Sirena memejamkan matanya. Ia benar-benar terlelap dengan nyaman di pangkuan Arsenio. Bahkan lelaki itu ikut tertidur sampai tidak kenal waktu.
“Pemandangan langka apa yang aku lihat ini Nona Posy?”Tuan Sand, ajudan pribadi Duke Arsenio berdiri di tepi lorong terbuka yang menghubungkannya pada pemandangan taman bunga Gladius. Dia terpana melihat kedekatan Tuan dan tunangannya di depan sana.Posy yang berdiri di samping Sand, juga menatap ke arah yang sama—dengan tatapan terkejut yang sama.Tuan Duke Arsenio yang tidak pernah akur, atau bahkan tidak ingin berlama-lama menatap Nona Sirena, kini sedang tertidur pulas sambil memangku kepala Nona Sirena sedang tertidur?“Pemandangan yang terlalu langka, Tuan Sand. Saya juga baru pertama kali melihat Nona Sirena dan Tuan Duke sangat akur seperti hari ini. Biasanya, mengharapkan ketenangan saat keduanya bertemu saja saya tidak berani. Tapi sekarang, sepertinya hubungan mereka telah membaik,” sahut Posy.“Bagaimana ini?!” Tuan Sand melihat ke arah jam genggam yang dia ambil dari dalam saku kemejanya. “Tuan Duke harus pergi karena Tuan Frederick sudah menunggu di Ibu Kota.”Posy menatap sedih. Tapi dia tidak akan menghalangi Sand jika lelaki itu ingin membangunkan Tuan Arsenio sekarang juga.“Anda bisa membangunkan beliau jika ada urusan mendesak,” ucapnya dengan lembut.Sand juga menyayangkan hal itu. Tapi itu dia tidak punya pilihan lain. “Baiklah, maafkan saya Nona Posy.”Sand mendekati Arsenio dan Sirena. Dengan berat hati dia membangunkan Tuannya. Namun orang pertama yang bangun adalah Sirena. Sementara Arsenio terlihat sangat pulas dalam tidurnya—untuk pertama kalinya setelah dia mendapat gelar Duke.“Maafkan saya, Nona. Namun Tuan Duke Arsenio harus pergi sekarang,” ucap Sand dengan kikuk.Sand yang tidak pernah memiliki hubungan baik dengan Sirena tentu saja canggung jika harus berbicara langsung dengannya.“Begitukah?”Sirena bangun dari pangkuan Arsenio. Saat itulah lelaki itu terbangun dan menatap Sirena yang telah berdiri di sampingnya.“Tidurlah sebentar lagi.” Arsenio menahannya agar tidak pergi.Tatapan Arsenio yang terlihat damai saat berbicara dengan Sirena cukup membuat Sand tertegun.Karena ini pertama kalinya Sand melihat Tuannya tidak memusuhi Nona Sirena.“Maafkan saya, Tuan Duke. Tapi Anda harus pergi karena itulah saya bangun.” Sirena menguap dan melihat Posy bergegas mendekat padanya. “Dayang saya akan mengantar saya ke kamar. Kalau begitu selamat tinggal.”Sirena berjalan pergi tanpa beban. Langkah anggun yang ringan itu membuat pandangan Arsenio tidak bisa beralih pada hal lain.“Mr. Sand. Apakah Nona Sirena memang sekurus itu? Dari tadi aku memangku kepalanya. Tapi kakiku terlihat baik-baik saja.”Sand mengulas senyum masam. Tampaknya dugaan tentang Arsenio yang menaruh sedikit perhatian pada tunangannya memang tidaklah salah.Orang cuek seperti Arsenio sekarang membahas berat badan seorang wanita? Bahkan setelah dia memilik dua puluh tiga mantan istri yang bahkan tidak pernah di urus dengan baik.“Tampaknya Nona Sirena bukan wanita biasa," pikir Sand sangat yakin.“Sand! Kau tidak mendengar perkataan Tuanmu?!” sentak Arsenio.Sand terkejut dan segera menunduk untuk meminta maaf.