Share

3. Bertemu Kakek

“Bagaimana keadaan wanita itu?”

Tuan Orlando menatap Senna dan Posy yang berdiri di depannya dalam sikap hormat dengan tatapan dingin—penuh penekanan.

“Nona tidak keluar dari kamarnya sejak insiden Tuan Muda Ozias, Tuan Count.” Senna menjawab dengan patuh.

Sementara Posy hanya diam dan memperhatikan ekspresi Orlando. Lelaki tua itu terlihat geram karena perilaku cucunya.

“Panggil dia ke sini.” Orlando menatap tegas. “Jika dia tidak mau. Seret saja dia ke sini. Bagaimana pun caranya, bawa anak manja itu ke hadapanku sekarang!”

“Baik, Tuan Count.”

Senna dan Posy berjalan pergi meninggalkan tempat mereka. Tiga orang pengawal mengikuti mereka sesuai arahan Orlando untuk menyeret Sirena ke hadapannya.

Belum sampai di ujung pintu kamar Nona Sirena, mereka melihat wanita itu keluar dengan pakaian tidurnya.

Dia hanya menyisir rambut panjangnya agar terlihat lebih rapi dan menutup pundaknya dengan selendang sutra berwarna ungu muda.

“Nona, Tuan Count memanggil Anda ke ruangannya,” ucap Sir. Robin menatap Sirena dengan sikap hormat.

Kepala ksatria yang hanya tunduk dengan Kakeknya itu menatap Sirena dengan begitu dingin dan angkuh.

Namun Sirena tidak terprovokasi dan tetap tenang menghadapi sikap angkuh bawahannya.

“Begitukah?” jawab Sirena dengan suara lirih dan lemah. “Kalau begitu bawa aku pada beliau.”

Sir. Robin mengulurkan tangannya. Dia berencana menuntun Sirena yang terlihat lemah untuk berjalan santai menuju ruangan Count Orlando.

“Terima kasih, Sir. Saya baik-baik saja.”

Sirena menolak bantuan itu secara halus sebelum melalui tubuh kekar kepala ksatria kediaman Sharon itu.

Sir. Robin dan dua ajudan lainnya mengikuti langkah Sirena dengan patuh—menjaganya dengan baik dari belakang.

Langkah Sirena terhenti saat dia melihat hamparan taman bunga Gladius di sisi kanan lorong terbuka yang dia lewati.

“Nona?” Sir. Robin menatap wajah sendu Sirena saat melihat hamparan bunga tersebut. “Apakah Anda ingin membawa beberapa tangkai untuk Tuan Orlando? Beliau pasti akan senang.”

“Senang?” Sirena menoleh pada kepala ksatria kediaman Sharon itu dengan ekspresi datar. “Bukankah Kakek membenciku?”

Para ksatria tercengang. Mereka tidak menyangka jika Nona Sirena yang tidak tahu diri dan terus mengejar cinta Kakeknya, hari ini akan sedikit sadar diri.

“T-tentu saja tidak, Nona. Tuan Count sangat menyayangi cucunya,” jelas Sir. Robin berusaha mencairkan suasana canggung itu.

Sirena hanya membuang napas lembut secara perlahan dan melanjutkan perjalanannya menuju bangunan utama. Tempat Kakek dan semua keluarganya tinggal.

Setelah bangun untuk ketiga kalinya sebagai seorang Sirena Egberta, Lonie Karia sadar jika Sirena adalah anak yang tidak di sayang oleh keluarganya.

Walau semua itu terjadi karena sikap Sirena yang menyebalkan. Tapi akar kebencian dan sikap tidak tahu diri Sirena berasal dari sikap acuh keluarganya sendiri.

“Sekarang mau menyalahkan siapa? Semua ini berawal dari sikap pilih kasih mereka sendiri,” pikir Sirena berulang kali saat mengingat dia adalah anggota Sharon yang terkucilkan.

“Tuan Count sudah menunggu Anda di dalam, Nona Sirena.”

Madam Geneva menyambut kedatangan Sirena dengan wajah ketus serta nada bicara yang terdengar sarkas. Wanita itu sama sekali tidak menghormati Sirena dan itu sangat wajar karena Sirena adalah anggota keluarga yang terbuang.

“Tuan Count, Nona Sirena telah tiba,” seru Madam Geneva dari luar pintu.

“Suruh dia masuk!”

Madam Geneva membuka pintu. Dia membiarkan Sirena masuk ke dalam ruangan seorang diri.

“Saya datang, Kakek.”

Sirena memberi salam. Dia menunduk layaknya seorang putri dengan sikap sempurna.

Orlando sedikit terkejut melihat sikapnya. Padahal wanita itu tidak pernah melakukan hal tersebut sebelumnya. Lalu ada apa dengannya hari ini?

“Kemarilah dan terima ini.”

Orlando memberikan sebuah surat dan undangan pesta dari kekaisaran. Lebih tepatnya, pesta teh yang di gelar oleh Tuan Putri Elvira.

