Share

Pernikan

Bab 2. Pernikahan

Tampak ramai terlihat ruang yang akan di gunakan untuk melakukan ijab kabul. Hingga tiba waktu, Ijab qabul pun berlangsung dengan hikmat.

SAH

Seketika, Alana menjatuhkan air mata yang yang Alana tidak tahu air mata apa. Tapi Alana yakin, Zain adalah pilihan terbaik untuknya.

"Nak, Ayo kita temui suamimu," Ajak Ibu Sinta membawa Alana menuju di mana Zain usai mengucapkan janji suci. Penampilan Alana hari itu sangat berbeda dari bisanya. Terlihat begitu anggun nan ayu. Siapa pun yang melihat akan terpesona.

Namun ternyata berbeda dengan Zain, Di mata Zain, Alana tidak lain adalah perusak kebahagiaan dalam percintaannya dengan kekasih hati. Tatapan itu begitu tajam mengarah pada Alana yang kini sudah tiba di depan mata.

"Zain?" tegur Ibu Santi melihat Zain tidak berkedip menatap Alana yang kini berdiri di depannya.

Zain mengumbar senyum dan sedikit bergeser memberikan ruang untuk Alana duduk di sisinya.

"Pasangkan cincinnya," pinta Ibu Santi lagi.

Tuan Danu terus mengumbar senyum melihat hal itu.

"Alana, ayo ulurkan tanganmu," Bisik Ibu Santi.

Dengan wajah malu-malu, Alana mengulurkan tangannya hingga Zain berhasil menyematkan cincin pernikahan itu di jari manis Alana. Alana pun meraih tangan Zain untuk berjabat tangan. Zain dengan tatapan penuh makna membiarkan tangan itu di sentuh oleh Alana.

"Ayo, kecup kening istrimu dan doakan," pinta Ibu Santi lagi dan begitu juga degan kerabat lainnya. Mereka ikut menyahut dengan bersorak.

Zain menatap Alana lekat dan Alana yang ditatap seperti itu sedikit merasa malu. Zain pun dengan pelan mendekat dan meraih kepala Alana, lalu mengecup kening Alana dengan singkat.

Berlanjut, Alana beranjak menuju ke arah paman Handoko untuk memohon doa restu. Paman Handoko pun menyahut. "Alana, Sekarang kau sudah sah jadi istri dari Zain. Zain adalah orang sibuk. Paman pesankan agar Alana selalu mengerti dan memahami kondisi suaminya."

Alana hanya menatap pamannya.

Tante Berlin pun ikut menyahut. " Jangan membantah pada suamimu, Alana. Bagaimana pun dalam keadaan rumah tanggamu, kamu harus bisa mejadi istri yang berbakti pada suaminya. Ingat Alana, baktimu sekarang pada suamimu."

Alana diam.

"Prioritaskan keluarga suamimu, Alana. Kau dengar, kan Alana." Tante Berlin kembali berbisik pada Alana saat memeluknya. "Ingat Alana, jangan jadi istri yang tidak penurut. Kalau suamimu tidak mengizinkan kamu ke rumah, jangan membantah."

Tante Berlin pada akhirnya melepaskan pelukannya dan terlihat wajah Tante Berlin begitu bahagia karena Alana akan ikut degan suaminya.

"Alana, kami pamit pulang. Kamu baik-baik di sini. Kapan-kapan ada waktu datanglah ke rumah, Nak." pamit Paman Handoko setelah acara usai.

Alana memeluk pamannya. Tak terasa bulir bening jatuh seketika. entah apa mana air mata terebut.

Setelahnya, Alama melepaskan pelukannya sekan mengatakan, Alana tidak ingin jauh dari paman.

"Zain, jaga ponakan paman. Kami pamit." ujar paman Handoko lagi.

Zain hanya mengangguk.

"Tenang saja Handoko, Alana akan baik-baik saja disini. Kami sangat menyayanginya," timpal Tuan Danu.

Hingga pada akhirnya paman Handoko dan Tante Berlin pun meninggalkan tempat tersebut.

***

Zain tanpa pamit menuju kamarnya.

"Zain?" Panggil ibu Sinta dan tidak dihiraukan oleh Zain.

"Ayo Alana, ibu antar kamu kamar suamimu." Ajak Ibu Sinta pada menantunya.

Ada rasa bahagia setelah ijab qabul usai. Alana di antar masuk kamar yang begitu besar dan mewah. Pernikahan mereka hanya di hadiri oleh kerabat terdekat atas permintaan pihak laki-laki.