“Maafkan saya, Tuan. Tapi sepertinya Nona Sirena memang kehilangan berat badannya. Beliau sudah tidak keluar dari kediaman Sharon selama satu bulan. Saya dengar, setelah insiden yang terjadi di istana Kaisar, Nona Sirena sempat mengurung diri di dalam kamarnya selama beberapa hari. Saya tahu beliau pasti mendapatkan pukulan berat setelah mendengar kata-kata baginda Kaisar dan Permaisuri. Wajar jika beliau tidak bersemangat,” jelas Sand.Arsenio bangkit dari tempat duduknya. Dengan cepat dia memetik beberapa tangkai buka Lilac di belakangnya dan berlari mendekati Sirena.“Hei!”Arsenio memanggil dengan lantang.Mendengar suara lelaki itu, Sirena dan Posy menoleh ke arahnya secara serempak.“Apa?” Sirena menatap Arsenio yang mendekat dan memberikan enam tangkai bunga Lilac ke dalam pelukannya.“Apa ini, Tuan Arsenio?”“Pergilah denganku besok pagi. Aku akan menjemputmu.”Alis Sirena bertemu, membentuk kerutan di dahinya. Dia selalu merengut saat melihat sikap baik Arsenio beberapa hari ini—lelaki itu bertindak tidak seperti biasanya.Dari saat lelaki itu menawarkan pahanya sebagai bantal sampai ajakan kencan yang mendadak ini. Tak ada satu pun tindakan Arsenio yang di mengerti Sirena.Bukannya hubungan mereka buruk? Tapi kenapa lelaki ini terus berusaha menempel padanya? Aneh.“Kenapa?” ujar Sirena dengan nada bingung dan sedikit emosi.“Katanya kamu jarang keluar. Aku ingin mengajakmu berkeliling untuk menikmati angin pedesaan. Bukannya kamu suka mencari angin karena kamarmu terasa pengap?” dalih Arsenio.Sirena masih mempertahankan ekspresi tidak sukanya. “Apa saya harus menyetujuinya?”Arsenio mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Aku tidak memaksa. Tapi, alangkah baiknya jika kamu mau.”Posy menatap penuh harap. Dia ingin Sirena dan Arsenio berkencan. Itu akan sangat baik untuk perkembangan hubungan mereka.“Nona, sesekali Anda harus keluar kediaman Count. Itu akan membantu Anda mengembalikan mood!” ujar Posy bersemangat.Sirena membuang napas lembut secara perlahan-lahan. “Tidak ada alasan untuk menolaknya. Jadi baiklah, saya akan pergi.”Arsenio terlihat senang. Dia menggapai tangan Sirena dan mengecup punggung tangannya dengan senyum menawan.“Sampai jumpa besok, Nona ....”“Iya.” Sirena berdiri di depan gerbang rumahnya dengan menggenggam payung.Sinar matahari yang terik akan membuat Senna dan Posy terus mengomel jika dia tidak menurut untuk membawa pelindung kulit nomor satu para Nona di Kekaisaran Firaz. Untungnya, kedua pelayan itu tidak ada di sini.“Nona, Anda sudah menunggu lebih dari satu jam di sini. Tidakkah sebaiknya kita masuk dan menunggu beliau di dalam?” ucap Sir. Einar terlihat cemas.Mereka berdua sudah berdiri cukup lama untuk menunggu kedatangan Duke Arsenio. Tapi kereta kedua kediaman Orlan tidak kunjung datang seakan sengaja terlambat untuk membuat Sirena kesulitan.“Jangan cemas, Sir.”Sirena menatap ksatria yang telah setia menunggu dengannya sejak awal seperti orang bodoh di depan gerbang karena perintah dari Tuan Orlando.“Mereka akan datang satu jam lagi,” jelas Sirena dengan mudah.Sir. Einar yang mendengar itu merasa sakit hati. Dia tahu jika kediaman Duke Orlan sangat membenci Nona Sirena karena beberapa alasan. Namun dia tetap menganggap tindakan mereka sangat keterlaluan.