Reyshaka beserta ketiga sahabat brengseknya dan Namira berkumpul di ruang televisi. Ketiga pria yang telah melecehkan Namira itu menundukan pandangan, mereka malu karena baru menyadari telah berbuat bejat kepada karyawan di perusahaan sang sahabat yang telah menjadikan mereka orang penting di perusahaan tersebut. “Ini pertanggungjawabannya gimana? Lo-lo pada udah ngerusak dia!” Untuk pertama kalinya Reyshaka membentak ketiga sahabatnya karena murka. “Gue enggak sadar … gue mabok.” Rivan membela diri. Reyshaka jengah sekali, dia menoleh pada Namira yang malah menundukan kepala seperti ketakutan dengan tubuh yang belum berhenti bergetar. “Pokoknya gue mau kalian tanggung jawab! Kalau nama baik perusahaan gue jadi tercemar gara-gara Namira ngelaporin kalian! Kalian semua harus ganti rugi!” Reyshaka mengancam. Dia bangkit dari kursi kemudian menarik langkah hendak pergi keluar dari unit apartemen Surya membiarkan mereka menyelesaikan masalah ini. Namun setelah melewati pintu, benak Reyshaka banyak berpikir sampai akhirnya dia memutar badan dan kembali masuk ke apartemen Surya. “Woy!” Reyshaka kembali berteriak saat melihat Rivan sedang mencekik leher Namira dan satu tangan membekap mulutnya. “Lo gila! Anjing!!” Bibir Reyshaka jarang mengumpat, tapi dia tidak menahan diri saat melihat Rivan menyelesaikan masalah dengan cara ingin menghilangkan nyawa Namira dan kedua sahabatnya yang lain memilih diam saja. Sepertinya dia salah bergaul selama ini. Reyshaka menarik tangan Namira dan membawanya pergi dari unit apartemen itu. *** “Rumah kamu di mana?” Reyshaka bertanya saat mobilnya sudah keluar dari pelataran parkir apartemen Surya. Namira menyebutkan alamat rumahnya saat tangan Reyshaka sudah terulur menekan layar gps yang tergantung pada dashboard. “Kenapa kamu diem aja dilecehkan dan dianiaya mereka?” Bukan maksud menyalahkan tapi Reyshaka gemas karena Namira tidak melakukan perlawanan sengit malah tadi ketika Rivan mencekiknya—Namira tidak berteriak atau meronta. “Saya takut dipecat, Pak … saya enggak akan buat laporan apapun atas perlakuan pak Doni, pak Rivan dan pak Surya sama saya tapi tolong jangan pecat saya, Pak … saya butuh uang untuk hidup sehari-hari bersama ayah juga untuk berobat ayah ….” Reyshaka menoleh sekilas, pendar di matanya menyiratkan rasa iba yang besar pada Namira. Hatinya berdenyut ngilu mendengar permohonan setengah putus asa dari Namira. “Terus kalau kamu mati, siapa yang akan ngurus ayah kamu?” Namira menundukan kepalanya, dia malah menangis. Andaikan Reyshaka tahu kalau Namira takut kepada tiga pria besar yang telah melecehkannya itu dan dia juga sesungguhnya sudah lelah hidup di dunia ini apalagi sekarang dia telah kehilangan kehormatan sebagai seorang wanita. Reyshaka mengembuskan napas panjang, dia menyugar rambut ke belakang. Selama perjalanan, Namira menatap kosong ke depan. Benaknya dipenuhi kilasan kejadian mengerikan tadi malam yang dilakukan tiga pria pimpinannya di kantor. Semestinya Namira curiga saat disuruh Rivan mengantar file desain hasil revisi ke apartemen itu karena file tersebut bisa dikirim melalui email. Dia terlalu takut dipecat, Namira membutuhkan uang untuk biaya hidup dan berobat ayah. Andaikan dia mengikuti permintaan ayah untuk resign dari Mars Byantara Group, mungkin kejadian naas ini tidak perlu menimpanya. Air mata kembali mengalir, Namira mengusapnya dengan punggung tangan. Dia menarik kedua sisi jaket Reyshaka yang membalut tubuhnya. Tadi sebelum masuk ke dalam mobil, Reyshaka mengeluarkan jaket dari dalam bagasi untuk Namira karena mengetahui beberapa kancing di kemeja Namira sudah hilang entah kemana yang