"Akhirnya selesai juga ...."Elena menatap bathtub yang kini sudah dipenuhi air hangat untuk Darryl berendam. Dia juga sudah melarutkan sabun ke dalamnya. Tugasnya telah selesai dan Elena pun keluar dari sana untuk pergi. Dia berjalan menuju ke arah ranjang di mana ternyata Darryl berbaring. Mata pria itu terpejam. "Tuan? Air hangatnya sudah siap." Elena mencoba memberitahunya, tapi justru Darryl tetap menutup matanya. Tidak mungkin pria ini tertidur setelah memintanya menyiapkan air hangat? "Tuan!"Tetap tidak ada reaksi, Darryl tetap terlelap dengan tubuh terlentang. Pria itu tampak begitu damai, membuat Elena secara tak sadar mengamatinya. Menatap bagaimana Darryl tidur. Pria itu lebih tampan dan lembut saat ini. Rasanya tidak ada kesan menakutkan sama sekali sekarang. Darryl layaknya seperti seorang ayah. Elena berkedip dan menelusuri tubuh pria itu tanpa sadar. Dia sedikit tersentak dan malu saat melihat tubuh besar di hadapannya. Darryl setengah telanjang dan keringat tampak t
Tok-tok-tok. "Ayah, ini Iel."Suara ketukan pintu disertai suara Ezekiel terdengar di baliknya. Mengalihkan perhatian Darryl untuk sejenak dari kesibukannya. Dia meletakkan kertas yang tengah diperiksanya ke meja dan menyingkirkan kacamatanya, sebelum kemudian menyahut, "Masuklah."Pintu berderit pelan dan terbuka. Ezekiel muncul dengan wajah tenangnya dan melangkah masuk, dia berjalan mendekati Darryl yang tengah duduk di sofa. Lalu dengan tenangnya, duduk berhadapan dengan sang ayah. "Kamu sedikit terlambat, Ayah kira kamu tidak akan ke sini." Darryl berdiri dan berjalan mendekati meja kerjanya untuk mengambil sesuatu yang akan diberikan pada anaknya. "Iel tadi tenangin Tante dulu. Kasihan, Tante malu gara-gara Iel."Darryl mendengkus dan menyunggingkan senyum tipis. "Kamu menikmatinya. Bermain-main dengannya sepertinya menyenangkan."Ezekiel tampak sangat tenang dengan ucapan ayahnya. Pun saat sang ayah itu memberikannya sebuah paper bag. Dia hanya mengintip barang di dalamnya t
"Jadi pria yang membuat kekacauan itu adalah sepupunya?"Darryl terdiam dan mendengarkan dengan saksama laporan dari orangnya melalui telepon. Ini benar-benar hal yang tak terduga dan juga menarik. Pria itu memiliki nyali yang besar untuk bertemu dengannya. "Baiklah, untuk sekarang abaikan saja dia, tapi jika datang kembali ke tempatku, pastikan untuk tidak mengalihkan pandanganmu."Panggilan berakhir. Darryl mematikan panggilan tersebut dan menyimpan ponselnya kembali di meja yang tak jauh dari sana. Sementara dirinya yang baru saja selesai melakukan gym dan melatih ototnya, langsung mengambil air minumnya. Darryl duduk di kursi sambil mengusap keringatnya di wajahnya. Dia menatap alat-alat berat miliknya yang selalu digunakan untuk latihan setiap akhir pekan. Di sana Darryl berniat istirahat sebentar, tapi sayangnya suara tawa cukup keras mengganggunya. Membuat Darryl refleks mengalihkan pandangannya ke arah jendela yang menghadap langsung ke taman. Hingga terlihatlah, suara itu te
Tiga hari berlalu, Elena mulai sedikit senang setelah mendengar kabar Darryl tentang sepupunya. Bagaimana pun, sekeras apa pun dia memikirkan cara untuk melarikan diri, dia masih belum mendapatkannya. Kemarin saja, dirinya hampir ketahuan saat hendak mengintip ke luar tembok dengan menggunakan tangga darurat. Hanya Marcell harapannya, walau dia juga tidak boleh menyerah di sini. "Elena, sepertinya kamu terlihat senang hari ini. Berbeda dari yang terakhir kali." Sebuah suara menegurnya. Elena yang sedang tersenyum sendiri memikirkan Marcell, seketika menoleh dan menatap Siena. Guru Ezekiel. Dua kali pertemuan mereka sebelumnya, telah membuat mereka menjadi sedikit lebih dekat. "Benarkah?""Iya, apa Tuan Darryl melakukan sesuatu?""Tidak, bukan itu." Elena menatap ragu wanita itu. Dia tidak tahu sejauh mana Siena tahu soal dirinya di sini, tapi dia perlu hati-hati. "Aku hanya sedang senang saja.""Kupikir Tuan Darryl melakukan sesuatu. Sebenarnya aku sangat terkejut saat melihatmu di