“Bagaimana bisa mereka membiarkan Nona yang bertubuh lemah menunggu lebih dari satu jam? Anda bisa pingsan jika terus berdiri di sini, Nona.” Sir. Einar mendekat satu langkah. “Ayo kita masuk. Jika Tuan Count marah, saya akan menanggung hukumannya. Anda tidak perlu—““Ah ... mereka sudah datang, Sir.”Sirena membalik tubuhnya dan menghadap ke jalanan. Ia melihat kereta kuda berlambangkan keluarga Orlan mendekati gerbang rumahnya dengan kecepatan sedang.Pintu kereta kuda terbuka. Seorang lelaki keluar dengan membawa sebuah surat. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Arsenio di dalam sana. Hanya ada seorang ajudan yang membawa pesan dari Tuannya.Sirena menatap Mr. Sand dengan tatapan lurus nan datar. “Ke mana lelaki itu?”“Nyonya Sirena. Bolehkah saya masuk?” Posy berdiri di depan kamar Sirena dengan membawa nampan berisikan sarapan untuk Nyonyanya. Sementara wanita muda yang berada di dalam kamarnya hanya menunduk dalam tanpa bisa menegakkan punggung dan lehernya dengan baik. Hantu Sirena merasa cemas. Dia tak lagi bisa mengendalikan dirinya. Padahal ini adalah tubuhnya. Namun dia seperti berada di dalam tubuh orang asing yang tak mau menuruti perintahnya. “Tubuh sialan! Milik siapa kau sebenarnya? Aku adalah pemilik aslimu.” Sirena menghardik dalam hati. “Cih, sekarang kau lebih nyaman di isi jiwa wanita kurang ajar itu dari pada diriku? Yang benar saja.” “Nyonya?” Posy mengerutkan kening samar. Dia mendengar seseorang bergumam sendiri di dalam kamar. Dia yakin itu suara Tuannya. Namun jika benar begitu, kenapa Sirena tak menjawab panggilannya? “Apakah Anda membutuhkan bantuan saya?” tanya Posy, sekali lagi. “Letakkan d
“Terima kasih sudah mengantarku.” Pelayan perempuan itu menunduk hormat dan melihat kepergian Ozias beberapa saat, sebelum meninggalkan tempat. Dari kejauhan Ozias bisa melihat lelaki berambut coklat dengan mata biru melihatnya dengan tatapan tertegun. “Ozias?” gumam lelaki itu, senang melihat kawannya. Berbeda dengan lawan bicaranya yang terus menatap dingin—seakan melihat musuh. Melihat itu, Theo paham jika sekarang bukan saatnya berbincang ramah dengan seorang teman. “Aku datang untuk bertemu Kakakku. Dia di dalam, kan?” tanya Ozias, dingin. Theo mengangguk. “Silakan masuk, Tuan. Saya akan mengantar Anda." Ozias hanya mengangguk dan mengikuti langkah Theo yang membawanya masuk ke dalam menara. Mereka menaiki tangga yang akan membawa keduanya ke puncak menara. “Bagaimana keadaan Kakakku?” Nada bicara Ozias melunak. Kini dia tak perlu memasang kewaspadaan tinggi karena hanya ada dirinya dan T
BRAK! Arsenio menghantam meja. Beberapa puing kayu kokoh itu rontok ke atas karpet berbulu. Martell menatap takut. Dia tak pernah melihat Arsenio semarah ini selama satu tahun terakhir. Melihatnya kembali temperamental, tampaknya Nyonya Duchess yang baru selalu berhasil mengendalikan Duke mereka yang pandai mengontrol emosi. “Bisa-bisanya wanita itu membuatku kesal.” Arsenio mengepalkan tangannya semakin kencang. Dua urat menonjol di bawah dagu Arsenio membuat Martell menelan ludahnya susah—dia sangat tegang sekarang. “Yang Mulia, Tuan Frederick akan pergi ke desa untuk mencari informasi kemunculan pada monster.” Martell berusaha mengalihkan topik. Dia berharap Arsenio melupakan masalah Sirena dan fokus pada pekerjaan saja. Setidaknya itu lebih baik dari pada mengingat kenangan buruk yang membuat Tuannya menjadi emosional. “Aku sudah tahu. Frederick menyampaikannya padaku kemarin. Lalu, bagaimana dengan