pasti ulah dari Rivan dan kawan-kawan tadi malam. Diam-diam Reyshaka melirik Namira, terlihat lutut Namira bergetar mungkin rasa takut masih melingkupinya. Mobil yang Reyshaka kemudikan akhirnya tiba di sebuah daerah perkampungan kumuh. “Rumah saya di ujung gang sana dekat komplek pemakaman umum, Pak … Terimakasih sudah mengantar saya … sampai bertemu hari Senin.” Namira turun dari dalam mobil usai berkata demikian sementara Reyshaka masih tercengang karena setelah semua musibah ini Namira masih bisa berjanji untuk masuk kerja hari senin besok. Beberapa orang yang tinggal di lingkungan rumah Namira menatap heran melihat Namira yang baru pulang pagi ini masih menggunakan pakaian kerja. “Mir … bokap lo nyariin noh, kalau ‘lembur’ kabarin donk … kasian ‘kan bokap lo nungguin sampe subuh,” celetukan dari seorang wanita paruh baya yang merupakan tetangganya itu dianggap angin lalu oleh Namira. Langkahnya semakin cepat menuju rumah, tidak lupa dia membersihkan wajah menggunakan tissue agar ayah tidak melihat jejak air matanya. “Ayaaah.” Namira membuka pintu sembari memanggil sang ayah. “Miraaaa.” Ayah menyahut dengan suara parau, beliau duduk di kursi roda. Tidak berubah saat dia tinggalkan kemarin pagi. Seisi ruangan bau pesing tapi Namira sudah biasa, dia bergegas mendekat dan mendapati celana ayah telah basah. “Ayah kenapa enggak minta tolong pak Sukiman kalau mau pipis?” Namira mendorong kursi roda ayah ke pintu kamar mandi. “Kamu dari mana? Kenapa enggak pulang tadi malam? Kenapa hape enggak aktif?” cecar ayah dengan kepala menoleh ke belakang. “Maaf Yah, Namira lembur dan ketiduran di kantor ….” Namira memberi alasan sembari membantu Ayah bangkit dari kursi roda. Di dalam kamar mandi ada kursi plastik, Namira mendudukan ayah Altezza di sana. “Sekalian mandi aja ya, Yah?” Namira akhirnya menatap mata ayah. Tatapan beliau seolah menunggu Namira menjelaskan alasan lain yang lebih masuk akal. Sebelum ayah banyak bertanya, Namira mulai melakukan kegiatan rutin setiap pagi yaitu memandikan ayah. Dia menarik kaos ayah hingga melewati kepala dan menanggalkan celana beliau. “Kenapa kamu pakai jaket laki-laki?” Tatapan Namira langsung tertunduk menatap jaket yang dia kenakan. “Ini jaket teman Mira yang ketinggalan di kantor … tadi malem Mira pinjem.” Dusta lagi yang Namira berikan agar ayah tidak khawatir Selama Namira memandikan ayah, mata ayah terus menatap wajah Namira membuat Namira sekuat tenaga menyembunyikan gundah di hatinya. Setelah memandikan ayah, Namira membantu ayah memakai pakaian sampai kebagian terakhir—Namira menyisir rambut ayah. “Ayah Namira tuh ternyata ganteng ya.” Namira mengecup pipi ayah sebelum menyimpan sisir di atas meja. “Mira mandi dulu terus mau masak ya, sebentar ya Yah.” Namira bergegas pergi meninggalkan kamar ayah, dia masuk ke dalam kamarnya tanpa lupa mengunci pintu. Setelah pintu tertutup, Namira bersandar di sana lalu melorotkan tubuhnya hingga terduduk di lantai. Dia membekap mulutnya dan mulai menangis tanpa suara. Sakit di pangkal pahanya mengalahkan sakit dihatinya melihat keadaan ayah saat dia pulang tadi. Ayah terlihat cemas, matanya menampung buliran kristal dan sepertinya ayah tidak percaya dengan alasan yang disampaikannya barusan. Tidak bisa Namira bayangkan bagaimana perasaan ayah bila mengetahui kalau putrinya telah mendapatkan Karma dari perbuatan bejatnya di masa lalu. “Tuhan … apa yang Engkau janjikan saat hendak mengirimku ke dunia sampai aku bersedia untuk dilahirkan, karena hingga detik ini aku belum juga merasakan apa yang namanya kebahagiaan.” Namira membatin disertai air mata yang terus mengalir dan sesak di dada.
