Suara tepuk tangan bernada sumbang dan secarik senyuman terpaksa menyambut gerak langkah Aksa yang baru menginjak anak tangga terbawah. “Hebat ya … lima tahun tidak pulang, tahu-tahu sudah beristri dua!” Sindiran pedas turut menyapa Aksa. Clarissa bangkit dari sofa dan berjalan menyongsong Aksa. Marsha mengekor dengan pandangan mencemooh. “Aku sedang buru-buru,” sela Aksa, malas meladeni sikap sentimental mamanya. “Baru saja datang sudah mau pergi lagi! Kamu pikir rumah ini hotel?!” “Aku harus menjemput Chana, Ma. Papa yang minta.” Tanpa memedulikan umpatan dan sumpah serapah Clarissa, Aksa tetap mengayun langkah panjang untuk melaksanakan tugas yang dibebankan di pundaknya. “Heran! Apa sih hebatnya dia sampai-sampai dua wanita bodoh mau saja menikah dengannya?!” Marsha mendumel dengan wajah sekusut pakaian belum disetrika. Hatinya benar-benar dongkol. Dia tidak rela ada menantu wanita lainnya yang datang ke rumah besar itu. Kalau sampai di antara mereka ada yang berhasil menga
“Di mana kakak iparku? Aku ingin berkenalan dengannya.” Chana berjalan setengah berlari memasuki rumah. Sepanjang jalan tadi hasrat hatinya sudah menggebu-gebu, ingin melihat seperti apa rupa wanita yang baru saja dinikahi Aksa. “Chana!” Aksa mencoba menahan keinginan Chana sambil tangannya terus menyeret koper sang adik. “Apa?” Chana berhenti sejenak dan menengok ke belakang. “Kakak tidak ingin aku mengenalnya? Jahat sekali!” Aksa mengulum senyum. Adiknya itu sudah hampir menikah dan tinggal menghitung jam, tetapi tingkahnya masih saja seperti anak kecil. Sedari dulu Chana selalu tertarik untuk mengetahui segala hal tentang dirinya. Mungkin itulah yang menjadi penyebab hubungan mereka bisa sangat dekat. “Kamu baru saja pulang, tapi yang kamu cari malah orang asing,” keluh Clarissa. “Apa kamu sudah melupakan mama?” “Dan juga kakak iparmu?” Marsha ikut menimpali. Chana memutar kepala, berhadapan dengan Clarissa dan Marsha. “Eh, Mama,” tegurnya. Dia menghambur, mendekap sang mama
Seperti seorang pencuri yang sedang beraksi dan takut membangunkan penghuni rumah yang sedang terlena dibuai mimpi, Ainun memutar gagang pintu dengan sangat perlahan. Dia sengaja tidak menyalakan lampu agar tak ada yang menyadari bahwa dia masih terjaga. Ainun menarik daun pintu dan memosisikan kepalanya untuk dapat mengintip tanpa khawatir ketahuan. 'Astagfirullah!' kaget Ainun, beristigfar dalam hati lantas berbisik, “Itu benar-benar Mas Aksa.” Meski samar karena lampu di sepanjang lorong itu sudah padam, Ainun masih dapat mengenali siluet tubuh Aksa. Lelaki itu berdiri tepat di depan pintu kamar Agnes dengan posisi tangan sudah memegang gagang pintu. Detak jantung Ainun kian bergemuruh. Apa yang dilakukan Aksa di sana? Dia tidak mungkin akan nekat tidur sekamar dengan Agnes, bukan? Beragam tanya berseliweran di kepala Ainun seperti potongan-potongan puzzle rumit. Ainun hanya bisa tergugu ketika Aksa benar-benar menghilang di balik pintu kamar Agnes. Inikah makna dari semua sika
Agnes sedang mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam lemari pakaian ketika dia mendengar suara ketukan pintu. Ditaruhnya bungkusan itu di sudut ranjang saat dia berjalan menuju pintu. Agnes refleks melangkah mundur tatkala mendapati Clarissa berdiri dengan wajah sinis di depan pintu. Tanpa dipersilakan, Clarissa langsung masuk. Bola matanya bergerak liar menyapu seluruh permukaan kasur. “Apa ini?” tanyanya sambil meraih bungkusan yang diletakkan Agnes di atas tempat tidur. “Oh, itu … hadiah kecil untuk Tante,” sahut Agnes. Dia tersenyum canggung. Tidak menyangka kalau ibu mertuanya itu akan mendatangi kamarnya. “Kamu ingin menyogokku?” “Maksud Tante?” “Aku tahu apa hubunganmu dengan Aksa.” “Kalau Tante pikir aku takut kebenaran ini akan terungkap, Tante salah.” Clarissa melengos. Bantahan Agnes menyentil egonya. Dia sudah terlanjur senang karena dia punya senjata untuk menaklukkan Agnes, tetapi dia kecele. Wanita itu punya perisai kepercayaan diri yang cukup kuat untuk menaha
