Usai menyelesaikan misi di luar kota, Yudha langsung kembali. Ada satu misi lain yang harus diselesaikan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, yaitu meluruskan apa yang terjadi. Bahwa sesungguhnya ia tidak tahu tentang riwayat alergi sang istri. Setelah beberapa hari menghilang tanpa jejak, ia yakin—Tavisha yang mudah sekali berapi-api akan tersulut emosi.
Untuk itu, langkah kakinya berat dan cepat, seolah dibersamai oleh badai yang tak terlihat. Yudha bahkan belum sempat mengganti seragam yang mungkin tampak lusuh. Tapi ia tidak peduli.
Bahkan, matanya terlihat memerah bukan karena kantuk, tapi karena ia tidak tidur dalam memimpin misi penyelamatan sandera yang menegangkan. Namun, yang menguasai pikirannya sejak kembali ke ibu kota bukanlah misi tersebut, melainkan satu nama—Tavisha.
Ia tak sempat ke rumah atau bahkan menghubungi komandannya. Begitu mendarat, ia hanya meminta izin darurat ke markas untuk langsung menuju rumah sakit. Dada Yudha sesak karena rasa bersalah. Ia mendengar kondisi alergi berat yang diderita oleh Tavisha, karena kelalaiannya. Sementara dirinya … suami sah perempuan itu, justru tak ada disisinya ketika nyaris kehilangan nyawa.
Yudha menatap nomor kamar dari ujung lorong. Ada sedikit rasa takut di sana. Bukan karena kondisi sang istri, tapi takut melihat reaksi Tavisha terhadapnya. Ia pun mendekat, perlahan. Namun, langkah kakinya terhenti ketika mendengar canda tawa dari dalam kamar.
“Dasar brengsek!”
“Lo ngatain gue brengsek?”
“Bukan lo, tapi tuh lelaki!”
Suara Tavisha terdengar kesal, namun ada sedikit kelegaan. Sebab, melihat sisi perempuan itu yang masih sama. Sisinya yang tidak pernah mengenal takut.
Yudha membeku di balik pintu yang sedikit terbuka. Hanya ada segaris celah, namun cukup bagi sorot matanya untuk memandang dua sosok di dalam ruangan.
Tavisha bersandar pada bantal, rambutnya dicepol seadanya. Wajahnya tampak lebih segar, meski masih pucat. Di sisinya, duduk seorang laki-laki dengan jaket biru dongker.
Mereka tertawa bersama dan saling menyindir satu sama lain. Jarak mereka memang tidak bersentuhan, tapi cukup dekat untuk membuat rahang Yudha mengetat.
Dalam sekejap, rasa lelah dan khawatir Yudha luruh digantikan sensasi pahit yang menohok. Ia tidak marah, tepatnya belum tahu. Tapi hatinya seperti diremas dari dalam. Diam-diam hancur.
‘Siapa lelaki itu? Kenapa mereka sangat dekat? Dan Tavisha terlihat nyaman?’
Perlahan tapi pasti, Yudha mendorong pintu tersebut hingga terbuka lebar. Seketika itu pula, kedua pasang mata disana langsung menoleh. Tatapan Tavisha membeku. Sementara Samuel refleks beranjak, seperti tengah tertangkap basah berselingkuh dengan istri orang.
Yudha berdiri tegap di ambang pintu, tubuhnya menjulang tinggi. Seragam lorengnya masih kumal, tapi justru membuatnya tampak semakin menakutkan. Mata tajamnya menatap Samuel, lalu beralih ke arah Tavisha yang memucat.
“Maaf mengganggu, sepertinya saya datang di waktu yang kurang tepat.”
Tavisha seperti tertohok oleh kalimat itu. Tatapan Yudha begitu tajam, seolah mengatakan bahwa ia tidak suka kehadiran sahabatnya disana. Entah mengapa, tiba-tiba saja lidahnya kelu. Jantungnya jadi berdetak tak karuan.
Sama halnya seperti yang Samuel rasakan, Tavisha merasa seperti seorang istri yang tertangkap basah berselingkuh dibelakang suaminya sendiri. Padahal bukan seperti itu ….
