Alara Devienne tak pernah berpikir bahwa satu keputusan nekat—menjual keperawanannya demi menyelamatkan adiknya—akan menjeratnya dalam pernikahan kontrak dengan Darren Julian Whitmore, CEO di tempatnya bekerja. Ia terisolasi di rumah mewah tersembunyi, menjadi istri yang tak boleh disebut, tak boleh diketahui siapa pun. Tapi Darren menyimpan lebih banyak rahasia dari yang Alara bayangkan. Tentang masa lalu. Tentang keluarganya. Tentang seorang anak kecil yang tiba-tiba mengisi kekosongan hari-harinya. Ketika cinta tumbuh dari luka dan sakit hati, Alara dihadapkan pada pilihan paling sulit. Yaitu tetap menjadi rahasia dalam hidup pria itu atau meninggalkannya untuk menemukan kembali dirinya sendiri.
View More“Saya ingin menjual keperawanan saya.”
Itu pernyataan paling bodoh yang Alara nyatakan di depan bosnya. Ia mengutuk dirinya sendiri, memastikan ingatan tadi pagi hilang sekaligus dirinya yang kepalang malu. Alara bahkan tidak percaya itu keluar dari mulutnya sendiri. Kepalanya panas, tapi tubuhnya dingin. Malam sudah lewat tengah. Kantor mulai sepi, Alara dengan tak sengaja mendengar percakapan Darren Whitmore—CEO Whitmore Company yang berkuasa dan sok dingin itu ingin merasakan satu malam dengan perempuan yang belum pernah disentuh siapapun. Alara merasa tubuhnya panas dingin– belum lagi adiknya yang terbaring di ICU yang diagnosis gagal ginjal dengan transplantasi mendatang sebesar tiga ratus juta. Uang darimana? Semua barang miliknya sudah dijual, sebagian sudah dilelang. Orang tuanya sudah tiada. Alara Devienne berdiri dengan laporan di tangan dan masih mendengarkan percakapan bos dan asisten bosnya itu. Ia hanya ingin mengantar laporan seperti biasa. Tapi yang ia dengar justru hal yang membuatnya mengajukan diri. Darren menginginkan tidur sekali bersama orang yang tak pernah disentuh. Hal itu dipicu karena Selene— tunangannya sudah pernah tidur dengan mantan kekasihnya. Ia merasa tak adil. Jadi ia berencana ingin tidur dengan yang masih ‘polos’. Ia butuh uang, pria itu butuh tubuh. Tapi tetap saja—apakah itu artinya ia kehilangan harga diri bukan? Alara menatap map di tangannya. Lalu menatap pintu yang terbuka separuh. Ia melangkah masuk ke ruang rapat tanpa mengetuk. Darren dan Theo– sahabat sekaligus asistennya menoleh ke arahnya. Alara berdiri di ambang pintu, tenang, wajahnya datar. Suara Darren masih berdengung di telinganya. Akalnya berkata pergi. Tapi kakinya bergerak lebih dulu. Menuju pintu. Membuka peluang yang tak bisa ia tarik kembali. "Maaf mengganggu. Saya hanya ingin menyerahkan laporan mingguan." Ia berjalan pelan ke arah meja, meletakkan map, lalu menatap Darren. "Dan saya ingin mengajukan diri, Pak." Darren menatapnya dengan alis yang terangkat sebelah. “Saya ingin menjual keperawanan saya.” Tak ada tanggapan dari Darren. Namun tatapannya mengarah tepat pada sekretarisnya itu. Tidak ada keterkejutan. Tidak ada reaksi. Hanya diam menunggu Alara yang memang akan melanjutkan ucapannya. Begitu juga Theo memiliki reaksi yang sama dengan Darren. "Saya tadi juga dengar kalau anda mencari perempuan yang belum pernah disentuh siapa pun." Darren tak langsung bereaksi. Tapi bahu Theo menegang. Lalu matanya, perlahan, berpindah dari wajah Darren ke Alara. “Kebetulan saya belum pernah disentuh siapapun.” Darren tak berkedip. Tatapannya tertuju penuh pada Alara, menilai setiap detail dari wajah tenangnya. Ia tak melihat rasa malu di sana. Tak ada air mata. Hanya ada keyakinan. “Atas dasar?” "Saya butuh uang 300 juta untuk operasi adik saya," ucapnya lagi, suaranya sedikit goyah. Alara menunduk sedikit. "Yang tersisa cuma tubuh ini." Kini, Alara termangu di depan pantry. Ia masih memikirkan nasib dirinya yang dinilai buruk atau tak tahu malu atau kemungkinan terburuknya adalah dipecat. Namun, telepon kantor berdering. Theo menyuruhnya untuk ke ruangan Darren. Tangannya sedikit gemetar saat meletakkan gagang telepon. Tapi wajahnya tetap tenang. Ia berdiri, merapikan rok span nya, lalu melangkah menuju ruangan Darren di ujung