Mata Alana menatap ke sana kemari setiap sudut kamar mega tersebut. Belum sempat Alana menyentuh sebuah foto Zain yang ada di atas lemari rias, terdengar suara bariton Zain.

"Jangan coba-coba menyentuh foto itu! Tanganmu tidak punya hak menyentuh milikku!" Suara bariton Zain membuat Alana tersentak.

Sekejap, Alana mematung di tempat.

Baru saja usai ijab kabul, Alana harus kembali mendengar kata yang tak seharusnya terucap oleh seorang suami.

"Kau hanya sebagai istriku bila didepan keluarga. Selain itu, kau bukan siapa-siapa!" Zain menatap Alana dengan tajam.

Bagaikan disambar petir harus mendengar bahasa itu. "Bagaimana mungkin Mas Zain mengatakan itu? Baru saja kita melakukan ijab qabul dan kamu telah berjanji. Apa ini dusta?" Alana membalas tatapan Zain.

Zain tertawa dan berkata, "Bercermin! Kamu bukan siapa-siapa aku dan aku menerima perjodohan ini, karena orang tua kita! Bukan keinginan aku. Jadi, jangan terlalu pede aku akan mencintaimu, Alana? Tidak!"teriak Zain di depan wajah Alana.

Zain kembali berucap. "Kau tidak lain adalah, perusak kebahagiaan aku, Alana!"

Alana geleng kepala tidak percaya. Akan menutup mulutnya dengan jari. "Lalu, pertemuan beberapa bulan lalu, apa artinya?"

Alana mengingat bagaimana Zain begitu lembut dalam berkata-kata di depan keluarga dengan penuh kesungguhan.

"Jawab!" teriak Alana sebisa mungkin untuk kuat.

Zain menoleh. "Sudah aku katakan padamu, aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini! Titik. Ini semua terjadi karena terpaksa. Aku terpaksa, Alana. kerena ayahku! Kau dengar?!" Teriak Zain lagi di depan wajah Alana. "Kau perusak kebahagiaan aku, Alana!"

"Cukup, Mas Zain! Cukup!" Teriak balik Alana duduk di atas kasur dengan wajah terlihat kecewa.

Sebisa Alana tidak mengeluarkan air mata dan ingat pesan pamannya, Paman Handoko yang selama ini telah merawat dirinya sebagai anak yatim piatu. Alana kembali mengingat semua pesan Paman Handoko dan Tante Berlin padanya.

"Jangan cengeng. Jangan coba-coba kau meninggalkan rumah ini. ingat pamanmu. Ayah sudah membayar semua biaya rumah sakit pamanmu hari itu dan melunasi semua utang piutang mereka. Kau cukup menjadi istri yang baik saat di depan keluarga. Kau mengerti!" Zain berteriak didekat telinga Alana.

"Itu tidak mungkin! Itu tidak mungkin! jika mereka menerima uang sebasar itu! Alana tidak percaya."

"Kau tidak percaya? Lihat ini!" Zain memperlihatkan bukti transfer di sana. "Apa belum cukup!"

Alana terperanjat kaget dan mendengar hal itu. Untungnya kamar mewah itu kedap suara. Alana benar-benar buruk hari itu.

Zain menatap Alana dari ujung kaki hingga ujung kepala. Alana mundur hingga tubuhnya terbentur di tembok.

"Kamu pikir aku tertarik dengan tubuhmu? Tidak!" Ledek Zain. "Ingat, kau istriku sekarang, akan tetapi hanya di depan keluargaku. Jangan bikin aku malu. Cepat ganti bajumu. Dandan yang cantik. Karena keluarga besarku mau menemui dirimu. Kau mengerti!"

"Aku tidak akan menemuinya!" tolak Alana.

"Berani kau menolak?"

Alana diam dan kembali teringat dengan pesan Tante Berlin beberapa hari yang lalu. 'Alana, cukup tahu diri. Jadi istri yang penurut. Kami telah membesarkan dirimu dan saatnya kamu membalas kebaikan kami. Jika kamu sayang pamanmu, jadilah istri penurut.'

"Ganti baju!" perintah Zain melemparkan baju ganti untuk Alana tepat mengenai wajah ayu itu.

Zain masuk ruang ganti dan Alana. Masih lengkap dengan penutup kepalanya serta gaun pengantinnya.

"Mengapa aku begitu bodoh telah menaruh hati padamu, Zain? Mengapa?! Sesak Alana telah menjatuhkan hatinya pada pria yang ternyata tidak menginginkan dirinya.

Alana yang terlihat akan membuka pakaiannya mendapat kembali teguran dari Zain. " Jangan buka baju di depanku. Kamu ingin menggodaku, ha!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status