"Abah sudah telepon Syamil lagi? Firasat Ummi gak enak, Bah. Ummi khawatir kalau Syamil memang dekat sama wanita di sana." Bu Umi mengadu pada suaminya, setelah mereka baru saja selesai makan malam. Abah Haji hanya tersenyum samar.
"Belum, anak bujang jangan terlalu sering ditelepon. Pasti dia bisa jaga diri, Mi. Lagian yang kemarin itu cuma tetangga yang kebetulan ada di sana pas Syamil sakit. Udah ibu-ibu juga, Mi.""Tuh, apa lagi ibu-ibu, Bah. Justru ibu-ibu itu yang perlu diwaspadai. Soalnya Abah dulu juga pernah dekat ibu-ibu kan? Untung Ummi langsung nyamber, kalau nggak, ya Abah nikahnya sama ibu-ibu itu. Tetangga Abah yang suaminya gak pulang-pulang itu." Bu Umi mengoceh dengan wajahnya yang masam. Wanita itu tidak mau kejadian masa muda suaminya, malah diwariskan pada Syamil."Jangan suudzon, Mi, nanti malah kejadian, he he he .... " Laila; teteh dari Syamil ikut menghampiri abah dan umminya yang sedang berada di ruang makan. Bu Umi semakin cemberut. Di dalam hatinya mengupkan amit-amit."Kamu telepon adik kamu, La, tanyain dia gimana kabarnya?""Tanyain juga kabar ibu-ibu yang deket sama Syamil gimana kabarnya?" sela abah haji menggoda istrinya. Laila tertawa terbahak, membuat umminya semakin kesal.Laila sudah tahu kabar adiknya dari Didin; sang calon suami yang malam ini berencana menginap di kosan adiknya. Hanya saja Laila belum memberitahu kedua orang tuanya. Lagian, Didin juga sudah mengatakan bahwa Syamil memang diminta untuk menjadi mata-mata Hani, sehingga mereka bisa dibilang dekat dan tidak perlu mengkhawatirkan apapun karena Hani masih berstatua istri siri seorang dosen.Laila pun tidak ingin orang tuanya tahu perihal tugas yang diberikan Didin pada adiknya, karena bisa jadi orang tuanya akan marah pada calon suaminya itu. Setelah begitu banyak aral melintang, vertikal, horizontal, tidak mungkin ia membuat kedua orang tuanya kembali ragu pada Didin."Iya, Ummi, nanti Laila telepon. Ummi jangan terlalu stres memikirkan Syamil. Si bungsu kita itu pasti bisa menjaga dirinya." Bu Umi mengangguk.Laila mengisi gelas kosongnya dengan air, lalu ia bawa ke kamar. Jam di dinding masih jam tujuh malam, contohnya suaminya pasti sedang berada di masjid menunggu waktu Isya. Laila memutuskan untuk menelepon Didin setelah Isya untuk menanyakan perihal Syamil padanya.Sementara itu, Didin bukan sedang berada di masjid, melainkan di depan kamar kos Syamil, sedang meneropong rumah yang ditinggali Hani.Jalanan di tempat tinggal mereka memang selalu ramai dengan anak kos yang lalu-lalang, termasuk mahasiswa yang keluar masuk kosan. Hanya rumah Hani yang sepi. Lampu teras memang menyala, tetapi lampu ruang depan sudah padam."Hani, memang biasa udah sepi rumahnya jam segini?" tanya Didin pada Syamil."Nggak, Om.. Biasanya Mbak Hani jam segini lagi duduk di depan rumahnya atau berbincang dengan ibu-ibu tetangga. Pukul delapan atau pukul sembilan baru masuk rumah. Namun, sejak kejadian dia dirampok kemarin, sudah saya larang gak boleh keluar malam. Ibu sebelah rumahnya juga melarang," terang Syamil sambil menatap layar laptop. Wifi baru saja dibayarkan, tentu saja sinyal lancar jaya untuknya mengerjakan tugas."Oh, gitu, malam-malam juga pakai baju pendek?" tanya Didin."Iya, pagi, siang, sore, malam, pokoknya sepanjang hari pakai baju pendek. Alasannya gerah. Saya juga jadi gerah yang liatnya.""Sabar ya, Sya, empat bulan lagi juga lahiran, maka tugas kamu selesai." Didin menepuk pundak Syamil dengan hangat. Di satu sisi ia merasa tidak enak dengan kedua orang tua Syamil yang tidak lain adalah calon mertuanya, karena telah meminta Syamil untuk melakukan pekerjaan yang bisa membuat sulit Syamil."Sya, kamu