koridor eksekutif. Saat ia masuk, Darren sudah duduk di belakang meja dengan sebuah map di tangannya. Di sana ada Theo juga yang duduk bersebrangan dengan pria itu. Darren menunjuk kursi di depannya. "Duduk." Alara pun duduk, tepat di samping Theo. Darren mendorong map yang sudah disiapkan oleh Theo tadi ke arahnya. "Buka," jawab Darren. Alara membuka map tersebut, membaca cepat isinya. Sebuah perjanjian pernikahan kontrak. Tertulis jelas di sana pernikahan akan berlangsung selama satu malam, tanpa ikatan lanjutan setelahnya. "Menikah? Ini kita akan menikah, Pak?" tanya Alara menatap Darren tak percaya. "Saya bukan pria yang suka tidur sembarangan dengan wanita. Jadi saya akan menikahi kamu secara agama, tidak tercatat Negara," jawab Darren. Ia menunjuk map di atas meja. "Dan terikat kontrak. Hanya satu malam. Setelahnya saya akan menceraikan kamu." Alara mendadak ragu. Tapi mengingat adiknya yang terbaring lemah di rumah sakit ia pun mengangguk lalu mengambil pulpen. Setelah menandatangani perjanjian, Alara menatap Darren tanpa ekspresi. Tangannya gemetar, tapi suaranya tetap datar. Darren mengambil kertas itu tanpa bicara. Ia membacanya sekilas, lalu menatap Alara dengan sorot tajam yang sulit dibaca. "Cepat juga kamu mengambil keputusan sebesar itu," katanya pelan. "Kamu tahu, wanita lain biasanya berpikir dua kali sebelum menjual dirinya." Alara mendongak, menatapnya lurus. "Saya tidak sedang jual diri," jawab Alara. "Saya menawarkan sesuatu yang saya miliki karena saya butuh uang untuk menyelamatkan nyawa adik saya. Saya juga tau kalau Bapak membutuhkannya." Darren tersenyum miring. Ia menyandarkan tubuh ke kursi, menyilangkan tangan. "Tapi saya penasaran," ucapnya, nadanya serak dan menusuk. "Kalau bukan untuk uang, seberapa jauh kamu akan tetap melakukannya?" Ia mencondongkan tubuh sedikit, menatap Alara dengan penuh tanda tanya yang menggantung di udara. "Dan kalau saya minta lebih dari yang tertulis di kontrak apa kamu akan tetap menurut?""Kamu pikir cuma keperawananmu yang tertinggal di kamar itu?" ucap Darren. Alara mengangkat wajahnya. Darren melangkahkan kakinya mendekat Alara di depan jendela kamar, menatapnya dalam. Ia tak terlihat seperti pria yang baru saja menjalani malam dengan perempuan yang dibayarnya. Ada sesuatu di sorot matanya. Bukan iba. Tapi juga bukan hasrat. Lebih seperti ... pengakuan."Saya tidak mengerti maksud Bapak," ucap Alara pelan, menunduk sedikit demi mengalihkan pandangannya. Darren berjalan masuk sebentar dan kembali berdiri di depannya, lalu mengulurkan secarik kertas yang dilipat dua. Alara menerimanya, membuka perlahan. Isinya bukan surat cinta, bukan cek kosong. Tapi surat izin tidak masuk kerja, ditandatangani langsung oleh Darren Julian Whitmore."Aku minta kamu libur hari ini," kata Darren. "Dan temui adikmu. Dia pasti merindukanmu," lanjutnya. Alara menatapnya lama, mencoba membaca maksud tersembunyi di balik kalimat itu. Tapi wajah Darren terlalu tenang untuk bisa ditebak."K
Alara mengangkat wajahnya perlahan. "Jadi saya boleh pergi?" Darren berdiri bersandar di ambang pintu kamar mandi dengan lengan menyilang. Sorot matanya terlihat tajam menatap Alara. "Tidak," jawab Darren setelahnya. Alara menegakkan tubuh. "Tapi tadi Bapak bilang saya boleh pergi. Lalu sekarang berubah lagi? Kenapa semakin sesuka hati Bapak saja." "Saya memang bilang begitu. Tapi saya berubah pikiran,” ucap Darren. Alara menarik napas panjang. "Kenapa? Apa kamu pikir kamu bisa merubah kontrak semaumu?" Darren berjalan mendekatinya perlahan, berhenti beberapa langkah di depannya. "Aku sudah memindahkan adikmu ke rumah sakit elit yang biayanya tidak murah. Aku sudah menanggung semuanya. Dan sekarang aku mau perpanjangan kontrak." Alara mengeraskan rahangnya. "Bapak pikir saya bisa langsung setuju hanya karena Bapak sudah bayarin semua itu?" Ponsel Alara tiba-tiba bergetar. Ia menunduk, melihat layar. Lalu matanya membulat sempurna. Transfer Masuk: Rp500.000.000,- d
