnya perlahan. "Jadi saya boleh pergi?" Darren berdiri bersandar di ambang pintu kamar mandi dengan lengan menyilang. Sorot matanya terlihat tajam menatap Alara. "Tidak," jawab Darren setelahnya. Alara menegakkan tubuh. "Tapi tadi Bapak bilang saya boleh pergi. Lalu sekarang berubah lagi? Kenapa semakin sesuka hati Bapak saja." "Saya memang bilang begitu. Tapi saya berubah pikiran,” ucap Darren. Alara menarik napas panjang. "Kenapa? Apa kamu pikir kamu bisa merubah kontrak semaumu?" Darren berjalan mendekatinya perlahan, berhenti beberapa langkah di depannya. "Aku sudah memindahkan adikmu ke rumah sakit elit yang biayanya tidak murah. Aku sudah menanggung semuanya. Dan sekarang aku mau perpanjangan kontrak." Alara mengeraskan rahangnya. "Bapak pikir saya bisa langsung setuju hanya karena Bapak sudah bayarin semua itu?" Ponsel Alara tiba-tiba bergetar. Ia menunduk, melihat layar. Lalu matanya membulat sempurna. Transfer Masuk: Rp500.000.000,- da

  • Istri Rahasia CEO Dingin   4 - Mengingkari Janji

    "Bagaimana kalau aku tidak puas?"Pertanyaan itu masih terngiang-ngiang di kepala Alara saat ia berdiri di depan jendela kamar. Udara pagi yang lembab dan dingin menusuk kulitnya, tapi yang membuatnya menggigil bukan suhu ruangan. Melainkan ucapan pria yang semalam telah membeli keperawanannya."Saya mohon maaf, Pak Darren, tapi bukankah semalam Bapak bilang ini hanya satu malam?" tanya Alara.Ia menoleh, menatap pria itu yang duduk santai di atas ranjang. Dengan kemeja putih yang sudah setengah dikenakan dan rambut sedikit berantakan karena baru bangun, Darren Whitmore terlihat tenang. Terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menjungkirbalikkan hidup seseorang.Darren tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Alara dengan ekspresi kosong yang tidak bisa ditebak.Alara melanjutkan, nada suaranya sedikit naik. "Kita sudah sepakat. Saya juga sudah menandatangani kontrak yang sudah Bapak buat. Saya akan mendapatkan uang ketika saya menikah dengan Bapak, secara agama, hanya untuk sat

  • Istri Rahasia CEO Dingin   3 - Malam Pelepasan

    Alara berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri. Matanya merah karena habis menangis karena perkataan Darren tadi terus mengulang di telinganya. Ia menyisir rambut dengan tangan kosong, lalu menarik napas panjang. Ini bukan soal suka atau tidak suka. Ini soal bertahan hidup. Demi adiknya juga.Ia membuka pintu kamar mandi. melangkah keluar mengenakan gaun tidur tipis berwarna krem pucat yang terlihat anggun di tubuhnya. Gaun itu seperti dirancang khusus untuk malam ini. Ia tidak tahu harus merasa takut, gugup, atau justru ingin cepat menyelesaikannya.Saat ia keluar dari kamar mandi, lampu di kamar tidur sudah diredupkan. Musik klasik mengalun pelan entah dari mana, dan Darren sedang berdiri di dekat tempat tidur, punggungnya menghadap ke arah Alara.Darren pun berbalik perlahan saat mendengar langkah Alara. Tatapan mereka bertemu. Darren memandangi Alara seakan ingin mengukir sosoknya dalam ingatan. Bukan sebagai sekretaris, bukan sebagai alat transaksi. Tapi seorang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status