gak papa kan saya suruh memata-matai, Hani. Maksudnya, kamu jangan merasa sungkan, kalau memang gak bisa, nanti saya minta tolong orang lain." Syamil menutup laptopnya, lalu menatap Didin sambil tersenyum."Gak papa, Om, selagi pulsa wifi saya aman, he he.... "Kring! Kring!"Tuh, saya dapat panggilan dari emak rempong." Syamil memperlihatkan ponselnya pada Didin. Muncul nama Hani di layar ponselnya."Halo, assalamu'alaikum, kenapa, Mbak?""Wa'alaykumussalam, Syamil, kamu lagi apa?""Lagi ngerjain tugas, kenapa, Mbak?""Gak lagi ngomongin aku kan?"Syamil menutup mulutnya agar tidak terbahak. Ia menjauhkan ponsel sambil memandang ngeri benda pipih itu. Siapa sebenarnya Hani, kenapa gadis itu bisa tahu kalau sedang dibicarakan?"Nggak, Mbak, memangnya kenapa?""Soalnya lidah aku kegigit, katanya kalau lidah kegigit sampai berdarah, ada yang ngomongin aku. Dua orang lelaki yang satu muda yang satu tua."Syamil menatap Didin, masih dengan pipi yang menggembung karena menahan tawa."Dih, GR aja diomongin! Ada apa nih, malam-malam telepon? Mau minta tolong apa?""Syamil, aku lapar, tapi aku gak mau makan, lagi gak selera. Aku mau jus buah. Kamu gak bolehin aku keluar kan? Makanya kamu aja yang belikan aku jus, mau gak?""Nggak.""Kok gitu? Kamu udah bosan hidup ya?""Ha ha ha ha.... ya udah iya, saya belikan deh. Dasar manja. Mau jus apa?"Syamil mengangguk setelah mendengar pesanan Hani."Mau beli jus?" tanya Pak Didin pada Syamil. Pemuda itu mengganti sarung yang ia pakai dengan celana panjang bahan."Iya, Om mau nitip juga gak?""Gak usah. Oh, iya, pakai uang saya saja. Anggap saja kamu yang traktir Hani." Syamil mengangguk sambil menerima satu lembar uang merah dari Didin.Pemuda itu pun berjalan kaki santai menuju penjual jus yang letaknya tidak jauh dari kosan, tetapi sungguh sayang, tukang jus itu tutup. Syamil mencari ke tempat lain, di gang sebelah kosannya, tetapi hasilnya masih sama. Hingga pukul delapan lebih lima belas menit Syamil tidak menemukan di mana-mana tukang jus buah.Karena lelah berjalan dan mulai mengantuk, Syamil pun memutuskan menelepon Hani dan mengatakan padanya bahwa tukang jus tidak ada yang buka atau sudah tutup, ia pun tidak tahu."Halo, assalamu'alaikum.""Halo, wa'alaykumussalam, Syamil, kamu ke mana saja? Udah satu jam lebih lima belas menit kenapa belum balik juga dari beli jus? Aku sampai dua kali ngeden di kamar mandi, kamu belum datang juga. Memangnya kamu beli jus di Arab?"Mendengar kata Arab, tiba-tiba saja Syamil menemukan sebuah ide."Mbak, tukang jus yang dekat kosan gak jualan hari ini. Terus di gang sebelah tukang jus nya tutup. Udah habis kayaknya. Saya cari ke jalan raya, juga pada tutup. Makanya saya putuskan untuk memberikan Mbak Hani jus yang menyehatkan lainnya. Gimana?""Jus apa? Semua jus juga sehat.""Ini tuh jusnya menyehatkan jiwa raga, Mbak. Juz tiga. Allahu laa ilaaha illa huwal hayyul qoyyum.... ""Syamil, maksud loh bacain gue ayat qursi itu apa? Mau ngusir setan? Emangnya gue setan?"Syamil tidak bisa berhenti tertawa, bahkan setelah ia masuk ke dalam kamar kosnya. Pemuda itu berhenti sejenak saat mengucapkan salam, setelah itu kembali terbahak. Ya ampun, habis ketemu bini orang, Syamil jadi gak waras. Batin Didin yang memperhatikan pemuda itu tanpa berkedip. "Ada apa, Sya? Pulang-pulang malah ngakak. Istighfar, Sya. Kamu kenapa?" tanya Didin saat Syamil tak kunjung berhenti tertawa saat ia sudah duduk di kasur. "Sya!" Didin semakin panik dengan mengguncang tubuh Syamil yang tidak beraksi saat ia tegur. "Audzubillahi minassyaitonirrojiim. Bismillahirrahmanirrahim. Cuih! Cuih!""Jiah, kenapa disembur, Om? Ih, jijay!" Syamil mengambil dua lembar tisu untuk membasuh wajahnya yang terkena air liur Didin yang muncrat. Merasa tidak puas dan sangat mengerikan dengan baunya, Syamil berlari keluar kamar untuk mencuci muka. Kali ini Didin yang tertawa terpingkal-pingkal. Ia sudah salah sangka dengan mengira Syamil kerasukan jin istri tetangga, rupanya bukan. Syamil ma
