Share

Istri Separuh Masa
Istri Separuh Masa
Penulis: Masrianiani hijab

Pertemuan Alana dan Zain

Bab 1. Pertemuan Alana dan Zain

Baru pulang dari tempat kuliah, Alana terkejut ketika masuk di ruang rawat paman Handoko. Alana mendapati sepasang suami istri dan seorang pemuda tengah menatapnya. Seluruh tubuh Alana gemetar dan terbayang perkataan paman Handoko yang merupakan pengganti orang tua Alana. Kedua Orang tua Alana sudah lama meninggal dunia akibat kecelakaan beruntung ketika Alana masih berusia 12 tahun.

'Apakah ini maksud paman?' batin Alana tidak percaya jika apa yang dikatakan beberapa hari yang lalu tentang perjodohan itu benar adanya.

Tante berlin yang merupakan istri paman handoko beranjak dari tempat duduknya. "Alana, perkenalkan, ini Om Danu Hermawan dan Ini istrinya Tante Sinta. Dan di sampingnya merupakan putranya yang bernama Zain.

"Nak Zain, ini Alana, " Ujar Tante Berlin dan berbisik pada Alana. "Alana senyum, ingat pamanmu." Bisik Tante Berlin.

Zain beranjak dari tempat duduknya dan mengajak Alana berkenalan. "Zain."

"Alana," Jawab Alana dengan senyum.

Perkenalan singkat itu mengingatkan Alana kembali. Alana tidak mengerti makna tatapan Zain hari itu. Sudah satu bulan ini semenjak Paman Handoko keluar dari rumah sakit, Paman Handoko rawat jalan karena berbagai faktor termasuk faktor ekonomi.

"Alana?" Panggil tante Berlin melihat Alana termenung di kamarnya.

"Tanggal pernikahanmu sudah ditentukan. Tidak ada lagi kata penolakan. Ingat Alana, jangan kecewakan kami. Tuan Danu merupakan sahabat pamanmu. Kamu harusnya bersyukur ada orang kaya mau meminang kamu," Kata Tante Berlin yang sejak dulu tidak pernah suka ponakan suaminya tersebut.

Alana ia anggap sebagai pembawa sial. Tante Berlin menganggap penyakit jantung yang diderita suaminya kerena Alana penyebabnya.

Mendengar kabar tersebut, Alana hanya bisa pasrah dengan perjodohan yang sudah di atur sedemikian rupa. Menolak pun percuma saja. Cita-cita yang ingin diraihnya seakan sirna.

"Minggu depan adalah pernikahan kamu," Ujar Tante Berlin lagi menatap tajam Alana yang duduk termenung di atas kasur.

Mata Alana hanya menatap lurus. Melihat Paman Handoko masuk kamarnya, Alana menyambutnya dengan senyum. Paman Handoko duduk di samping Alana. "kamu setuju, nak dengan perjodohan ini?"

Tante Berlin menatap Alana tajam. Sebagai kode agar Alana jangan menolak.

"Kalau tidak setuju kita boleh batalkan. Om Danu dan istrinya pasti mengerti," ujar Paman Handoko tidak tega dengan ponakannya itu bila harus memaksa.

"Ayah, dia sudah setuju. Kenapa ayah masih menanyakannya," Sela Tante Berlin.

Alana menatap pamannya. Ada rasa lara di sana melihat pamannya yang sudah semakin tua. Alana pun menyahut dan berkata, "Insya Allah, paman, Alana sudah siap."

Paman Handoko tersenyum dan berkata," Akan yakin?"

Alana tersenyum dan memantapkan hatinya sambil berkata. "Iya, Paman."

Paman Handoko membalas senyum Alana. "Ingatlah pesan paman, jadilah istri yang penurut. Semoga Zain merupakan pilihan yang tepat untukmu. Paman yakin, Zain bisa menjadi suami yang baik."

"Aamiin," acap Alana tersenyum dan kembali mengingat wajah pria tersebut yang ditemuinya beberapa bulan lalu.

"Setelah kalian menikah, Alana ikut dengan suami. Ingat Alana, Tunduk sama perintah suamimu. Surganya istri berada pada suami." Tante Berlin seakan tak sabar lagi anak saudara suaminya itu segera meninggalkan rumah.

'Setelah kau pergi Alana. Rumah peninggalan orang tuamu akan jadi milikku. Terimakasih Zain, kau akan menikahi ponakan suamiku. Dan Aku tidak perlu lagi capek-capek cari cara menyingkirkannya," Batin Tante Berlin. "Dan ini impas Alana. Suamiku sakit itu semua karena kamu." Kembali Tante Berlin membatin.

Usai berbicara, Tante Berlin dan paman Handoko meninggalkan Alana seorang diri di kamarnya. tinggallah Alana seorang diri dikamar termenung. Alana kembali memikirkan semua ucapan Tante Berlin dan paman Handoko

"Akhirnya waktu akan tiba juga. Aku benar-benar harus bisa menerima kenyataan ini." lirih Alana menyemangati dirinya sendiri.

Alana kembali teringat di mana Zain hari itu terlihat begitu lembut berbicara dengannya.

"Apa kamu akan menerima perjodohan ini?" Tanya Zain kala itu.

"Anda sendiri?" Tanya Alana balik.