"Apa Anda kalah lagi?"Seorang pria mendekat dan tersenyum ke arahnya, tepat saat Marcell kalah berjudi. Layar permainan di depan Marcell menunjukkan kekalahannya. Namun yang jelas, kekalahan itu disengaja olehnya. Marcell telah menghabiskan sekitar dua juta uangnya untuk ini. Dia juga tentu tidak akan menyia-nyiakan uangnya yang lenyap begitu saja. Bibirnya tersenyum lembut membalas pertanyaan tersebut. "Ya, seperti yang kau lihat. Aku tidak beruntung hari ini. Uangku habis.""Malam masih panjang, apakah Anda akan menyerah secepat ini?"Marcell tersenyum dan mengedikkan kedua bahunya. "Sayang sekali, aku juga ingin memainkan permainan lain, tapi tidak ada lagi yang bisa dipertaruhkan.""Anda ingin mencoba permainan lain? Mungkin saya bisa membantu."Tertangkap. Marcell berusaha menyembunyikan senyum puasnya mendengar ucapan pria yang berada dekat dengannya. Dia tidak tahu apakah pria itu tahu dia pernah datang dan membuat kekacauan atau tidak. Namun yang jelas, ini adalah kesempata
Suara mesin mobil berhenti tepat pada tengah malam. Darryl memasukkan mobilnya ke dalam garasi dan keluar sambil mengusap kasar wajahnya. Dia melangkah masuk ke dalam rumah yang dalam keadaan sepi. Lampu juga masih menyala sebagian, tepatnya di ruang tengah. Hingga menyorot ke arah tangga. Darryl yang melihatnya lantas berjalan menuju lantai atas sambil mengandalkan cahaya lampu di ruang tengah. Dia berjalan hati-hati menuju kamarnya. Kamar Darryl berada di ujung dan sekarang dia ada di arah berlawanan, berada dekat kamar anaknya serta Elena. Sebelum berjalan menuju kamarnya, Darryl yang penasaran mendekati kamar Ezekiel dan membuka pintunya pelan-pelan. Lampu tidur menyala dan di ranjang terlihat sangat anak yang sedang terlelap. Perasaan Darryl sedikit tenang setiap kali melihat anaknya. Dia duduk sebentar sambil mengelus lembut puncak kepala Ezekiel. Darryl tersenyum membayangkan bagaimana anaknya saat besar nanti. Entah Ezekiel akan mirip istrinya atau lebih kepada dirinya. Namu
"Sialan! Darryl kau berengsek!"Elena mengumpat dan menatap langit-langit ruangan di mana dirinya tertidur. Dia tahu hari sudah berganti, tapi tidak ada cahaya matahari yang menerobos masuk sekarang. Semuanya hanya mengandalkan lampu sebagai penerangan. Sayangnya, cahayanya di sini tidak seterang di kamarnya. Ruang penyiksaan ini benar-benar pengap baginya. Elena ingin melarikan diri, tapi borgol itu membuatnya hanya bisa duduk dan terbaring di ranjang. Dia bahkan tidak bisa menjauh beberapa langkah dari ranjang. Pria itu mengekangnya.Ini semua gara-gara kecerobohannya kemarin. Elena merasa kesal dan menyesal karena bertindak tergesa-gesa. Harusnya dia melihat 'moment' yang tepat untuk melarikan diri, bukannya saat Darryl masih ada di sana dia kabur. "Aargghh! Sialan, aku ingin keluar ...."Elena putus asa. Tangannya yang diborgol kini kesakitan karena dia yang tidak bisa bergerak memaksakan diri untuk menarik borgolnya. Sepertinya borgol itu akan membuat lecet pergelangan tangannya.
Enam hari berlalu. Elena masih berada di ruangan rahasia milik Darryl dan selama itu, dia tidak bisa melakukan apa-apa selain pasrah. Menerima setiap makanan yang diberikan Darryl atau pun Emma. Walau Elena sudah melakukan segala protes sampai berteriak hingga suaranya habis, Darryl akan berpura-pura tidak mendengarnya dan mengabaikannya. Ezekiel pun tidak terlihat. Harusnya anak itu mencarinya yang menghilang selama enam hari ini, tapi ternyata rumah lebih senyap dan tenang. "Apa aku sudah dibuang sekarang?" Elena tak bersemangat. Dia berbaring sambil menatap sekeliling ruangan yang terdapat beberapa barang aneh. Ruangan itu didominasi warna merah dah hitam. Ada cambuk yang tergantung di dinding bersama dengan rantai. Elena juga melihat senjata tajam. Entah itu hanya pajangan atau benar-benar berfungsi. Tak jauh dari ranjang yang ditidurinya, dia juga melihat sofa dengan bentuk aneh. Itu seperti sofa untuk pasangan suami-istri. Pipi Elena tiba-tiba memanas. Dia mengingatnya. Tema