Posy terdiam beberapa saat. Melihat reaksi Vian dan Cavan yang cukup kebingungan, tampaknya hanya Theo yang bisa melihat sosok menyeramkan itu. “Anda, bisa melihatnya?” tanya Posy, terlihat cukup terusik. Lelaki bermata biru laut itu menganggukkan kepala. “Dari awal. Dalam wujud yang nyata.” Dia melirik ke arah sudut ruangan. “Bahkan sekarang, dia ada di sini—mengawasi kita.” Posy menatap ke beberapa sudut, termasuk sudut yang di lihat oleh Theo dengan tatapan waspada. Sayangnya, dia tidak bisa melihat wanita itu kecuali wanita itu menampakkan diri di hadapannya. “Besok saya akan mengaturkan pertemuan Anda dengan Nyonya.” Posy menatap waspada. “Yang bisa melihat wanita itu secara berkala hanya Nyonya ... jadi, bisakah Anda membicarakan hal ini kembali bersama dengan Nyonya besok?” Theo mengangguk. “Baiklah.” “Nyonya.” Posy membuka gorden dan membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamar. Na
Sirena berjalan masuk ke dalam menara tempatnya tinggal dengan langkah sempoyongan. Seperti yang dia duga, Arsenio telah menempatkan banyak pengawal untuk mengawasinya. Bahkan mereka bukanlah pengawal biasa. Karena baik Sirena atau Posy dapat merasakan kekuatan besar di dalam tiga lelaki berpakaian serba hitam itu. “Yang Mulia, Anda kembali?” Vian bergegas mendekat. Sayangnya, langkah Vian harus berhenti saat Posy menghalanginya dari Sirena. “Apa yang Anda lakukan di sini, Tuan Vian?” Posy menatap tajam. Dia terlihat waspada. “Apa Anda di tugaskan menjaga Nyonya Duchess?” Vian menatap dalam diam beberapa saat. Lalu dia tersenyum setelah mengetahui pikiran lawannya. “Ya. Tuan Duke memerintahkan kami—“ “Posy. Sudahlah. Jangan berdebat.” Sirena memijat pelipisnya. “Pergilah ... kamu ingin bertemu dengan Lucas, kan?” Posy menatap ragu. Meninggalkan Tuannya sendirian dalam pengawasan tiga serigala cukup membu
Sirena menatap kaget tumpukan mayat di depan mereka. Begitu pula dengan Posy yang memperlihatkan reaksi yang sama. “Para pelayan mengatakan, bahwa di desa ini terkena wabah hitam. Tiap malam satu keluarga akan mati. Mayat mereka berlumuran darah walau tidak di temukan luka di tubuh mereka,” jelas Posy. Wanita berambut coklat tua dengan mata hijau itu menatap nanar tumpukan mayat manusia dengan bau yang menyengat. “Sungguh aneh,” gumamnya, tidak habis pikir. Suara langkah kaku seseorang membuat kedua wanita muda itu menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat lelaki bertudung hitam ada di dekat tumpukan orang-orang, seakan bersiap membakar mayat-mayat itu dengan obor di tangannya. “Ternyata ada penonton yang datang.” Lelaki berjubah hitam itu menoleh. Dia memperlihatkan wajah tampannya dengan berani. Bahkan tersenyum lembut pada Posy dan Sirena. Posy maju selangkah, menghalangi pandangan lelaki itu dari