‘Jika kamu memberitahunya, kamu akan mati.’
Sirena membulatkan mata. Seseorang baru saja berbicara dengannya. Tapi wujud dari suara wanita yang dia dengar tidak terlihat di mana pun.“Anda mendengarnya?”Sirena menggenggam tangan Arsenio. Dia terlihat waspada dan ketakutan.“Apa yang kamu dengar?”Arsenio menatap sekeliling. Dia ikut waspada melihat gelagat Sirena yang meyakinkan.“Itu, suara wani—“ Sirena diam. Dia tidak lagi berbicara. Dadanya terasa sakit seperti ada sesuatu yang menekan dan mengikatnya sampai kesulitan bernapas.“Nona? Ada apa?”Arsenio menatap Sirena yang kesakitan. Dia menoleh ke arah pintu dengan wajah geram. Sudah beberapa saat yang lalu pelayan Nona Sirena keluar untuk memanggil Dokter, namun kenapa dia tidak kunjung kembali?“Saya akan panggilkan Dokter.”Arsenio melepaskan genggaman Sirena dari tangannya. Dia segera berlari keluar untuk mencari dokter.“Yang Mulia, kenapa Anda berlari di lorong dengan panik? Ada yang bisa saya bantu??”Ozias adalah seorang anak lelaki berusia lima belas tahun yang menyandang sebagai anak ketiga dari keluarga Sharon. Dia adalah adik lelaki Sirena.“Dokter. Aku akan mencari Dokter dan kau—pergilah ke kamar Kakakmu dan jaga dia.”Ozias tercekat. Dia segera berlari ke kamar Sirena untuk memastikan keadaannya.Setelah melihat Duke Arsenio yang terkenal sebagai orang yang tenang itu terlihat sangat panik, Ozias yakin Kakak perempuannya tidak dalam kondisi baik.“Kakak!”Ozias berlari ke dalam ruangan. Dia melihat Sirena terjatuh di bawah ranjang sambil terus menangis. Wanita itu mengeluhkan sakit di dadanya.“Sakit.”Sirena meremas kuat dadanya yang berdenyut cepat. Kuku panjang yang dimiliki wanita itu meninggalkan goresan merah dikulit putihnya.“Kakak, kamu tidak boleh mencengkeram dadamu terlalu kuat!”Ozias menahan tangan Kakaknya. Namun wanita itu terus memberontak seakan dia kesulitan bernapas.“Dokter!! Di mana Dokternya.”Ozias berteriak sangat keras, membuat Dokter dan Arsenio yang berada di tengah lorong berlari semakin cepat ke kamar Sirena setelah mendengar suaranya.“Saya datang Tuan Muda—““Cepat! Kenapa kamu lama sekali!!” bentaknya panik.Dokter menyuntikkan sebuah obat tidur untuk menenangkan Sirena lebih dulu. Beberapa saat setelah obat itu masuk, wanita itu terlelap dengan tenang. Baru setelah itu dokter menyuntikkan obat pereda sakit dan lainnya.Tiga orang lelaki yang ada di dalam ruangan menghela napas lega. Mereka bersyukur karena Sirena tidak mengalami hal yang lebih buruk.“Apa yang terjadi kepadanya?” Arsenio mendekati tepi ranjang. Dia melihat Sirena yang berkeringat dingin dan menangis dalam tidurnya. “Dia terlihat tidak baik walau kamu sudah menyuntikkan obatnya. Apa yang terjadi pada tubuhnya?”Arsenio menatap bagian dada Sirena. Terdapat bercak ungu pekat di sepanjang urat wanita itu.Pemandangan itu cukup mengerikan karena bekas kehitaman tersebut mulai merambat ke bagian leher.“Apa ini?” Arsenio terdiam cukup lama setelahnya.Ozias pun tampak diam setelah dia melihat hal yang sama dengan Arsenio dan Dokter.Dia tahu apa yang terjadi. Huruf kuno yang hanya bisa di baca oleh para penyihir. Bercak kehitaman akibat kutukan seusai melakukan ritual sihir hitam. Wajah pucat yang terlihat menahan sakit.