LOGIN"Jaeden, Nona menghilang. Dia tidak ada di manapun."
Jaeden segera mematikan panggilan telepon dari Nancy, pagi itu juga dengan langit yang masih gelap Jaeden segera memerintahkan anak buahnya untuk kembali ke mansion. Jaeden baru saja melancarkan misinya untuk menghadap ketua. Namun, rencananya itu harus tertunda karena dia harus segera menemukan Keola.
Sesampainya di mansion, semua pekerja di mansion itu berbaris rapi menunggu kedatangan Jaeden. Mereka semua menundukka kepala, lebih tepatnya mereka takut karena pastinya Jaeden akan mengamuk. Menjaga satu wanita saja mereka tidak bisa, mereka tidak akan mendapat ampunan dari Jaeden.
"Apa yang terjadi?" Jaeden menghampiri Nancy yang kini wajahnya tengah was-was. Dia sangat mengkhawatirkan Keola.
"Aku menemaninya tidur. Namun, saat aku membuka mata Nona sudah tidak ada di sampingku."
"Bagaimana bisa kalian membiarkannya kabur?" Suara Jaeden melengking tinggi dan penuh amarah. Tidak ada yang berani menatap wajahnya saat ini.
"Maafkan kami, Tuan."
"Arrghh dasar tidak becus."
Nancy menggenggam sebelah tangan Jaeden. Dia merasa bersalah karena tidak bisa menjaga Keola.
"Maafkan aku, Jae." Jaeden melunak saat melihat wajah Nancy penuh penyesalan. Jaeden hanya mengusap pundak wanita paruh baya itu, Jaeden tidak bisa marah pada Nancy.
"Cari wanita itu sampai ketemu, kalau tidak kepala kalian yang akan menjadi balasannya."
Semuanya kian gemetar, mereka tidak ingin menjadi mangsa kemarahan Jaeden. Tanpa ragu lagi para pekerja di mansion itu pun segera berlari untuk menemukan Keola.
Jaeden masuk ke ruang kerjanya, dia membanting apa saja yang ada di depannya saat ini. Dhruv masih setia menemani, tanpa suara, tanpa kata. Tidak ada yang bisa menahan atau menghibur Jaeden disaat marah.
Ponsel di dalam saku jas Dhruv bergetar, dia mendapat telepon dari salah satu anak buah Jaeden yang saat ini sibuk mencari keberadaan Keola. Pasti ini kabar tentang keberadaan wanita itu.
"Tuan, ini dari tim A." Dhruv menyerahkan ponselnya.
"Bagaimana?" Tanpa basa-basi, Jaeden hanya menginginkan hasil.
["Tuan, dari kamera CCTV terlihat Nona Keola menaiki taksi. Dan...emm dia menuju ke perumahan Greenhouse."]
Jaeden tidak membalasnya, sudah pasti informasi itu valid. Jaeden memang memiliki tim cyber yang handal, bahkan hanya membobol CCTV yang ada di kota ini pun sangat mudah untuk diakses. Jaeden tidak pernah salah dalam memilih anak buah.
Jaeden segera bangkit, dia dan beberapa anak buahnya menuju ke tempat yang disebutkan oleh tim A. Meskipun wajah Jaeden terlihat tenang, tetapi pikirannya kalut. Jaeden sedikit khawatir rencananya akan diketahui oleh ketua atau musuhnya. Karena itu Jaeden harus menangkap Keola secepat mungkin.
"Nona Keola singgah di rumah temannya. Ini data pribadi teman Nona Keola." Dhruv menyerahkan tablet. Baru beberapa menit Jaeden sudah menerima informasi yang sangat lengkap. Sangat mudah, Keola salah jika berpikir Jaeden tidak akan bisa menemukan keberadaannya.
"Dia ingin bermain-main rupanya." Jaeden tersenyum jahat, gadis kecil itu memiliki mental yang sangat berani.
Jaeden keluar dari mobil dengan gagahnya. Raut wajahnya mengisyaratkan bahwa dia akan menghabisi seseorang sebentar lagi.
"Kepung!" perintahnya. Jaeden melempar jas hitamnya ke sembarang arah, dasi yang melingkar di leharnya seakan mencekik, dan dia pun membuangnya. Dhruv memungut barang-barang milik Jaeden, dan menyusul setelahnya memasuki rumah milik teman Keola.
Saat memasuki rumah itu, Jaeden langsung berhadapan dengan wanita berambut pendek sebahu. Wajahnya panik saat melihat Jaeden.
"Key lari!!!"
Jaeden segera berlari ke kamar yang pintunya telah terbuka setengah. DIa yakin bahwa Keola ada di dalam sana, dan benar saja. Wanita itu bersiap untuk kabur. Namun, usahanya akan sia-sia karena Jaeden telah memerintahkan anak buahnya untuk mengepung seluruh area rumah ini.
***
"Lepaskan!"
"Pria tidak punya hati, pria jahat."
"Jangan sentuh aku, pria gila."
"Pembunuh."
Jaeden menggendong tubuh Keola layaknya karung beras. Keola menghantam keras punggung Jaeden, tetapi pria itu tak mau melepaskannya. Setelah Jaeden menyayat leher sahabatnya, pria itu menggeret Keola dan membawanya ke mansion.
Keola belum sempat menyelamatkan Galena, dia tidak tahu apa yang akan dilakukan anak buah Jaeden kepada sahabatnya itu. Keola sangat khawatir, Jaeden tidak akan membiarkannya begitu saja. Kemungkinan Jaeden akan membuang jasad Galena dan menghapus jejak seolah tidak terjadi apapun.
Tidak, Galena tidak boleh mati. Keola harus menyelamatkannya, dia akan membalaskan perbuatan kejam Jaeden itu.
"Kau tidak akan bisa keluar dari kamar ini," ucap Jaeden sembari mengikat kedua tangan Keola menggunakan sabuk yang dikenakan Jaeden, lalu mengikat kedua kakinya menggunakan dasinya.
"Lepaskan!"
"Berani-beraninya kau kabur dari mansion ini. Kau tidak tahu siapa aku rupanya." Jaeden begitu sinis, dia mencengkeram rahang Keola sampai rasanya ingin remuk. Keola bertahan, dia tidak ingin terlihat takut dan menyedihkan.
"Yang aku tahu kau adalah pria kejam dan pembunuh. Cuih...." Dengan kesadaran penuh Keola menyemburkan ludahnya ke wajah Jaeden. Hal itu membuat Jaeden semakin murka, dia mendorong tubuh Keola hingga menatap headboard.
Jaeden berteriak kesal, tampak dari gerak-geriknya bahwa saat ini pria itu sedang menahan amarahnya yang menggebu-gebu. Jika dengan orang lain sudah pasti Jaeden akan membunuh siapapun yang berani padanya. Tanpa ampun Jaeden akan mencabik-cabik hingga tak bersisa.
Namun, untuk Keola dia harus bisa menahan diri. Jaeden tidak akan membunuhnya, Jaeden akan membuat Keola untuk bersanding dengannya nanti. Dia akan menjadikan Keola sebagai istrinya, tidak terkecuali rencananya itu harus segera terlaksana.
"Sial. Wanita menyebalkan." Suara Jaeden membuat telinga Keola berdenging.
"Lepaskan aku! Aku ingin menyelamatkan Galena, biarkan aku pergi."
"Temanmu itu sudah mati."
"Tidak akan aku biarkan. Aku bisa menyelamatkannya," ujar Keola dengan kedua pipinya yang basah. Dia tidak sanggup mengingat kejadian saat Jaeden benar-benar menggores leher Galena menggunakan pisau hingga darahnya mencuat kemana-mana.
"Sudah terlambat, anak buahku sudah mengurusnya."
"Jangan sakiti Galena, jangan bunuh dia. Jangan...."
Keola meraung-raung. Kematian Galena itu karena dirinya. Keola menyalahkan dirinya sendiri, dia tidak tahu bahwa Jaeden bisa menemukannya. Andai saja Keola tidak datang ke rumah Galena untuk meminta perlindungan, Jaeden tidak akan sampai ke rumah sahabatnya itu dan membunuh Galena secara sadis.