"Bagaimana kalau aku tidak puas?"Pertanyaan itu masih terngiang-ngiang di kepala Alara saat ia berdiri di depan jendela kamar. Udara pagi yang lembab dan dingin menusuk kulitnya, tapi yang membuatnya menggigil bukan suhu ruangan. Melainkan ucapan pria yang semalam telah membeli keperawanannya."Saya mohon maaf, Pak Darren, tapi bukankah semalam Bapak bilang ini hanya satu malam?" tanya Alara.Ia menoleh, menatap pria itu yang duduk santai di atas ranjang. Dengan kemeja putih yang sudah setengah dikenakan dan rambut sedikit berantakan karena baru bangun, Darren Whitmore terlihat tenang. Terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menjungkirbalikkan hidup seseorang.Darren tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Alara dengan ekspresi kosong yang tidak bisa ditebak.Alara melanjutkan, nada suaranya sedikit naik. "Kita sudah sepakat. Saya juga sudah menandatangani kontrak yang sudah Bapak buat. Saya akan mendapatkan uang ketika saya menikah dengan Bapak, secara agama, hanya untuk sat
Alara berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri. Matanya merah karena habis menangis karena perkataan Darren tadi terus mengulang di telinganya. Ia menyisir rambut dengan tangan kosong, lalu menarik napas panjang. Ini bukan soal suka atau tidak suka. Ini soal bertahan hidup. Demi adiknya juga.Ia membuka pintu kamar mandi. melangkah keluar mengenakan gaun tidur tipis berwarna krem pucat yang terlihat anggun di tubuhnya. Gaun itu seperti dirancang khusus untuk malam ini. Ia tidak tahu harus merasa takut, gugup, atau justru ingin cepat menyelesaikannya.Saat ia keluar dari kamar mandi, lampu di kamar tidur sudah diredupkan. Musik klasik mengalun pelan entah dari mana, dan Darren sedang berdiri di dekat tempat tidur, punggungnya menghadap ke arah Alara.Darren pun berbalik perlahan saat mendengar langkah Alara. Tatapan mereka bertemu. Darren memandangi Alara seakan ingin mengukir sosoknya dalam ingatan. Bukan sebagai sekretaris, bukan sebagai alat transaksi. Tapi seorang
"Saya tidak sedang menjual diri, Pak. Saya menjual satu-satunya hal yang bisa saya tawarkan. Karena nyawa adik saya… jauh lebih berharga dari tubuh ini," ucap Alara. "Lalu apa maksud Bapak meminta lebih dari yang tertulis di kontrak? Ini cuma satu malam dan setelahnya semuanya selesai, 'kan?"Darren menatap Theo yang sedari tadi menatapnya. Lalu beralih menatap Alara yang menunggu jawabannya. "Ya. Satu malam.""Kita bisa pakai rumah yang di Ravenshire Heights," ucap Theo masih menatap ke arah Darren. "Saya urus penghulu dan saksi. Berkas Alara sudah di-scan.""Oke, kamu atur aja," balas Darren.Theo mengangguk, ia mengalihkan perhatiannya pada Alara. "Tinggal tanda tangan surat pernyataan bahwa ini atas kesadaran pribadi."Alara mendengarkan dengan nafas teratur. Semua terasa seperti transaksi bisnis. Ya, bisnis jual beli. Ia menjual miliknya dan Darren membelinya."Tunggu apa? Silahkan tanda tangan berkas satu lagi yang ada di map itu, Alara," ucap Theo.Wajah adiknya yang pucat di r
“Saya ingin menjual keperawanan saya.”Itu pernyataan paling bodoh yang Alara nyatakan di depan bosnya. Ia mengutuk dirinya sendiri, memastikan ingatan tadi pagi hilang sekaligus dirinya yang kepalang malu. Alara bahkan tidak percaya itu keluar dari mulutnya sendiri. Kepalanya panas, tapi tubuhnya dingin.Malam sudah lewat tengah. Kantor mulai sepi, Alara dengan tak sengaja mendengar percakapan Darren Whitmore—CEO Whitmore Company yang berkuasa dan sok dingin itu ingin merasakan satu malam dengan perempuan yang belum pernah disentuh siapapun.Alara merasa tubuhnya panas dingin– belum lagi adiknya yang terbaring di ICU yang diagnosis gagal ginjal dengan transplantasi mendatang sebesar tiga ratus juta. Uang darimana? Semua barang miliknya sudah dijual, sebagian sudah dilelang. Orang tuanya sudah tiada.Alara Devienne berdiri dengan laporan di tangan dan masih mendengarkan percakapan bos dan asisten bosnya itu. Ia hanya ingin mengantar laporan seperti biasa. Tapi yang ia dengar justru ha
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments