Windraya segera menggeleng, memberikan bantahan pada ucapan sang istri. "Ini bukan masalah tunduk atau apa pun namanya."
"Bila kamu menganggap ini sebagai bakti ... kurasa sudah sangat keterlaluan," protes Mayla lagi, seraya memalingkan muka.
Windraya lagi-lagi mengembuskan napas berat dan dalam. Dia harus tetap tenang, agar tidak salah bicara atau bersikap di hadapan Mayla. Sebenarnya, dia tidak suka karena sudah terlalu banyak bicara. Namun, dirinya harus memberikan penjelasan pada wanita itu.
"Dengarkan aku, Sayang," ucap Windraya, tenang. "Mama, kamu, dan Widuri. Kalian bertiga merupakan tiga wanita dalam hidupku, yang memiliki tempat tersendiri. Aku memberikan perhatian serta kasih sayang sesuai dengan porsi masing-masing," jelasnya.
"Apakah itu berarti kamu lebih menyayangi mama dibanding aku?" tukas Mayla, kembali memasang raut masam.
Windraya menggeleng pelan. "Tidak seperti itu," bantahnya.
"Aku hanya berusaha menjalankan bakti terhadap mama. Beliau sudah berjuang sangat keras demi aku dan Widuri. Mamaku adalah wanita hebat. Sepeninggal papa, beliau mampu bertahan hingga ... kamu lihat sendiri seperti apa Keluarga Sasmitha saat ini. Bukan hal mudah mempertahankan bisnis keluarga, bahkan sampai membuatnya berkembang."
"Sementara kamu memiliki porsi lain. Kamu adalah wanita beruntung, yang sudah kupilih untuk menjadi pendamping. Dua tahun memang bukan waktu lama dalam ukuran pernikahan. Namun, itu tetap menjadi prestasi tersendiri bagiku."
"Kuharap kamu tidak mempertanyakan lagi seperti apa atau bagaimana, caraku memperlakukan kalian berdua. Aku hanya ingin jadi anak dan suami yang baik dalam waktu bersamaan. Namun, entah mengapa situasinya jadi seperti ini."
"Dari awal, mama sudah tidak menyukaiku," ujar Mayla, kesal.
"Tapi aku tidak sampai menceraikanmu," balas Windraya enteng.
Mendengar ucapan sang suami, Mayla kembali menggerutu pelan. Wanita cantik bertubuh sintal itu beranjak ke tempat tidur. "Aku sangat lelah, setelah melakoni perjalanan panjang dari Raja Ampat. Rasanya ingin tidur sepanjang hari," keluh wanita itu, di ujung kekesalannya. Dia naik ke tempat tidur, lalu duduk di sana.
"Kedengarannya bagus. Tidur sepanjang hari akan jauh lebih baik untukmu. Lagi pula, aku akan cukup sibuk hari ini," ujar Windraya, seraya berjalan mendekat ke tempat tidur.
"Ini tidak akan lama. Setelah pernikahanku dengan Ranum selesai, kita akan kembali jadi suami-istri yang harmonis seperti dulu. Kuharap kamu tidak berpikir macam-macam. Itu akan membuatmu terlihat lebih tua sebelum waktunya." Windraya tersenyum kecil, setelah berkata demikian. Dia mengecup kening serta bibir sang istri, sebelum berlalu keluar kamar.
Windraya melangkah gagah menyusuri koridor, hingga tiba di depan kamar Nindira. Dia ingin berpamitan terlebih dulu pada sang ibunda, sekaligus meminta maaf atas sikapnya tadi. Namun, pria itu memikirkan kembali niatnya. Windraya sangat mengenal watak wanita paruh baya tersebut. Akhirnya, Windraya memilih melanjutkan langkah. Namun, di ujung koridor dia berpapasan dengan Ranum, yang langsung menundukkan wajah.
"Anda akan berangkat, Pak?" Ranum memberanikan diri bertanya lebih dulu.
"Ya," jawab Windraya pelan. "Kusarankan agar kamu menghindari Mayla dalam beberapa hari ke depan. Suasana hatinya sedang tidak baik."
Ranum tidak menyahut. Wanita muda itu hanya mengangguk pelan. Itu pun tanpa berani mengangkat wajah.
Merasa tak ada yang perlu dikatakan lagi, Windraya berlalu begitu saja dari hadapan istri sirinya. Seperti dulu, saat mereka belum terikat pernikahan. Windraya tak banyak bicara.
Sementara itu, Mayla merebahkan tubuh di kasur, Dia begitu lelah. Wanita cantik dua puluh lima tahun tersebut terus memikirkan perbincangannya dengan sang suami tadi.
Mayla sudah terbiasa hidup dalam gelimang kemewahan. Segala fasilitas dia dapatkan dari Windraya, termasuk jalan-jalan ke manapun yang diinginkan, demi menjaga kewarasan karena tak tahan dengan sikap Nindira.
Entah pernikahan macam apa yang sebenarnya Windraya dan Mayla jalani selama ini. Namun, rasa cinta pengusaha tampan itu terhadap Mayla begitu besar, seakan membuatnya mengabaikan segala kenormalan yang pantas didapatkan dari wanita itu. Ya, selama ini Windraya hanya menikmati pelayanan di tempat tidur. Tak ada pelayanan lain dari Mayla selayaknya istri.
"Baiklah," gumam Mayla, seraya memijat kening. "Baiklah, ibu mertuaku sayang." Wanita itu tersenyum kecut. "Aku tidak rela kehilangan segala kenyamanan ini. Ya. Tak ada yang perlu dikhawatirkan karena Mas Win sangat mencintaiku. Kita lihat sampai kapan semua kekonyolan ini akan berlangsung."
Mayla memejamkan mata. Dia bermaksud hendak tidur. Namun, suara dering panggilan membuat wanita bertubuh sintal itu kembali terjaga. Mayla mengeluh pelan, seraya meraih telepon genggam dari meja di sebelah tempat tidur. Meskipun malas, dia tetap menerima panggilan masuk tadi.
Nama Rania tertera di layar sebagai pemanggil. Mayla langsung tersenyum lebar, seraya bangkit dan duduk bersandar pada kepala tempat tidur. "Hallo, Sayang," sapanya hangat.
"Hallo, Cantik. Sedang apa? Kamu sudah pulang dari Raja Ampat?" Suara seorang wanita membalas sapaan hangat Mayla.
"Aku baru datang beberapa saat yang lalu. Kenapa?"
"Bagaimana kalau nanti malam kita clubbing? Aku kangen berat. Sudah lama tidak bersenang-senang denganmu."
Mayla tak langsung menjawab. Dia memikirkan ajakan itu terlebih dulu. "Baiklah," putusnya. "Di tempat biasa, ya."
Setelah perbincangan selesai, Mayla memutuskan tidur. Wanita itu terbangun sekitar pukul enam petang.
Windraya sendiri belum kembali. Pria itu masih disibukkan dengan urusan bisnis. Hal yang sudah biasa bagi Mayla dan tak lagi jadi masalah besar. Mayla hanya perlu mengirimkan pesan singkat, memberitahu sang suami bahwa dia ada acara dengan teman-temannya.
Sekitar pukul delapan, Mayla sudah tampil cantik. Dia melangkah keluar kamar penuh percaya diri. Di koridor, istri sah Windraya tersebut berpapasan dengan Ranum. Namun, Mayla tak berani melakukan apa pun dan lebih memilih bersikap tak peduli.
Mayla mengendarai mobil seorang diri menuju klub malam mewah tempat langganannya. Hingar-bingar musik menghentak terdengar begitu memekakan telinga. Mayla yang sudah merupakan langganan tetap tempat hiburan malam tersebut, melenggang masuk dengan leluasa. Dia langsung menuju meja tempat biasa berkumpul bersama teman-temannya.
Di sana, sudah ada dua wanita cantik berpakaian seksi. Salah satu dari mereka merupakan Rania. Wanita itu langsung menyambut Mayla dengan pelukan.
"Kebetulan sekali. Aku sedang suntuk di rumah," ujar Mayla, malas.
"Kenapa? Apa mertuamu berulah lagi?" tanya Rania.
"Lebih dari itu," jawab Mayla.
Rania seketika mengangguk.
Namun, wajah muram istri Windraya itu tiba-tiba berubah ceria, saat melihat seorang pria datang menghampiri.
Mayla segera berdiri menyambut si pria. "Steven!"
"Sayang!" Tanpa ada rasa canggung sama sekali, mereka berciuman mesra.
Keduanya saling menyentuh, bahkan tanpa memedulikan yang lain di sana...!
Waduh... jangan-jangan ini alasan Bu Nindira benci sama Mayla?
Ranum terlihat ragu. Dia masih ingat betul seperti apa sikap Ainur, saat terakhir kali mereka bertemu. Terlebih, setelah wanita paruh baya itu membeberkan jati diri Ranum yang sebenarnya. “Kenapa? Ibumu pasti tak akan berpikir macam-macam lagi. Dia sudah mengetahui siapa suamimu. Aku pernah berbicara secara langsung dengannya,” ujar Windraya tenang. “Saya tidak yakin. Ini bukan hanya tentang status sebagai istri, tetapi juga sebagai anak,” ujar Ranum pelan, seraya menundukkan wajah. Melihat bahasa tubuh sang istri yang dirasa aneh, membuat Windraya menautkan alis. “Ada apa?” tanyanya lembut. Bukannya menjawab, Ranum justru terisak pelan. “Kenapa?” tanya pengusaha itu lagi kian penasaran. “Beliau bukan ibu kandung saya, Pak,” jawab Ranum lirih.“Apa?” Windraya menatap tak percaya.Ranum mengangguk. Tak lama, dia menceritakan semua yang Ainur katakan dulu secara terperinci. Membuat Windraya ternganga tak percaya. “Ibu saya seorang pelacur, Pak. Itulah kenyataannya,” ucap Ranum di
Ranum menatap sang suami. “Terserah Anda,” ucapnya sambil berbalik, kemudian melanjutkan langkah. “Tunggu, Ranum!” cegah Windraya. Ranum kembali tertegun. Namun, kali ini tak menoleh, meskipun mendengar langkah Windraya yang mendekat padanya. “Ayolah. Kumohon,” bisik Windraya, seraya menyentuh lembut lengan sang istri. “Saya sudah menjawab tadi,” ucap Ranum dingin. “Bukan itu maksudku,” bantah Windraya, seraya berpindah ke hadapan Ranum. Dia mengambil Elok, lalu menggendong sang putri yang ternyata sudah bangun. Windraya mengecup bayi itu penuh kasih. “Aku harus bagaimana lagi?” tanyanya.Ranum tidak menjawab. Dia justru memalingkan wajah. “Sayang,” ucap Windraya lagi, dengan raut setengah memohon. “Aku sudah menceraikan Mayla, yang dinikahi secara sah. Aku masih mempertahankanmu hingga saat ini karena berharap bisa memiliki ikatan yang lebih baik dan kuat.” “Semudah itu?” Ranum yang dalam beberapa waktu terakhir puasa bicara terhadap Windraya, kali ini bersedia menanggapi ucap
Hari berganti. Namun, sikap Ranum tak juga berubah. Dia masih irit bicara terhadap Windraya. Padahal, sikapnya di hadapan orang lain terlihat biasa.Windraya sendiri akhirnya terbiasa dengan hal itu. Namun, dia tak membiarkan Ranum begitu saja. Windraya tetap mengajaknya berbincang, meskipun seperti tengah berbicara dengan tembok.Walaupun begitu, Windraya tak peduli. Pengusaha tampan tersebut bahkan kerap bercerita tentang masa kecil, remaja, hingga segala hal yang sebelumnya tidak Ranum ketahui. “Aku tahu itu gila. Tapi, teman-temanku jauh lebih gila. Jika ingat mereka, rasanya ingin kembali ke masa di mana tak ada hal lain yang kupikirkan selain pelajaran sekolah,” tutur Windraya, sambil duduk bersandar. Dia menoleh beberapa saat pada sang istri, yang berbaring dalam posisi menyamping dan tentu saja membelakanginya.“Banyak hal yang sudah berubah,” ucap Windraya lagi, seraya mengalihkan perhatian ke arah lain. “Jangankan dari masa sekolah. Dalam tahun ini saja, banyak hal terjadi