Meski resepsi pernikahan Chana hanya mengundang tamu dalam jumlah yang sangat terbatas, mereka bukanlah orang-orang dari masyarakat biasa. Mereka adalah kalangan atas dan kaum sosialita. Tubuh-tubuh berotot dan terawat baik itu dibalut oleh setelan jas dan gaun mewah yang bernilai puluhan atau bahkan ratusan juta. Ainun dengan penampilannya yang sederhana tampak mencolok, seperti seekor domba di tengah kawanan rusa. Ainun memutuskan untuk menyudut agar tidak menjadi pusat perhatian. “Lihat! Katanya perempuan itu masih keponakan Tuan Haidar,” bisik seorang wanita berusia mendekati kepala lima. Tubuhnya yang terbalut gaun berwarna hitam tampak elegan dan lebih muda dari usia sebenarnya. “Kalian percaya?” Tiga orang rekan yang duduk semeja dengannya serentak memusatkan tatapan mereka pada satu titik yang sama. Tampak Agnes duduk anggun seorang diri dalam balutan gaun berwarna lavender. “Kata siapa?” timpal rekannya yang duduk di sebelah kiri. “Aku dengar Nyonya Clarissa menjawab sep
Suara mesin berhenti meraung ketika Agnes memutar kunci ke kiri. Dia menoleh ke samping. Lelaki yang diyakininya sebagai Aksa tampak masih tertidur pulas. 'Energinya benar-benar terkuras habis,' komentar Agnes dalam hati. Dia ingin membangunkan Aksa agar segera masuk, tetapi rasa tidak tega membuatnya menarik lagi sebelah tangannya yang sudah terulur. Akhirnya, Agnes memutuskan untuk menunggu selama beberapa waktu. Agnes menumpukan kepala pada putaran roda kemudi dengan lengan kanan melingkar anggun. Kesempatan yang bagus untuk dapat menikmati wajah Aksa sepuas hati saat lelaki itu tertidur lelap. Drrrt! Agnes merasakan tas yang menyenggol pinggulnya bergetar halus. Dia sedikit mendecak kesal lantaran kesenangannya terganggu. Dengan gerakan malas, Agnes merogoh tas dan mengeluarkan ponsel. Menyadari sebuah nomor asing yang mengontaknya, Agnes memutus sambungan telepon tersebut dan menyimpan kembali gawai kesayangannya. Di saat bersamaan, Gugun terjaga. Dia tercengang selama beber
Gugun curi-curi pandang pada sosok Ainun yang sedang memakai pakaian. Dia merasa berdosa telah melakukan itu, tetapi sisi hatinya yang lain justru sangat menyukainya. Sekelebat bayangan muncul di benaknya. 'Hah! Apa itu tadi?' Sebuah adegan buram yang memperlihatkan seorang lelaki tengah mendekap hangat seorang wanita dengan tubuh yang masih terbalut handuk membuat kepala Gugun kembali berdenyut nyeri. Berulang kali Gugun geleng-geleng kepala. Entah sedang berjuang mengusir rasa sakit atau mencoba memperjelas bayangan samar yang tadi melintas dalam ingatannya. “Papa sakit ya?” tanya Kyra, mengusap pelipis kiri Gugun dengan jari-jari halusnya. Gugun seperti tersedot ke dalam lautan teduh bola mata Kyra. Dia memaksakan sudut bibirnya melengkung naik. “Tidak. Papa hanya capek,” sahutnya. Sedetik kemudian Gugun terkejut sendiri. Papa? Bagaimana bisa dia menyebut dirinya sendiri sebagai papa sementara seingatnya dia baru saja menjalani pesta pertunangan dengan Aileen. Apa ayah dari an
Jika rindu menjadi sehelai pintalan benang kusut, maka sualah yang menjadi pengungkainya. Ainun merasakan damba yang selama ini berkelindan dalam resah, perlahan menemukan titik pengurai dalam perubahan sikap suaminya. Tajamnya bilah ketakutan yang sempat memangkas kebahagiaannya jatuh terempas setelah semburat senyuman menawan terukir indah di wajah Gugun. “Benarkah?” tanya Gugun, menampilkan ekspresi polos. “Memangnya, sebelumnya panggilanku apa?” Ainun melongo. Dia bahkan sampai menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Setelah beberapa detik, dia baru tersadar dari kekagetan. “Kamu benar-benar tidak ingat, Mas?” Ainun tak percaya Gugun melupakan nama panggilannya sendiri. Gugun menggeleng. Pikirannya kosong akan peta kenangan itu. Yang ada hanyalah rasa penasaran. Kesalahpahaman ini semakin menarik saja. Ainun memberanikan diri menjamah wajah Gugun dengan jari-jari yang sedikit bergetar. “Sejak kita pacaran, aku selalu memanggilmu Gugun …” Ainun menjeda sejenak penjelasan