“Tuan Muda.” Dokter memanggil. “Apakah Anda tahu apa yang di lakukan Nona Sirena akhir-akhir ini?”Tampaknya lelaki berjas putih itu telah menyadari kejanggalan di tubuh Sirena.Ozias menelan ludah dengan susah. Dia telah melihat Kakaknya, Sirena, melakukan ritual sihir hitam di dalam ruang rahasia yang tersembunyi di dalam kamarnya.“Sa-saya tidak tahu.”Kegugupan Ozias membuat Arsenio dan Dokter merasa curiga. Wajah anak lelaki yang pucat itu menambah keyakinan keduanya jika ada sesuatu yang berusaha dia sembunyikan.“Jika kamu tidak mengatakannya, kita tidak akan bisa mencari jalan keluar dari masalah ini.” Salah satu otot di bawah rahang Arsenio mengeras, seolah dia sedang menahan ketidaksabarannya. “Jadi katakan apa yang berusaha kamu sembunyikan dari kami. Pikirkan nyawa Kakakmu! Bukankah dia prioritas kita sekarang?”Ozias terdiam, sadar jika dirinya telah bertindak egois.“Maaf, Tuan Duke.” Lelaki itu menatap ke arah lemari besar yang ada di sisi kanan dari posisi ranjang Sirena. “Tapi, bisakah kalian merahasiakannya dari anggota keluarga Sharon? Saya tidak ingin memancing keributan.”Dokter dan Duke Arsenio mengangguk dengan tegas.Ozias mengembuskan napas lembut dan bersiap. Dia menutup pintu kamar Sirena dengan rapat dan menguncinya dari dalam.“Ikut saya.”Arsenio dan Dokter itu berjalan meninggalkan ranjang Sirena. Mereka mengikuti langkah Ozias memasuki sebuah lemari pakaian besar milik Kakaknya.Mereka menembus sebuah dinding sihir pemisah ruang, ketiga orang itu sampai di dalam sebuah ruangan lusuh dengan banyak gambar pola sihir di dinding dan lantainya.“Tempat apa ini?” gumam Dokter terlihat kaget.Arsenio diam, dia menelusuri ruangan itu dengan saksama dan meyakini satu hal. Sirena Egberta adalah seorang penyihir.Tapi kenapa tidak ada yang mengetahui hal ini? Bahkan Putra Mahkota Firas seperti tidak mengetahuinya juga.“Ini adalah benteng.”Dokter dan Arsenio menoleh pada Ozias. Anak lelaki itu terlihat sedih melihat gambar pola sihir dengan rona darah pekat yang hampir menghitam karena usia gambarnya yang telah cukup tua.“Kakak menggunakan ruangan ini untuk memulihkan diri.”“Ruangan lusuh seperti ini? Lalu apa gunanya Dokter di rumah kalian?!” Arsenio tidak menyangka, bahwa ruangan bobrok seperti ini adalah harta bagi gadis angkuh seperti Sirena.“Ya. Ruangan lusuh ini.” Ozias menunduk sedikit dan mengulas senyum masam melihat pola besar yang dia injak. “Tempat yang tidak di tahu oleh siapa pun, bahkan kepala keluarga Sharon ini adalah tempat persembunyiannya.”“Lalu apa hubungannya dengan penyakit Kakakmu? Dia terlihat sekarat karena memakai sihir hitam.”Dokter mengangguk. “Benar Tuan Muda. Seandainya Nona Sirena tidak menggunakan sihir dengan skala besar, dia tidak akan terluka parah seperti sekarang. Hampir semua organ dalamnya terluka. Dan melihat luka di tubuhnya, tampaknya Nona Sirena sudah menggunakan sihir hitam dengan skala besar beberapa kali.”Ozias kehilangan senyumannya. Tebakan Dokter itu benar. Sirena memang sudah menggunakan banyak sihir tingkat tinggi karena dirinya.“Semua ini salah saya,” ucap anak lelaki itu dengan suara lirih.“Apa yang kamu katakan? Nona Sirena bukan orang yang akan mengorbankan diri demi keluarganya. Dia hanya gadis puber yang egois!” hardik Duke Arsenio tajam.