Setelah dibawa ke ruangan perawatan, Grace pun mulai menangis pilu. Jari manis tangannya sudah tidak ada. Jari kanannya menjadi hanya empat saja. Tentulah sebagai wanita modern dan pemuja kesempurnaan, hal itu membuat Grace tidak terima.Arif masih terus menenangkan istrinya dengan pelukan, tetapi tangis Grace masih saja pecah. Mamanya yang keturunan bule Amerika sudah ada di kamar perawatan putrinya. Wanita setengah baya itu hanya bisa menatap anak tengahnya itu dengan iba. "Sudahlah, Grace, semua sudah terjadi dan memang harus dipotong. Kalau tidak, nanti malah menjalar ke jari yang lain. Belum lagi tangan kamu itu masih bengkak. Ya ampun, bagaimana bisa ada ular di dalam rumah?" "Mommy, tapi jari Grace jadi gak ada. Pokoknya Grace mau pesen jari manis palsu. Grace gak mau kalau gak ada jari manis. Nanti Grace diledekin temen kampus." Arif menghela napas sembari menoleh pada ibu mertuanya. "Oke, nanti akan kita urus jari palsu sesuai maunya kamu ya." Arif mengalah. Ia harus membu
Syamil sampai di kosan pukul lima lebih tiga puluh lima menit. Masih ada waktu untuk mandi dan bersih-bersih sebelum adzan magrib. Saat akan ke kamar mandi, Syamil menoleh ke arah rumah Hani. Pintu rumah wanita itu tutup. Berarti Hani menuruti sarannya. Kemarin ia mengatakan bahwa sebaiknya perempuan itu sudah berada di dalam rumah menjelang magrib. Tidak baik duduk di depan rumah, apalagi memakai pakaian pendek. Setan pada antri mau menggoda dan hari ini, Hani menuruti sarannya. Syamil tersenyum, lalu berjalan masuk ke kamar mandi. Ia awalnya tidak tahu bagaimana cara memberitahu Hani untuk berpakaian lebih baik, tetapi sebuah tayangan di media sosial menerangkan hati dan pikirannya udah dapat membantu Hani dalam keadaan yang lebih baik lagi. Jika memang belum bisa menutup aurat, paling tidak, Hani tidak memakai pakaian terlalu pendek lagi, meskipun ia sendirian di rumah. Selesai mandi, azan magrib pun berkumandang. Syamil bergegas berpakaian. Baju koko, sarung motif batik, dan jug
"Ya Allah, Sya, kenapa sakit lagi? Kamu makannya gak bener ya?""Bener atuh, Mi, makan nasi, bukan makan beling.""Ish, maksud Ummi, kamu makannya suka telat gak?""Nggak suka telat, Mi, tapi kadang telat." Bu Umi menghela napas. Ia merasa Syamil mengalami gangguan pada otaknya atau ruhnya, sehingga perlu dirukiyah. Belum pernah anaknya selamban ini dalam mencerna kalimat. "Jadi gimana? Apa kamu punya obat?""Punya, Mi. Ini barusan minum obat.""Ya sudah, besok, abah mau memenuhi undangan Maulid Nabi yang diadakan di Pesantren Hidayah yang di Bandung. Ummi bilang, suruh tengokin kamu.""Iya, Mi, makasih Ummi-ku sayang. Sudah dulu ya, Mi. Assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam."Bu Umi menutup panggilannya. Ibu mana yang tidak khawatir bila mendengar anaknya yang merantau sedang sakit dan tidak ada siapa-siapa yang mengurusnya. Ia ingin sekali bisa mengunjungi kosan Syamil, tetapi kakinya belum bisa diajak pergi jauh. Baru sampai keluar untuk ke masjid pesantren dan itu pun benar-bena
Hani duduk bersila di depan orang tua Syamil. Untunglah saat ini ia memakai celana panjang dan mukena, meskipun di balik mukena biru gelap itu ia hanya memakai tank top hitam tanpa bra, tetapi tidak terlihat dari luar. Hani menundukkan pandangan. Tidak berani menatap wajah ayah Syamil yang begitu teduh dan berwibawa. Pantaslah Syamil tampan seperti Arab, ternyata ayah Syamil pun tampan. Memakai gamis dan juga sorban di kepalanya. Hani menjadi merasa rendah diri. "Jadi, nama kamu, Hani?" tanya abah."Iya, Syeikh, nama saya Hani." Syamil terbahak di atas ranjang. Sungguh aneh ayahnya dipanggil Syeikh oleh Hani. Tahu dari mana wanita itu dengan panggilan syeikh? Abah pun menggembungkan pipinya menahan tawa. Seumur-umur punya pesantren, baru kali ini ia dipanggil Syeikh. "Jangan panggil, Syeikh! Panggil saja, pak atau om," kata abah sambil tersenyum. "Baik, Pak." Hani mengangguk. "Sudah berapa lama berhubungan dengan anak saya? Kayaknya kamu udah tua ya? Maksud saya, dari wajah, kamu