"Maafkan aku, Gal." Tangis Keola pecah. Benar ucapan Jaeden, meskipun Keola berlari untuk menyelamatkan Galena pasti sudah sangat terlambat. Entah di mana Jaeden akan membuang jasad Galena, membayangkannya saja membuat dendam di hati Keola kian membesar.
"Akan aku balas perbuatanmu. Kau sudah membunuh sahabatku." Jaeden hanya tertawa sinis, Keola merasa diremehkan. "Aku akan membunuhmu," lanjut Keola.
"Itu balasan jika kau tidak menuruti ucapanku. Jika kau berani untuk pergi lagi, entah apa yang akan aku lakukan pada keluargamu," tukas Jaeden berusaha membuat Keola takut. Namun, Keola tidak ada rasa gentar di wajahnya.
"Aku akan membunuhmu." Itu janji Keola, dia akan membalaskan rasa sakit sahabatnya.
"Itu bukan luka tusuk biasa, tetapi ada racun di tubuh Jaeden. Sepertinya pisau yang menusuk perutnya dibaluri racun," terang Clara menjelaskan penyebab ambruknya Jaeden. "Untung saja tidak mematikan, tetapi namanya racun harus ditangani dengan baik. Aku sudah mengeluarkan racunnya, tolong awasi dengan baik. Jika terjadi sesuatu segera hubungi aku, untuk sekarang dia sudah stabil. Aku harap dia akan baik-baik saja seterusnya.""Terimakasih Dokter Clara," ucap Keola sembari membalas genggaman tangan Clara. "Keola panggil saja aku Clara, kita berteman kan." Keola tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Keola benar-benar tidak bisa tidur, kedua matanya terus mengawasi Jaeden. Rasanya dia bertanggung jawab atas keselamatan suaminya saat ini. Seperti kata Clara harus ada yang mengawasi Jaeden jika tiba-tiba terjadi hal buruk pada pria itu. Keola bersedia mengambil peran untuk menjaga Jaeden. "Nyonya." Nancy muncul dari balik pintu kamar. "Ini teh jasmine untukmu." Nancy menaruh secangki
Citttt....Suara decitan dari ban mobil terdengar nyaring. Jaeden menghentikan mobilnya seketika saat mobilnya dihadang oleh kendaraan lain. Jaeden memukul kemudi, berani-beraninya ada yang menghalangi jalannya.Jaeden tidak langsung keluar, dia menunggu lawannya untuk keluar terlebih dahulu dari mobilnya. Benar saja sesuai dugaan Jaeden bahwa Noah sang pemimpin wilayah barat muncul di hadapannya. Benar-benar mencari mati, suasana hati Jaeden saat ini sedang tidak baik, dia akan membuat Noah menyesal dan akan melampiaskan amarahnya kepada rivalnya itu. "Apa maumu?" Jaeden berterus terang, sebenarnya dia malas meladeni pria sombong di depannya ini. Noah meludah ke samping kiri, seolah jijik melihat wajah Jaeden. Hal itu sudah biasa, Noah selalu iri pada Jaeden karena selalu mendapat sanjungan dari ketua aliansi yang tak lain Gibson ayah angkat mereka berdua. Ya, baik Jaeden maupun Noah sama-sama anak pungut yang menumpang hidup di bawah ketiak Gibson. Namun, Gibson lebih menyayangi
"Akhirnya kau datang juga." Pria berkacamata itu membolak-balik kertas di hadapannya, tatapannya sangat serius, auranya benar-benar membuat siapapun yang ada didekatnya gemetar takjub. Pria yang umurnya sudah tak lagi muda, tetapi memiliki tubuh yang bugar dan wajahnya yang masih terlihat seperti umur empat puluh tahunan. Padahal dia sudah berumur enam puluh tujuh tahun ini. Jaeden memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, gemetar seperti tikus yang terkepung oleh banyaknya kucing. Satu-satunya manusia yang Jaeden takuti. Gibson Harbert Faxon, pemimpin The Shadow yang sangat disegani. Manusia pertama yang memungut Jaeden setelah dibuang oleh kedua orang tuanya dan menjadikannya manusia seperti sekarang ini. Bengis, tidak punya hati, dan menakutkan. Jaeden menganggapnya seorang ayah, dan status itu harus ia bayar sangat mahal. Awalnya memang seperti itu sebelum Jaeden sadar bahwa Gibson mengumpulkan anak-anak terlantar untuk dijadikan budaknya, agar tunduk dan patuh melaksanakan tug