“Ha-halo. Saya Samuel, sahabatnya Tavisha.”
Meski gugup, Samuel tetap mengulurkan tangan itu. Namun, Yudha hanya menatap uluran tangan itu cukup lama. Matanya bahkan tidak bergerak sedikit pun.
Dalam sekejap, udara di dalam kamar berubah jadi berat, seolah-olah ada gelombang amarah yang tidak pernah terucap.
Tatapan Yudha tidak sekadar menolak jabatan tangan, tapi juga mengatakan bahwa kehadiran Samuel tidak diharapkan disana.
Samuel menarik kembali tangannya perlahan, gerak-geriknya canggung. Ia bisa merasakan desakan tak terlihat untuk segera pergi. Ia seperti seseorang yang baru saja melanggar batas tak kasatmata. Ia menoleh pada Tavisha, seolah meminta persetujuan diam-diam. Tapi perempuan itu hanya membisu. Matanya tertuju pada Yudha, sang suami yang tiba-tiba muncul dalam wujud berbeda—bukan hanya fisik saja, tapi juga aura yang mengitarinya.
“Kalau begitu, gue pamit dulu, ya.”
Samuel bergerak kaku seraya menatap Tavisha dan Yudha silih berganti.
“Jangan lupa, laporan penelitian lo udah ditungguin sama pembimbing,” ucap Samuel, seolah kedatangannya disana hanya untuk urusan perkuliahan.
“Oke.”
Tavisha menjawab sekenanya. Ia merasakan aura yang tidak menyenangkan disana. Entah karena dominasi sang suami yang begitu kuat. Atau sesuatu hal yang lain, yang tidak ia ketahui.
Yudha masih bergeming, namun sorot matanya mengikuti setiap langkah Samuel yang berjalan melewati. Tidak ada sepatah kata pun yang terlontar sebagai salam perpisahan, bahkan anggukan pun tidak. Ia hanya berdiri seperti patung yang penuh bara api di dalamnya.
Begitu pintu tertutup, Yudha mendekat. Sepatu bot militernya berdentum pelan di lantai, menyisakan gema yang membuat suasana makin tegang. Kemudian, ia berdiri tepat di sisi ranjang Tavisha.
Tavisha membisu, memperhatikan sosok suami yang kini berdiri di hadapannya. Rambut Yudha berantakan, tapi tetap memancarkan pesona yang luar biasa. Wajahnya lelah—tapi sorot matanya menyala seperti bara yang belum padam. Ia tidak duduk. Hanya berdiri seperti seseorang yang tampak hendak menghakimi.
“Sejak kapan lo pulang? Gue nggak tahu kalau lo udah disini,” ucap Tavisha pelan, mencoba memecah ketegangan.
Yudha mendengus.
“Jelas saja, karena kamu terlalu sibuk bercanda sama laki-laki lain.”
Deg!
Tavisha tertegun. Tak paham maksud ucapan tersebut.
“Apa maksud lo? Dia itu sahabat gue. Bahkan, sebelum gue kenal lo!”
“Sahabat?”
Yudha mengulang dengan nada yang lebih tajam.
“Sahabat seperti apa yang datang ke kamar rawat inap istri orang, duduk sambil bercanda. Apa dia tidak tahu kamu sudah bersuami?”
Nada suara itu terdengar rendah, tapi cukup menusuk.
Sementara Tavisha yang tidak mengerti dengan sikap Yudha yang tiba-tiba posesif membuatnya hanya bisa menghela napas.
“Gue nyaris mati, ya! Dia datang karena merasa bersalah, nggak sempat datang pas gue butuh bantuan!”
“Memang kamu pikir cuma dia yang merasa bersalah?”
Suara Yudha terdengar getir.
“Maksud lo?”
“Saat Papa kamu bilang, kamu ada alergi almond. Saat itu saya khawatir. Tapi ….”
“Tapi lo lebih pilih nggak peduli, iya, ‘kan?”
Tavisha bersedekap, mendongak sambil tertawa sinis. Pertemuan yang diharapkan bisa menjadi ajang untuk meluruskan kesalahpahaman, justru berujung pertengkaran yang tidak diharapkan.
“Bukan begitu.”