“Nyatanya Nona Sirena telah menyelamatkan hidup saya, Tuan Duke. Bahkan berulang kali.”Melihat kedua Tuan Muda yang saling melempar tatapan tajam, Dokter itu terlihat sedikit tertekan.Jika penjelasan Ozias memang benar, berarti orang yang bisa menyembuhkan Sirena hanya pemimpin menara sihir. Tapi kabarnya orang itu telah lama menghilang setelah kematian Putrinya.“Semuanya menjadi runyam.” Dokter menghela napas kasar.Dia memandang ke arah pintu keluar saat seorang wanita berdiri di sana sambil bersusah payah menopang diri.“Apa yang kalian lakukan di ruanganku?!” Sirena terlihat marah.Ketiga lelaki itu saling mengawasi satu sama lain. Mereka mulai waspada saat melihat tatapan mata Sirena yang terlihat menakutkan.“Nona, kami hanya memastikan—““Tidak ada yang mengizinkan kalian masuk ke sini. KELUAR!!”Sirena berteriak marah. Ketiga orang lelaki itu terpaksa angkat kaki dari dalam ruangan tersebut.“Maafkan—““Pergi.”Sirena memotong perkataan Ozias. Di dalam tatapan matanya mengandung kebencian yang kuat.“Jangan pernah masuk ke dalam kamarku saat aku tidak mengizinkan kalian.”“Nona, saya belum selesai memeriksa—““Kau hanya menyelidikku, Dokter!” Sirena kembali menyela perkataan lawan bicaranya. “Jadi, jangan membuat alasan dan cepat keluar dari sini!” ucapnya dengan suara tegas.“Nyonya Sirena. Bolehkah saya masuk?” Posy berdiri di depan kamar Sirena dengan membawa nampan berisikan sarapan untuk Nyonyanya. Sementara wanita muda yang berada di dalam kamarnya hanya menunduk dalam tanpa bisa menegakkan punggung dan lehernya dengan baik. Hantu Sirena merasa cemas. Dia tak lagi bisa mengendalikan dirinya. Padahal ini adalah tubuhnya. Namun dia seperti berada di dalam tubuh orang asing yang tak mau menuruti perintahnya. “Tubuh sialan! Milik siapa kau sebenarnya? Aku adalah pemilik aslimu.” Sirena menghardik dalam hati. “Cih, sekarang kau lebih nyaman di isi jiwa wanita kurang ajar itu dari pada diriku? Yang benar saja.” “Nyonya?” Posy mengerutkan kening samar. Dia mendengar seseorang bergumam sendiri di dalam kamar. Dia yakin itu suara Tuannya. Namun jika benar begitu, kenapa Sirena tak menjawab panggilannya? “Apakah Anda membutuhkan bantuan saya?” tanya Posy, sekali lagi. “Letakkan d
“Terima kasih sudah mengantarku.” Pelayan perempuan itu menunduk hormat dan melihat kepergian Ozias beberapa saat, sebelum meninggalkan tempat. Dari kejauhan Ozias bisa melihat lelaki berambut coklat dengan mata biru melihatnya dengan tatapan tertegun. “Ozias?” gumam lelaki itu, senang melihat kawannya. Berbeda dengan lawan bicaranya yang terus menatap dingin—seakan melihat musuh. Melihat itu, Theo paham jika sekarang bukan saatnya berbincang ramah dengan seorang teman. “Aku datang untuk bertemu Kakakku. Dia di dalam, kan?” tanya Ozias, dingin. Theo mengangguk. “Silakan masuk, Tuan. Saya akan mengantar Anda." Ozias hanya mengangguk dan mengikuti langkah Theo yang membawanya masuk ke dalam menara. Mereka menaiki tangga yang akan membawa keduanya ke puncak menara. “Bagaimana keadaan Kakakku?” Nada bicara Ozias melunak. Kini dia tak perlu memasang kewaspadaan tinggi karena hanya ada dirinya dan T