Windraya menatap Ranum dengan sorot tak suka. Namun, dia memilih tak banyak bicara. Pria itu mengalihkan perhatian pada Marcell. Sang ajudan berpura-pura sibuk dengan telepon genggamnya. Pengusaha tampan yang kini menyandang status ayah tersebut mengembuskan napas pelan. Dia tersenyum kecil, saat dua orang pelayan datang membawa serta menyajikan makanan yang telah dipesan. “Makan dulu,” ucap Windraya entah ditujukan pada siapa. Ranum yang tengah asyik berbincang dengan Annchi, tak menanggapi. Dia terus berbicara pada gadis kecil itu. Sesekali, suara Bastian terdengar menimpali. Mendengar suara pengusaha yang telah menampung Ranum selama pelariannya, membuat darah dalam tubuh Windraya berdesir lebih kencang dari biasanya. Degub jantung pun jadi tak beraturan. Jika tak sedang menggendong Elok, Windraya mungkin akan langsung merebut telepon genggam yang tengah digunakan video call oleh sang istri. Namun, dalam situasi seperti saat ini, Windraya tak bisa berbuat apa-apa. Dia harus pa
Sontak, ketiga pria di ruang tamu langsung menoleh ke sumber suara. Sosok Ranum muncul sambil menggendong Elok. Dia datang ditemani Celia. Ibu muda itu memandang Windraya, dengan tatapan tak dapat diartikan."Ranum?" Windraya menatap tak percaya. Sebenarnya, dia ingin langsung menghambur dan memeluk wanita itu. Namun, Windraya berusaha menahan diri.Ranum melangkah tenang ke dekat Bastian. "Maafkan saya, Pak. Padahal, saya sudah mengatakan akan bekerja di sini sebagai tanda terima kasih. Namun, saya justru ...." Ranum tak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa tak enak yang menyelimuti hati wanita muda itu."Tidak usah dipikirkan, Mbak. Saya memberikan bantuan tanpa mengharap imbalan apa pun. Saya senang karena Mbak Ranum dan Elok sehat," balas Bastian tulus."Bagaimanapun juga, Mbak Ranum harus kembali kepada suami. Apalagi, Elok sudah terlahir ke dunia. Dia membutuhkan sosok orang tua, yang nantinya akan membimbing dan memberikan segala yang terbaik," ujar Celia menimpali."Terima kasih,
“Apa maksudmu berpisah?” Tatapan Windraya menyiratkan rasa tak mengerti. Dia juga tak suka mendengar ucapan Ranum. “Meskipun pernikahan kita tidak diakui secara hukum negara, tetapi Anda tetap harus menceraikan saya —”“Tidak!” tolak Windraya tegas. “Aku tidak akan pernah melakukan itu!”“Saya ingin berpisah, Pak,” desak Ranum tak kalah tegas. Menghadapi sang istri yang keras kepala, membuat Windraya kembali kehilangan kesabaran. Dia meraih lengan sebelah kanan Ranum, mencengkramnya cukup erat. “Sudah kukatan agar jangan bermain-main denganku, Ranum. Kamu tidak akan menyukainya!”“Saya tidak peduli lagi, Pak,” balas Ranum. “Lebih baik Anda pergi dari sini sekarang juga,” usirnya penuh penekanan.“Tidak tanpamu dan Elok,” tolak Windraya tegas.“Tapi, saya tidak bersedia. Saya akan tetap berada di sini.” “Jangan keras kepala, Ranum. Jangan sampai aku memaksamu —”“Itulah yang biasa Keluarga Sasmitha lakukan. Memaksakan kehendak mereka pada orang lain,” sela Ranum. Dia melepaskan ceng