Benak Reyshaka sibukberpikir selama perjalanan pulang ke rumah, bila ayahnya tahu masalah ini pastidia akan mendapat teguran keras selain harus melihat kekecewaan ayah dan sudahpasti ketiga sahabatnya akan dipecat.Tanpa terasa dia sampai di rumah, mobil Amaratelah terparkir di halaman depan.Amara adalah adik pertamanya yang tinggal diBandung dan membantu mengelola perkebunan teh dan beberapa pom bensin milikkakek dari pihak bunda.Dia bergegas keluar dari mobil, menderapkanlangkah masuk ke dalam rumah.“Amara!” Reyshaka berseru hingga suaranya menggemadi seantero rumah.“Mas Khaliiiiisss.” Amara berlari dari halamanbelakang memburu sang kakak.Khalis adalah nama panggilan kesayangan seluruhkeluarganya.Mereka bilang kalau nama Khalis diberikan olehwanita yang paling disayang di keluarga mereka.Reyshaka sendiri tidak tahu siapa wanita itu danbagaimana rupanya karena beliau meninggal sebelum dirinya lahir.Reyshaka memeluk Amara lantas membawanya ke kiridan ke kanan.“Ma
Pesta pernikahanMistia-anak dari Om Egi dan tante Diana berhasil mengumpulkan anggota keluargaByantara yang terpencar di seluruh penjuru Negri maupun yang berdomisili diluar Negri kecuali Eyang Prita yang sudah sepuh dan gampang lelah kalaubepergian jauh.Reyshaka bertemu banyak sepupu, mereka berkumpuldi area meja keluarga.Dia memandang wajah semua sepupunya yangkebanyakan adalah perempuan lalu seolah diingatkan kembali oleh Namira dannasib tragis yang dialaminya.“Mas! Ngelamun aja … bukannya cari jodoh … sepupudari suaminya Mistia cantik-cantik lho!” tegur Dandi-sepupu jauh Reyshakasebelum akhirnya pria itu menghempaskan bokong di kursi kosong di sampingnya.Hembusan napas panjang Reyshaka keluarkan denganraut wajah yang seperti sedang menanggung beban berat.Dandi hanya memandangi wajah sang sepupu yangmenurutnya sudah tua tapi belum juga menikah padahal memiliki paras tampan dansudah mapan dari segi finansial.Reyshaka menoleh pada Dandi, melihat tatapan Dandiyang y
Satu hari penuh selama dikantor, ketiga sahabatnya seolah menghindar dari Reyshaka padahal semestinyamereka meminta maaf dan memberitahu langkah apa yang akan mereka lakukan untukmenyelesaikan masalah ini karena mereka belum tahu kalau Namira tidak akanmelaporkan kejadian mengerikan itu ke pihak Kepolisian.Dan hingga waktunya jam pulang kerja, Reyshakatidak juga melihat batang hidung ketiga sahabatnya.Sesampainya di rumah, Reyshaka bertemu bunda dankedua adiknya, dia ingat kembali kepada Namira.Apakah Namira tadi masuk kerja?Reyshaka lupa melirik ke ruangan divisi desaininterior saat bolak-balik ke lift seharian ini.Keesokan harinya Doni mendatangi ruangan kerjaReyshaka, dia menunduk seolah segan menatap wajah sahabat tapi bosnya itu.“Gue mau diskusi tentang klien kita yang mau buatcluster perumahan baru,” kata Doni dengan suara pelan.“Oke.” Reyshaka menegakan punggungnya dengan keduatangan dia simpan di atas meja, menunggu Doni menjelaskan sebuah konsep.“Sebelumnya g
Reyshaka seperti orang gila mengemudikan kendaraannya menuju rumah sakit, dia sempat membebat pergelangan tangan Namira menggunakan jaket yang selalu ada di bagasi mobiln tapi darah masih terus mengalir merembes dari kain pembebat lengan Namira. Dia mengulurkan tangan ke samping untuk mengusap kepala Namira, mencari tahu apakah Namira masih sadarkan diri. “Mir,” panggil Reyshaka sembari menoleh sekilas. Reyshaka sempat melihat dada Namira bergerak seperti bernapas tapi lemah. “Mir, bertahan ya … sebentar lagi kita sampai,” kata Reyshaka dan tentu saja tidak ada jawaban. Jantung Reyshaka berdetak kencang sekali, dia tidak akan memaafkan dirinya kalau sampai nyawa Namira lewat malam ini. Ini semua gara-gara dia yang tidak becus sebagai pemimpin perusahaan. Reyshaka terus saja menyalahkan dirinya sendiri. Beberapa saat kemudian mereka sampai di depan IGD rumah sakit. Reyshaka turun dari mobil dan berteriak meminta pertolongan sekuriti. Sekuriti datang membawa brankar ketika meli