“Aku dengar kamu selalu mengikuti Putri Ke empat dengan baik. Kali ini undangan ini datang darinya.” Orlando menatap Sirena yang tampak tenang saat membaca isi surat tersebut. “Walau kesehatanmu kurang baik, tapi kamu tetap harus datang demi keluarga kita.”

“Ya, mencari nama memang penting,” gumam Sirena lirih.

“Apa kau bilang?!” teriak Tuan Orlando murka.

Namun Sirena hanya menatap Kakeknya dengan ekspresi datar tanpa gemetar ketakutan walau sudah di bentak lantang seperti itu.

“Tidak. Saya akan datang ke pesta teh Tuan Putri.” Sirena menunduk hormat. “Kalau begitu saya pergi sekarang, Kakek. Selamat menikmati sisa hari Anda.”

Setelah mengucap hal tersebut Sirena membalik tubuhnya dan berjalan pergi meninggalkan ruang kerja Tuan Orlando dengan tenang.

Bahkan langkah anggun dan sikap dewasa itu meninggalkan kesan mendalam pada Kepala Keluarga Sharon yang terus tercengang di buatnya.

“Ada apa dengan anak itu?” Orlando menopang kedua sikunya di atas meja dan menyatukan tangannya di depan dagu. “Dia aneh.”

“Madam Geneva.”

Wanita berusia empat puluh tahun itu segera masuk ke dalam ruangan untuk bertemu pemilik kediaman Sharon.

“Ya, Tuan Count.”

“Awasi Sirena dengan baik. Tempatkan seorang dayang di kediamannya untuk mengawasi cucuku.”

Madam Geneva diam-diam melirik tajam pada Tuan Orlando yang terlihat peduli pada Sirena. Ada kecurigaan dan ketidaksenangan muncul di dalam hatinya.

Namun yang bisa dia lakukan hanya patuh pada perintah lelaki tua itu tanpa membangkang.

“Baik, Tuan.”

Setelah pergi ke ruang kerja Orlando, kini Sirena kembali ke taman bunga Gladius. Dia ingin menikmati angin sejuk di bawah pohon Lilac yang ada di tengah-tengah taman bunga Gladius tersebut.

“Nona, Anda ingin pergi memetik—“

“Kamu boleh kembali Sir. Robin. Aku akan di sini sebentar untuk mencari angin.” Sirena menatap lelaki itu beberapa saat. “Aku akan kembali ke kamarku setelah cukup beristirahat.”

Sir. Robin diam di tempat. Dia tidak mengikuti Sirena, melainkan hanya melihatnya menjauh dalam diam.

“Komandan, bukankah Nona Sirena sedikit aneh? Saya tidak pernah melihatnya begitu tenang seperti hari ini.” Salah seorang ksatria yang ada di belakang punggungnya berucap dengan nada lirih.

Lelaki bermata kuning dengan surai merah cepat yang sedikit menutup bagian alisnya itu terlihat penasaran.

“Aku juga heran." Sir. Robin menghela napas gundah. Tapi ini bukan hal buruk, jadi biarkan saja. Sebaiknya kamu beri tahu dayang Nona Sirena tentang keberadaannya. Sementara aku akan kembali lebih dulu.”

“Baik, Komandan.”

Sirena duduk di bawah pohon Lilac dan memejamkan matanya. Angin yang berembus lembut menyapu permukaan kulitnya terasa sangat menenangkan.

“Damai. Inilah kedamaian,” gumamnya lirih sambil mengulas senyum lembut yang tampak puas.

“Tapi—“

Sirena membuka mata dan melihat Tuan Arsenio berdiri di depannya dengan tatapan sarkas—entah dari mana datangnya lelaki itu.

“Ketenangan saya hancur karena tatapan intimidasi Anda, Tuan Duke!” keluhnya sambil membuang napas kasar nan panjang.

Arsenio tidak kunjung memberikan dalih. Lelaki itu hanya diam dan mengamati Sirena dengan tatapan intens.

“Anda sakit, bukan?” Arsenio beranjak duduk di samping Sirena. “Bukannya angin kencang ini tidak baik untuk tubuhmu?”

Sirena kembali memejamkan mata, tampak tidak terganggu dengan tatapan sinis Arsenio.

“Oho! Kamu mengacuhkan aku?”

“Fuhh ... terlalu lama berada di dalam kamar juga tidak baik untuk kesehatan. Karena itu, tidak bisakah Anda pergi? Saya ingin sendirian menikmati ketenangan.”

Arsenio tidak beranjak dari posisinya. Dia malah menarik bahu Sirena sampai gadis itu tertidur di atas pahanya.

“Apa yang Anda—“

“Aku tidak akan berisik.”

Arsenio menyela perkataan wanita itu. Dia menatap lembut pada Sirena yang melempar tatapan permusuhan.

“Jadi jangan memintaku pergi, mengerti?”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Iin Romita
Ayo Arsen, taqlukan serena
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status