"Oh, jadi Abah suruh pindah?" "Iya, Bang. Abah sekarang lagi pergi Maulid di Pesantren Hidayah. Pulang dari sana nanti, abah yang carikan dekat kampus. Mm... Bang Didin gak papa?" "Ya gak papa, Sya. Perintah orang tua yang harus dijalani. Lagian pasti dekat ini sama Hani. Saya titip sesekali kamu jenguk Hani ya. Apalagi udah gede pasti perutnya. Palingan dia atau tiga bulan lagi lahiran kan?""Iya, Bang, kemarin kata dokter udah enam bulan lewat satu minggu.""Ya sudah gak papa, Sya. Kamu tenang aja. Jatah wifi gak akan saya hilangkan, he he.... ""Makasih, Bang, udah dulu ya. Saya masih lemes banget ini.""Iya, oke, cepat sembuh ya, Sya."Didin menutup panggilan dari Syamil. Ia memikirkan bagaimana nanti Hani kalau mau melahirkan dan tidak ada yang dekat dengannya. Gadis itu pun sudah ditalak oleh suaminya, meskipun sedang hamil. Didin merasa hatinya kembali panas. Baru istri dari Arif yang mendapat karma, sedangkan pelaku utama belum. Suami-istri yang membuat Hani terjebak sehingg
"Ya ampun, kamu yakin Hani pindah? Sejak kapan?""Sudah dua hari yang lalu, Bang. Maafin saya ya. Aduh, saya juga kepikiran Mbak Hani, Bang. Kata Bu Retno, Mbak Hani gak punya uang, makanya pindah dan jual HP. Saya jadi kehilangan jejak Mbak Hani.""Ya sudah, saya akan bantu cari di sini. Kamu jika ada waktu senggang, cari Hani juga ya. Mungkin di rumah sakit, siapa tahu dia sakit.""Baik, Bang, begitu senggang, saya akan cari Mbak Hani sekitar sini. Sudah dulu ya, Bang. Assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam."Syamil menatap layar laptop tanpa semangat. Tugas kampus yang harusnya bisa kerjakan dengan cepat, terbengkalai karena sedari tadi, ia hanya memikirkan Hani. Di mana wanita itu? Apakah ia dan bayinya baik-baik saja? Mereka tinggal di mana? Kenapa tidak cerita padanya? Paling tidak, ia bisa mencarikan kos-kosan untuk gadis itu sampai ia melahirkan. Ting!HanumAssalamu'alaikum, Syamil, kamu lagi apa? Nanti sore jadwal kursus Fadli ya.Wa'alaykumussalam, iya, Num. InsyaAllah.Sen
Ke mana ya, Allah? Itulah status whatsapp pemuda berusia sembilan belas tahun lebih empat bulan itu. Seminggu sudah berlalu dan dirinya masih mencari Hani di sekitaran Bandung. Semampunya, sesempatnya karena jadwal kuliah mulai padat, begitu juga dengan jadwal mengajar bimbel. Tak jarang dirinya sampai di kosan pukul sembilan sampai sepuluh malam karena sepulang mengajar, ia sempatkan berkeliling mencari Hani sambil menunjukkan foto Hani pada orang-orang yang ia temui. Assalamu'alaikum, Syamil, kamu kenapa, Dek? Apa yang hilang? Uang, dompet, laptop atau apa? Syamil membaca pesan dari tetehnya. Buku Syamil, Teh, tapi gak papa, semoga nanti ketemu. SendOh, buku, buku penting? Materinya apa? Beli online lagi saja? Syamil tersenyum membaca balasan pesan dari Laila. Materi hidup, Teh, he he... nanti juga ketemu, saya cari saja dulu. Teteh apa kabar? Umi bagaimana?SendTeteh sehat, ummi, dan abah juga sehat. Kamu pulang gak sabtu ini, abah mau menikah dengan Mbak Nela. SendYa a
Selesai dengan tugasnya, Dewi langsung bergegas memakai kembali pakaiannya. Galeri di ponselnya yang sudah terisi banyak dengan foto-foto syur dirinya dan Arif pun sudah ia amankan dengan baik. Ia meninggalkan Arif yang terdapat lemas setelah bergulat dengannya sampai pagi. Yudi terkantuk-kantuk menunggu Dewi berkunjung ke kosannya. Ia terjaga sepanjang malam karena tidak sabar mendapatkan kabar baik dari teman wanitanya itu. Ia juga berharap tidak ada kendala rumit yang membuat rencananya berantakan. Suara motor berhenti di depan rumah kontrakannya. Yudi melompat saat mengenali wanita yang sudah sejak semalam ia tunggu kabarnya. "Gimana?" tanya Yudi penasaran. "Aman, Bos. Aduh, gue sarapan dulu deh. Perut gue keroncongan dari semalam. Gila itu laki, habis bercinta orang gak dibeliin minum gak dikasih makan. Gue harap sih, dia mat kelaparan aja di kamar itu. Nyebelin banget," omel Dewi yang sudah meletakkan empat bungkus nasi uduk di atas meja ruang tamu Yudi. "Lah, serius lu, ga