Yudha merendahkan ucapannya. Menarik napas dan mencoba meredam gejolak emosi yang kadung menyala.
“Seharusnya kamu tahu bagaimana menjaga martabat suami saat tidak ada disini. Apa kata orang kalau melihat kamu berdua dengan laki-laki lain sementara suami kamu sedang bertugas?”
Ucapan itu seperti tamparan. Tavisha menegakkan tubuhnya yang bergetar. Bukan karena sakit, tapi emosi yang kian berapi. Bukankah seharusnya Yudha meminta maaf karena hampir saja membunuhnya? Tapi, mengapa kehadiran pria itu justru hanya membuat sesak saja?
“Jadi ini soal reputasi lo?”
***
Sejauh enam bab ini bagaimana? Yuk komen sebanyaknya~ Makasih!
Dahlia keluar dari kamar setelah berhasil menenangkan sang menantu dan memberinya makan. Hormon yang dialami Tavisha memang tidak biasa. Perempuan itu sangat rapuh. Seolah jika dipegang sedikit saja mampu menghancurkannya. Setelah pintu kembali tertutup, Yudha langsung menghampiri. Ada kecemasan di wajah yang tak bisa ia tutupi. “Bagaimana Tavisha, Bu?"“Dia tidur lagi setelah makan dan minum vitamin.”Terdengar hela nafas lega setelahnya. Dahlia lantas menyelipkan tangannya di sela lengan putranya sambil membawa pria itu untuk duduk di sofa. “Duduk sini, kita ngobrol sebentar.”Yudha hanya mengangguk pelan. “Jangan terlalu keras dengan Tavisha, Nak,” nasehat sang ibu setelah berhasil duduk di sofa ruang tamu bersama putranya. Namun, tidak ada sahutan yang berarti dari bibir Yudha. Pria itu hanya bergeming, seakan berpikir apa benar ia terlalu keras pada istrinya? Padahal, ia sudah berusaha untuk bisa menahan semua ego dan amarah yang terpendam di kepala hanya demi tidak menyakiti
Yudha membiarkan tangis itu pecah. Ia membiarkan perempuan rapuh dan tak berdaya itu meluapkan segala kesedihannya melalui tangisan. Ibunya bilang, perempuan hamil itu perasaannya sangat sensitif. Ia bisa menangis hal-hal bahkan sekecil apapun. Apalagi Tavisha yang tengah menghadapi badai besar dalam hidupnya. Setelah lama menunggu, tangis itu akhirnya berubah jadi sebuah keheningan. Yudha menilik sang perempuan yang tengah berada dalam pelukan. Tak ada suara selain deru napas teratur. Yudha bisa menebak bahwa perempuan itu sudah tertidur. Ia pun menyelipkan tangannya ke celah leher dan kaki sang perempuan. Kemudian berdiri membopongnya menuju ranjang.Dengan sangat hati-hati, Yudha meletakkan sang istri, seakan takut membuatnya terbangun. Setelahnya, ia menyingkap rambut dan mengusap sisa air mata yang ada di kelopaknya.“Maafkan saya Tavisha.”“…”“Saya menyayangi kamu lebih dari apapun.”“…”Ungkapan hati seorang Yudha yang tak pernah secara jelas terucap di hadapan istrinya. Ia s
Ketika kembali ke kediamannya, Yudha mendapati sang istri lagi-lagi merenung di ujung jendela kamar. Tatapannya kosong sambil memeluk kedua kakinya. Ada perasaan sesak saat dirinya harus melihat keadaan Tavisha yang semakin hari semakin menyedihkan. Ia tidak ingin psikologis perempuan itu terganggu. Terlebih ada bayi dalam kandungannya yang harus mendapatkan perhatian lebih. “Tavisha?” Yudha mendekat, duduk di hadapan perempuan itu. Jemarinya menarik sofa sang istri agar lebih dekat. Kemudian menelaah setiap guratan yang tampak di wajah. “Ada apa?” tanya Yudha, suaranya rendah nyaris tanpa ekspresi. “...” Namun yang ditanya lagi-lagi tak memberinya jawaban. Yudha hampir frustasi. Ia tidak pernah melihat sisi Tavisha yang sebegini rapuh. Dan itu—membuat dirinya merasa bersalah. Bukan hanya karena ia tidak bisa menenangkan hati perempuannya. Tapi, ia sadar. Sebagai abdi negara, ia tidak bisa selalu menemani Tavisha. Bahkan, jika ada operasi yang mengharuskannya pergi, ia tidak bi