"Oh, jadi kamu mau pulang ke Jakarta?" tanya Hani pada Syamil yang tengah sibuk di depan laptopnya. Pemuda itu mengangguk, tanpa melepas pandangan dari layar laptop. Sore ini Hani membuat kolak pisang dan ia mengantarkan ke kamar kos Syamil. Pintu kamar terbuka dan Hani duduk di depan sambil menemani Syamil mengerjakan tugas. "Lama gak?" tanya Hani lagi. "Nggak, saya kan kuliah, Mbak. Paling hari senin pagi saya pulang. Besok dari kampus saya langsung ke terminal, gak balik ke kosan lagi," jawab Syamil sambil tersenyum. "Wah, berarti aku gak bisa lihat kamu pergi dong! Apa mau aku antar?" Syamil tidak langsung menjawab, melainkan tawa yang menggelegar membuat teman kos yang kebetulan lewat di depan kamarnya ikut menoleh. "Makasih, Mbak, Hani, tapi saya udah besar, bukan anak TK lagi, jadi gak usah diantar. Lagian Mbak Hani lagi hamil, gak boleh pergi jauh-jauh." Hani diam sejenak, kemudian wajahnya berubah cemberut. "Tapi aku mau antar," kata Hani sedih. Syamil menggelengkan kep
Syamil tiba di Jakarta sebelum azan magrib. Pemuda itu sempat melaksanakan salat berjamaah di masjid besar yang ada di lingkungan pesantren milik orang tuanya. Tentu saja abahnya yang mengimami. Saudara dari kampung juga nampak di masjid, melaksanakan salat bersama. "Bah," sapa Syamil pada abahnya setelah pria dewasa itu selesai memimpin zikir dan doa. Syamil mencium punggung tangan Abah Haji Sulaiman dengan penuh takjub. "Kamu sendirian?" tanya Abah Haji pada putranya. "Nggak, Bah, rame gini gimana dibilang sendiri? Ini saya sama Abah." Syamil mendadak bingung, sembari menunjuk jamaah yang lain, sedangkan Abah Haji malah tertawa. Sejak kapan anaknya bisa kocak seperti sekarang? "Maksudnya kamu dari Bandung sendirian?" tanya Abah Haji lagi saat mereka berdua hendak keluar masjid. "Ya kalau sendirian, sopirnya gak mau bawa Syamil, Bah. Pasti ada penumpang lain di bus. Jadi saya rame-rame dari Bandung." Jawaban Syamil membuat Abah Haji tidak kuasa untuk tidak terbahak. Bahkan pria
"Wajah adik Teteh ceria sekali. Sepertinya jauh dari ummi, tapi dekat sama ibu-ibu jadi segar ya?" goda Laila yang sudah mendengar kabar dari Didin. Syamil mendatanginya saat wanita itu sedang dipakaikan hyna di punggung tangannya. "Ibu-ibu siapa?" tanya Syamil belum menyadari arah pembicaraan Laila."Tetangga sebelah yang seksi itu.""Oh, Mbak Hani, dah itu mah bukan ibu-ibu normal, tapi up normal. Teteh mah kalau ketemu dia, pasti bisa masuk rumah sakit jiwa. Untung saja Syamil anak baik dan tahan baday, kalau tidak, Syamil bisa ke IGD mulu setiap hari. Kadang capek, Teh, istighfar mulu kalau lihat Mbak Hani, ya ampun, gitu deh. Udah ah, jangan gibahin dia, nanti dia malah batuk-batuk di sana." Laila tertawa. Sekarang ia yakin betul, adiknya hanya sekedar teman saja dengan gadis muda bernama Hani yah tengah hamil enam bulan itu. Aura wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan rona merah orang sedang jatuh cinta, tetapi raut wajah orang kesal. "Tapi kamu jangan galak-galak juga sam