"Apa kau sudah menemukan pelakunya?" tanya Jaeden dengan wajah serius, saat ini dia sedang membaca sebuah dokumen yang baru saja Dhruv berikan padanya. "Benar dugaan saya, Tuan. Setelah ditelusuri penyebab kecelakaan itu dari pimpinan wilayah barat. Tapi, dari mana mereka tahu rencana kita?" Dhruv bertanya-tanya, pasalnya tidak ada yang tahu rencana Jaeden untuk menakut-nakuti Keola dengan video kecelakaan kedua orang tuanya. Kejadian itu begitu cepat mengalir, keesokannya berita kecelakaan itu beredar luas. Sehingga membuat Keola semakin marah pada Jaeden. Tentunya James Rosendale juga akan mengira kecelakaan itu perbuatannya, hal ini akan menciptakan perang yang besar. Jaeden menutup keras dokumen tersebut. Amarahnya memuncak, perseteruan wilayah timur dan barat semakin kentara. Noah Addison benar-benar ingin menjatuhkan nama Jaeden di depan ketua aliansi. Itu semua karena perebutan kekuasaan, Noah ingin merebut wilayah Jaeden. "Mungkinkah ada seorang pengkhianat di organisasi k
"Tidak usah banyak bicara. Cepat lakukan tugasmu."Keola dan dokter cantik yang dipanggil Clara itu tampak kesal dengan ucapan Jaeden. Keola menatap sinis pria sombong di sampingnya ini, sedangkan Clara hanya bisa memutar bola matanya karena sudah terbiasa menghadapi sikap Jaeden yang selalu menyebalkan. "Apa yang sebenarnya telah terjadi, Tuan?" tanya Dhruv khawatir. Jaeden malah balik menatap Keola karena lukanya ini atas perbuatan istrinya itu. Keola hanya mengedikkan kedua bahunya, juga bukan sepenuhnya salah Keola. Mereka semua duduk pada alas tikar tempat Keola dan Jaeden berpiknik. Clara melakukan tugasnya dengan sangat lihat, memang sudah profesinya sebagai dokter sehingga Keola tidak heran lagi kedua tangan cantik itu sangat cepat membalut perban. "Lukanya lumayan dalam, kalau bisa jangan sampai terkena air. Dan kalau bisa kau tidak usah mandi biar badanmu bau." Clara menekan setiap katanya, dia selalu kesal jika berhadapan dengan Jaeden. Clara dan Jaeden sudah saling men
"Kau...tidur?" Keola menatap lamat-lamat wajah tenang, tetapi aslinya mematikan. Keola teringat beberapa waktu lalu, dia harus terjebak selamanya hidup dengan pria yang sangat ia benci. Pria di sampingnya ini yang telah membuat keluarganya dan kerabatnya terluka. Keola ingin membalaskan dendam atas rasa sakit kedua orang tuanya, sahabatnya dan rasa sakitnya yang harus mendekam di balik tembok kokoh mansion ini. Baru beberapa hari, tetapi rasanya seperti bertahun-tahun mendekam di neraka. "Aku tidak akan membiarkan kamu menang atas rasa perihku," lirih Keola penuh dendam. Keola mengambil pisau buah yang disiapkan oleh Nancy. Ujung pisau itu berkilau, ketajamannya bisa Keola rasakan perih yang tak terkira. Keola menatap ke depan, dia menghembuskan napas agar bisa bersikap tenang. "Huh...." Baru saja menolehkan badannya ke arah samping, Jaeden sudah duduk dan menatapnya sengit. Keola terkejut, sungguh...sebelah tangannya seketika dicengkeram kuat oleh Jaeden. Apel merah yang ada di