Setelah melihat keadaan istrinya, Yudha memutuskan untuk secara terang-terangan mendatangi sang ayah di kediamannya. Sore itu, Yudha tiba di kediaman Dirgantara ketika langit mulai meredup. Hanya menyisakan cahaya jingga yang mengitari halaman. Lantas, ia turun dari mobil, menutup pintu tanpa suara berlebih.Kali ini, langkahnya terasa begitu berat. Terlebih, saat ia mulai melewati pintu utama. Yudha kembali berpikir, kapan terakhir dirinya berbicara serius empat mata dengan sang ayah? Ah, ia pun teringat saat makan malam terakhir di kediamannya. Ketika, Tavisha pertama kali menyebut operasi langit merah dalam acara makan malam tersebut. Bagi Yudha, sang ayah bak bayangan tegas dalam hidupnya. Pria penuh wibawa itu, nyaris tak tersentuh oleh apapun. Pintu dibuka oleh seorang asisten rumah tangga. Begitu melihat Yudha, wanita paruh baya itu buru-buru menunduk. “Selamat sore, Tuan Muda.” “Bapak ada di dalam?” “Ada. Beliau di ruang kerja.”Yudha mengangguk, lalu melangkah masuk. Ruma
Setelah semua riuh pertengkaran mereda malam itu, rumah besar keluarga Tandjung tenggelam dalam kesunyian. Dokter sudah pulang, meninggalkan pesan agar Tavisha banyak beristirahat. Seisi rumah pun berangsur hening. Namun, Yudha tidak lekas meninggalkan kediaman itu. Ia duduk di ruang tamu cukup lama, punggungnya bersandar pada sofa dengan pandangan kosong. Rasanya ia masih mendengar suara lirih Tavisha, kalimat-kalimat getir yang menuduh sekaligus menolak kehadirannya. Kepalanya berat, tapi setiap kali menutup mata, wajah pucat istrinya yang tak sadarkan diri kembali muncul. Akhirnya, Yudha memilih tidur di kamar tamu. Lampu sengaja tidak dimatikan. Tubuhnya berbaring, tetapi pikiran terus berkelana. Tentang rahasia yang belum ia buka, tentang kenyataan kehamilan yang baru diketahuinya, juga tentang kemungkinan kehilangan kepercayaan Tavisha sepenuhnya. Di kamar utama, Tavisha terjaga. Tubuhnya lemah, tapi ia tidak bisa memejamkan mata. Pandangannya sering beralih ke pintu, menunggu
“Jawab aku, Mas! Bapak kamu yang ngebunuh Mama, ‘kan?!” tanya Tavisha dengan nada berapi-api. Tatapannya menusuk tajam. Suaranya menggelegar hebat dengan sisa tangisan yang belum sepenuhnya reda. Yudha menahan napas. Tubuhnya kaku seolah terhantam oleh kenyataan. Kata-kata itu terlalu berat untuk dijawab, tapi diam justru membuatnya terlihat lebih bersalah. “Itu tidak benar,” ucap Yudha, lirih. “Kalau nggak benar, mana buktinya?!” Tavisha menekan suaranya. “Kenapa kamu selama ini nutup-nutupin, Mas? Kenapa kamu melarang aku buat cari tahu? Apa karena takut aku bongkar aib keluarga kamu?” “Bukan begitu.” Yudha menggeleng cepat, mencoba mendekat. “Saya cuma—” “Cuma apa?” Tavisha mundur selangkah. “Cuma memilih jadi anak baik buat bapaknya, sementara aku kehilangan Mama tanpa tahu siapa yang membunuhnya?!” Nada getir itu menggema di ruangan kaca. Napas Tavisha memburu, dadanya naik turun tak teratur. Sedangkan Yudha berusaha menjaga nada suaranya tetap rendah. “Saya tidak perna