Saya terima nikah dan kawinnya Laila binti Sulaiman dengan mas kawin logam mulia seberat dua puluh lima gram dibayar tunai. "Bagaimana saksi? Sah?""Sah." Semua orang yang hadir di dalam masjid besar pesantren turut mengucap syukur dengan wajah bahagia. Apalagi kedua orang tua Laila yang sampai meneteskan air mata haru karena akhirnya penantian jodoh putri mereka sampai juga pada seorang Didin. Laila diantar oleh Syamil menuju kursi akad yang sudah disiapkan. Wajah Laila pun semringah, meskipun matanya tetap berkaca-kaca. Ini pernikahannya yang kedua kali bersama orang yang sama. Jika awal menikah karena terpaksa, maka yang kedua ini ia sangat ikhlas menerima Didin yang berusia empat puluh enam tahun sebagai suaminya. "MasyaAllah, ini toh istrinya? Wah, selamat Pak Didin mendapatkan istri cantik yang masih muda. Awas encok ya. Ingat umur." Ledekan pembawa acara mengundang gelak-tawa keluarga dan tamu undangan yang ada di sana. Didin tersenyum begitu manisnya saat Laila pun kini m
Syamil memperhatikan ponselnya, tepatnya mengecek satu per satu kontak di WA dalam pembaruan status. Ia tidak menemukan status Hani hari ini. Padahal biasanya potong kuku saja dijadikan status. Jemur cucian bikin status. Ngobati cantengan di jempol kakinya juga dibikin status. Namun, hari ini wanita hamil itu tidak ada status. Tumben! Pikir Syamil. Di luar suasana masih ramai, meskipun sudah jam sebelas malam. Kakak iparnya masih ditahan oleh keluarga besarnya untuk tidak buru-buru masuk ke kamar. Sungguh kasihan sekali. Sudah tua, sudah larut, tapi gak boleh buru-buru masuk kamar. Nanti kalau aku jadi pengantin, habis nikah aku mau nginep di hotel. Biar gak ada yang ganggu. Batin Syamil, sembari melongokan kepalanya dari balik pintu. "Kaya kagak pernah muda aja itu kakek-kakek di ruang keluarga," batin Syamil kesal. Bukannya ia cemburu, tetapi ia tidak bisa tidur karena suara tawa para pria di luar sana mengganggunya. Mau berbalas pesan dengan Hanum, gadis itu sudah tidur. Mau ber
"Hati-hati di jalan ya, Nak. Udah, kamu gak usah khawatir sama teteh kamu. Itu ada Ibnu udah nunggu mau anter ke terminal. Udah, jalan sana! Ongkosnya udah dilebihin Bang Didin semalam kan?" Syamil mengangguk kaku. "T-tapi, Bah, itu di dalam sedang terjadi...."Abah Haji menutup mulut putranya sembari menariknya sedikit lebih cepat untuk segera masuk ke dalam mobil Toyota Ava-anaja yang siap dikemudikan oleh Ibnu. "Dah, jalan, Nu! Hati-hati kalian!" Syamil tertegun bingung. Kenapa dengan anggota keluarganya yang seolah-olah mendukung KDRT di dalam kamar? Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang keluar dari area pesantren. "Mas Ibnu tahu gak?""Nggak," sahut Ibnu cepat. Syamil mencebik, baru mau cerita tetapi mood-nya sudah dibuat jatoh oleh Ibnu. Biarlah ia nanti bercerita pada Hani saja begitu ia sampai di kosan. Hani pasti mempunyai pendapat sendiri tentang KDRT yang terjadi di dalam kamar kakaknya sebagai pengantin baru. "Mas Ibnu, nanti kalau ada toko kue, mampir sebentar ya.
"Halo, assalamu'alaikum, Syamil. Hari ini kamu gak ke kampus, kenapa?""Halo, wa'alaykumussalam, Hanum. Iya, nih, saya ijin hari ini lagi sakit. Tadi udah WA ke Mustofa ketua kelas.""Oh, gitu, perlu bantuan gak?" "Nggak, Num, udah enakan cuma masih mual sedikit. Makasih atas tawarannya.""Ya sudah, nanti aku mampir ke kosan kamu sama teman-teman yang lain, siapa tahu kamu butuh bantuan. Cepet sembuh ya, Sya. Assalamu'alaikum.""Makasih, Hanum, wa'alaykumussalam." Syamil menaruh kembali ponselnya di lantai. Selimut yang sempat melorot ia tarik kembali untuk meredakan rasa dingin di tubuhnya. Pemuda itu memejamkan matanya hendak melanjutkan tidur. Gara-gara tanpa sengaja mencium pipi Hani, Syamil menjadi syok dan kepikiran. Bibirku tidak perawan dan aku sudah melakukan zina bibir. Hal itu terus yang berputar di kepalanya hingga saat subuh tadi ia demam. Tok! Tok! "Assalamu'alaikum, Syamil, ini Hani. Boleh masuk gak?""Wa'alaykumussalam, ja.... "CklekPercuma juga bilang jangan dan