BRAK! Arsenio menghantam meja. Beberapa puing kayu kokoh itu rontok ke atas karpet berbulu. Martell menatap takut. Dia tak pernah melihat Arsenio semarah ini selama satu tahun terakhir. Melihatnya kembali temperamental, tampaknya Nyonya Duchess yang baru selalu berhasil mengendalikan Duke mereka yang pandai mengontrol emosi. “Bisa-bisanya wanita itu membuatku kesal.” Arsenio mengepalkan tangannya semakin kencang. Dua urat menonjol di bawah dagu Arsenio membuat Martell menelan ludahnya susah—dia sangat tegang sekarang. “Yang Mulia, Tuan Frederick akan pergi ke desa untuk mencari informasi kemunculan pada monster.” Martell berusaha mengalihkan topik. Dia berharap Arsenio melupakan masalah Sirena dan fokus pada pekerjaan saja. Setidaknya itu lebih baik dari pada mengingat kenangan buruk yang membuat Tuannya menjadi emosional. “Aku sudah tahu. Frederick menyampaikannya padaku kemarin. Lalu, bagaimana dengan
Posy terdiam beberapa saat. Melihat reaksi Vian dan Cavan yang cukup kebingungan, tampaknya hanya Theo yang bisa melihat sosok menyeramkan itu. “Anda, bisa melihatnya?” tanya Posy, terlihat cukup terusik. Lelaki bermata biru laut itu menganggukkan kepala. “Dari awal. Dalam wujud yang nyata.” Dia melirik ke arah sudut ruangan. “Bahkan sekarang, dia ada di sini—mengawasi kita.” Posy menatap ke beberapa sudut, termasuk sudut yang di lihat oleh Theo dengan tatapan waspada. Sayangnya, dia tidak bisa melihat wanita itu kecuali wanita itu menampakkan diri di hadapannya. “Besok saya akan mengaturkan pertemuan Anda dengan Nyonya.” Posy menatap waspada. “Yang bisa melihat wanita itu secara berkala hanya Nyonya ... jadi, bisakah Anda membicarakan hal ini kembali bersama dengan Nyonya besok?” Theo mengangguk. “Baiklah.” “Nyonya.” Posy membuka gorden dan membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamar. Na
Sirena berjalan masuk ke dalam menara tempatnya tinggal dengan langkah sempoyongan. Seperti yang dia duga, Arsenio telah menempatkan banyak pengawal untuk mengawasinya. Bahkan mereka bukanlah pengawal biasa. Karena baik Sirena atau Posy dapat merasakan kekuatan besar di dalam tiga lelaki berpakaian serba hitam itu. “Yang Mulia, Anda kembali?” Vian bergegas mendekat. Sayangnya, langkah Vian harus berhenti saat Posy menghalanginya dari Sirena. “Apa yang Anda lakukan di sini, Tuan Vian?” Posy menatap tajam. Dia terlihat waspada. “Apa Anda di tugaskan menjaga Nyonya Duchess?” Vian menatap dalam diam beberapa saat. Lalu dia tersenyum setelah mengetahui pikiran lawannya. “Ya. Tuan Duke memerintahkan kami—“ “Posy. Sudahlah. Jangan berdebat.” Sirena memijat pelipisnya. “Pergilah ... kamu ingin bertemu dengan Lucas, kan?” Posy menatap ragu. Meninggalkan Tuannya sendirian dalam pengawasan tiga serigala cukup membu
Sirena menatap kaget tumpukan mayat di depan mereka. Begitu pula dengan Posy yang memperlihatkan reaksi yang sama. “Para pelayan mengatakan, bahwa di desa ini terkena wabah hitam. Tiap malam satu keluarga akan mati. Mayat mereka berlumuran darah walau tidak di temukan luka di tubuh mereka,” jelas Posy. Wanita berambut coklat tua dengan mata hijau itu menatap nanar tumpukan mayat manusia dengan bau yang menyengat. “Sungguh aneh,” gumamnya, tidak habis pikir. Suara langkah kaku seseorang membuat kedua wanita muda itu menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat lelaki bertudung hitam ada di dekat tumpukan orang-orang, seakan bersiap membakar mayat-mayat itu dengan obor di tangannya. “Ternyata ada penonton yang datang.” Lelaki berjubah hitam itu menoleh. Dia memperlihatkan wajah tampannya dengan berani. Bahkan tersenyum lembut pada Posy dan Sirena. Posy maju selangkah, menghalangi pandangan lelaki itu dari