"Aku akan menerima perjodohan ini, jika memang ini yang tebaik," Ujar Zain. "Dan kamu? Apa kamu Yakin akan hidup bersamaku?"

Alana berfikir lalu kembali menyahut. "Jika itu sudah diputuskan, aku akan ikuti perjodohan ini."

"Apa kamu mencintai seseorang?" tanah Zain menatap Alana hari itu.

"Aku tidak pernah mencitai seseorang. Aku hanya fokus pada diriku sendiri selama ini. Aku bercita-cita akan menjadi wanita sukses sesuai dengan apa yang aku suka," kata Alana.

"Apa kau sudah siap menjadi istriku?" Taya Zain lagi.

"Mengapa kamu bertanya seperti itu?" tanya Alana.

"Aku tidak mau wanita yang aku nikahi terpaksa menikah denganku. Kamu masih punya waktu membatalkan perjodohan ini. Jika kamu mau membatalkan pernikahan ini, Aku akan segera memberitahu ayah dan paman, bila kamu belum siap degan perjodohan ini," Kata Zain menatap Alana dengan sangat jelas.

"Akan aku pikirkan baik-baik tentang perjodohan ini." Ujar Alana hari itu.

"Ok. Kami menunggu jawaban itu," Ujar Zain hari itu menatap Alana penuh makna.

Seketika, Alana kembali buyar setelah sebuah chat masuk di ponsel miliknya. Dan itu dari sahabat dekatnya yang bertanya seputar tugas kampus kapan mereka akan berkumpul menyelesaikan tugas-tugas dari dosen.

Usai membalas chat tersebut, Alana kembali diam. "Mungkin ini memang yang terbaik untuk aku. Sepertinya paman dan Bibi sangat mengharapkan perjodohan ini."

Alana membaringkan tubuhnya dengan mata masih menatap langit-langit. Ucapan Zain seakan memberinya sebuah harapan. Alana kembali menguasai dirinya dan tersenyum.

***

Zain sendiri kini tengah berdiri di balkon kamar memikirkan perjodohannya dengan Alana. Zain tidak menyadari kehadiran Ibu Sinta akibat pikirannya yang sedang melayang terbang memikirkan nasib percintaannya dengan sang kekasih, Marina.

.

"Zain, Ibu paham kau berat menerima perjodohan ini. Namun, percaya sama ibu, Alana calon istri yang baik untukmu." Suara Ibu Sinta membuyarkan lamunan panjang Zain.

"Ibu, tapi Ibu tahu aku mencintai seseorang. Dan kami sudah saling berjanji untuk selalu bersama, Ibu," Zain menghela napas berat.

"Zain, Tapi ayahmu tidak suka dia! Kau harus paham itu, Nak?!" Kata Ibu Sinta mencoba meyakinkan putra semata wayangnya.

"Ibu, Yang jalani rumah tangga siapa? Ayah atau aku!" Kata Zain dengan nada suara meninggi.

"Zain!" Tegur Ibu Sinta. "Sebelumnya kamu tidak pernah seperti ini, Nak. Apa wanita itu yang mengajarkan kamu membentak Ibu, iya!" Ibu Sinta tidak menyangka Zain tega mengeluarkan suara keras.

"Ibu, aku hanya ingin Ibu memahami aku, mengerti aku. Itu saja, Bu." Zain meninggalkan balkon kamar dan masuk duduk di atas kasur sambil kedua tangannya mengusap kasar rambutnya hingga wajahnya.

Terdengar deru napas seakan menahan emosi yang ingin meluap. Membayangkan pertemuan beberapa bulan lalu dengan Alana. Zain semakin dirundung kekecewaan.

'Aku harus bagaimana? Aku tidak mencintainya, Aku mencintaimu, Sayang,' batin Zain membayangkan wajah pujaan hatinya.

Ibu Sukma menatap putranya dan kembali duduk di sampingnya. Zain mengangkat wajahnya dan melihat Ibu Santi duduk di sampingnya. Zain kembali berujar. "Biarkan Zain seorang diri dulu."

"Ingat Zain, Semua keluarga sudah tahu bahkan undangan sudah di sebarkan. Tidak ada lagi kata BATAL untuk pernikahan ini. Ingat ayahmu. Ayahmu menginginkan kamu beristri dengan wanita yang terbaik walau ini berat untukmu." Ibu Santi beranjak dan meninggalkan Zain di kamarnya seorang diri.

Zain tidak menjawab lagi. Dia memilih diam dari pada harus berdebat dengan ibunya.

Perkataan sang ayah, Tuan Danu melintas dalam pikiran Zain. 'ingatlah, Zain. Alana wanita yang tepat dan terbaik untukmu. Dia wanita yang bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anak kamu kelak. Bukan Marina!'

"Akh!" Dalam sekejap Zain meluapkan emosinya.

"Alana, kau merusak semua rencanaku. Kamu tidak lain adalah wanita yang telah merusak hubunganku dengannya!" Zain frustasi.

"Akh!" Uap panas keluar dari telinganya dengan mata mengerling. "Aku benci pernikahan ini!" Zain meluapkan kembali emosinya.

Setelahnya, Zain tertawa, setelahnya diam penuh makna. "Baiklah Alana, mari kita menikah.... "

***

Makasih sebelumnya ya kakak... yang sudah mampir dan memberikan dukungannya atas karya Author.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status