“Jadi hari Senin setelah kamu dilecehkan itu, si Rivan masih berani ngancem kamu buat resign?” Nada suara Reyshaka meninggi, dia murka.Benar-benar tidak ada niat baik apalagi bertanggung jawab dari ketiga sahabat sekaligus bawahannya itu.Reyshaka mengusap wajahnya kasar, tangannya sampai bergetar karena menahan amarah yang akhirnya dia kepal di atas paha.Rasanya ingin sekali dia membunuh Rivan sekarang juga.Seorang pimpinan perusahaan harus bisa menjaga citra perusahaan sedangkan Rivan beserta Doni juga Surya telah menghancurkan nama baik perusahaan.Beruntung Namira tidak memiliki kekuatan secara finansial, bagaimana bila terjadi pada karyawan lain yang memiliki kemampuan untuk menuntut mereka? Sudah bisa dipastikan perusahaan ayah Archio akan hancur.Ayah Archio sampai jatuh bangun untuk membangun perusahaan di Jakarta karena di sini mereka memiliki banyak saingan.“Pak Rey jangan bilang sama pak Rivan ya, saya enggak mau dia datangin saya … saya enggak mau digilir sama sekuri
Mata Namira memindai sekitar, baru menyadari kalau Reyshaka menempatkannya di kamar rawat kelas VIP.Ruangan luas, ada sofa bed, sofa set, meja makan dan mini pantry.Bisa dibayangkan berapa biaya rumah sakit yang harus Reyshaka bayar nanti mengingat Namira melakukan dua kali operasi yaitu di pergelangan tangan dan di rahim.Padahal Reyshaka tidak perlu berkorban sebesar ini karena bukan dia pelakunya.Bila hanya karena untuk menyelamatkan nama baik perusahaan, pengorbanan Reyshaka terlalu berlebihan. Mungkinkah hati Reyshaka terlalu baik, sama seperti ayahnya yang bersedia menikahi sang bunda yang telah dirusak oleh ayah Altezza?Satu pertanyaan itu menggaung dibenak Namira.Kalau memang benar, Namira justru jadi tidak enak hati apalagi Reyshaka sampai harus menikahinya.“Mir.” Suara berat di sampingnya menyadarkan Namira yang langsung menoleh.“P-Pak Rey?” Namira bergumam, dia heran sejak kapan Reyshaka masuk.Tadi pria itu mengatakan akan membeli kopi di coffeshop yang berada di a
“Raina … apa jadwal saya setelah makan siang?” Reyshaka bertanya sembari membaca berkas tentang kecurangan Surya sebagai hasil dari investigasi Raina dan nanti akan Reyshaka laporkan kepada pimpinan pusat yang tidak lain adalah ayahnya sendiri juga kepada Audit Intern agar dia terbebas dari tuduhan persekongkolan dengan Surya mengingat dirinya yang memasukan Surya ke perusahaan ini.“Enggak ada Pak,” jawab Raina sembari menatap iPadnya.“Oke, saya bawa berkasnya … saya makan siang dulu … tolong siapkan mobil,” titah Reyshaka sembari merapihkan berkas tersebut yang kemudian dia masukan ke dalam map.“Baik, Pak!” Raina menyahut cepat lantas keluar dari ruangan.Dalam perjalanan menuju restoran yang letaknya dekat dengan rumah sakit tempat Namira dirawat, Reyshaka menghubungi Dandi untuk bertemu.Dan sekarang Reyshaka sudah duduk di salah satu meja menunggu Dandi.Sepupunya datang dengan raut masam menatap kesal dari jauh pada Reyshaka.“Kenapa muka lo?” tanya Reyshaka tanpa dosa.“Gue b
Beberapa hari kemudian setelah melakukan theraphy selanjutnya, Namira tidak jadi di rujuk ke rumah sakit jiwa.Dokter bedah yang menangani operasi Namira juga sudah mengijinkan Namira pulang hanya saja Namira belum bisa menggunakan tangan kirinya untuk terlalu banyak aktifitas atau mengangkat beban berat.Di kamarnya, Namira duduk sisi ranjang menatap sendu kebaya putih yang berada di atas pangkuan.Kebaya itu adalah milik sang bunda sewaktu menikah dengan ayah dan besok akan Namira kenakan di hari pernikahannya dengan Reyshaka.Satu sisi Namira kasihan kepada Reyshaka yang harus berkorban menanggung kesalahan tiga sahabatnya yang bejat tapi sisi lain dia tidak punya pilihan karena memiliki banyak keterbatasan bila tidak menerima tawaran Reyshaka.Namira mendapat kesempatan kedua untuk hidup setelah sebelumnya dia putus asa dan memilih untuk mengakhirinya jadi kesempatan kedua ini harus dia pergunakan sebaik-baiknya.Dan tawaran Reyshaka bisa membuat hidupnya lebih baik.Satu bulir ai