Share

Bab 3 | Penolakan Sophia Aland

“Tapi, Tuan Jackson ... hanya darah gadis itu yang cocok.” Dengan sorot mata sendu, Simon mencicit ragu untuk mengingatkan kembali pada tuan mudanya.

“Dia sudah memilih jalan mati lebih cepat.”

“Kirim data hutang, pengakusisian perusahaan, dan seluruh aset keluarga Aland. Percepat proses dalam satu malam.” Sembari memberi perintah, ekor mata dingin Jackson menangkap hamburan beberapa kertas berkas kontrak pernikahan antara dirinya dan Sophia.

‘Sejak kapan ada orang yang berani berteriak di depan wajahku? Brengsek!’ umpat tak terima Jackson dalam hati. Gadis itu sudah mulai menyulut api kemurkaan seorang Jackson Hamilton. Sungguh sangat bernyali besar, pikirnya geram.

“Kau sangat berani, Sophia Aland ....”

***

Sementara itu, akhirnya Sophia mampu keluar dari klub malam menakutkan tersebut dengan berlari tergopoh-gopoh, sampai menemukan sebuah taksi.

Kepala belakang dilempar kasar di sandaran kursi penumpang, sembari memejamkan mata basahnya.

Lagi, dan lagi, bulir bening mencuri keluar dari sudut mata, saat Sophia terpaksa mengingat kembali isi barisan kalimat di dalam kertas perjanjian pranikah yang dibuat Jackson.

‘Tuan Jackson hanya akan menikahiku sampai calon nyonya Hamilton yang asli sembuh total dari penyakit mematikan itu. Dia ingin aku terus-menerus menjadi boneka pendonor demi penyakit yang diderita wanitanya. Sungguh konyol

bahkan dia juga menginginkan ginjalku untuk wanita itu juga, dan ... seorang anak laki-laki dariku? Gila! Dasar kamu pria tidak waras, Tuan Jackson!’ jerit kencang Sophia dalam hati, sembari memukul kuat di kedua sisi kosong tempat duduknya.

Ini sama saja Jackson ingin membunuh Sophia untuk membangkitkan kematian wanita lain. Sebelum melalui penderitaan yang lebih berat dan pahit, Sophia harus segera kabur dari rumah keluarga Aland.

“Nona, kita sudah sampai.” Suara sopir taksi membuyarkan tangis lirih yang sesekali tak bisa dicegah keluar dari sela bibir rapat Sophia, “Nona, kenapa kau menangis? Apa kau dilecehkan oleh pria yang ada di dalam klub?”

Penampilan kacau dan wajah sembab menyedihkan Sophia cukup membuat orang lain berpikiran negatif, dan juga berbelas kasih.

Kerutan di dahi sang sopir taksi kian kentara saat dia menoleh ke belakang, membuat Sophia buru-buru mengusap kasar sepasang sisi pipi basahnya.

“A-aku ... tidak, aku tidak apa-apa. Maafkan aku sudah membuat Paman menunggu lama. Tapi, aku tidak punya uang untuk membayarmu sekarang.”

“Tapi, rumahmu itu sangat besar. Mana mungkin—”

“Ambillah ini.” Cincin satu-satunya yang melingkar di salah satu jari lentik Sophia ditarik, lantas diserahkan pada sang sopir taksi, “ini bukan cincin palsu. Aku hanya memiliki ini untuk membayar taksi Paman.”

“Astaga, tidak-tidak. Bawalah kembali, Nona.” Dengan wajah terkejut, lelaki itu mendorong kembali cincin dengan kerlip lembut di tengah-tengah lingkaran ke tangan gemetar Sophia.

Sang sopir kembali berkata pelan, “Nona, bisa membayar taksi saya saat takdir mempertemukan kita kembali. Dan ketika waktu itu tiba, saya harap Nona tidak menangis seperti ini lagi. Pulanglah, Nona. Semoga masalahmu cepat selesai.”

“Te-terima kasih, Paman ....”

Dan benar saja, Sophia kini telah keluar dari taksi dengan pandangan tertegun memandangi kepergian taksi itu hingga benar-benar menghilang dari pantulan mata.

“Benarkah kita akan bertemu lagi, paman? Apa paman sangat mempercayai takdir jahat itu?” lirih Sophia sembari meremas kuat kain gaun pendek depannya.

Melangkah kian memasuki ke kediaman keluarga Aland yang cukup luas dengan langkah penuh waspada. Namun, kelengangan atas penjagaan, membuat Sophia sedikit merasa aneh.

Akan tetapi, hal itu seketika ditepis jauh-jauh. Sophia kembali memfokuskan pada rencana awal untuk pergi sejauh mungkin dari keluarga ini agar ... ia juga tak lagi berhubungan dengan Jackson Hamilton.

Tak ingin kembali tertangkap oleh Belinda, gadis itu mencoba mencuri masuk dari pintu samping.

Namun, belum juga langkah Sophia kembali terayun, kepala Sophia dengan cepat menoleh ke sisi kiri. Ia melebarkan mata sempurna. Ketika suara bising orang-orang tengah berbicara, yang seketika membuat dadanya bergemuruh penuh emosi.

“Hancurkan kuburan Nyonya Pertama!”

“Hah?! Jangan. Mamaaa!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status