Happy Reading*****Angin malam mulai menyapu wajah, dingin terasa kian menusuk. Seluruh sendi-sendi terasa remuk, tetapi tak seremuk hatinya kini. Duduk termenung di dekat jendela dengan taburan bintang dan bulan yang hampir bulat sempurna. Cuaca malam ini memang cerah, meskipun perasaan sang gadis tidak seperti itu. Suara burung sesekali terdengar sebagai nyanyian di tengah kesunyian bersahutan dengan kendaraan yang masih beroperasi di jalanan. Hari semakin larut, tetapi masih banyak orang yang keluar rumah. Nafeeza menyeka air mata yang kembali jatuh. Ketika segumpal daging yang menjadi penentu dalam dirinya menjatuhkan pilihan, dia harus mengubur dalam-dalam harapannya untuk bersatu dengan orang yang dicintai. Halangan itu muncul dari orang yang paling disayang. Mimpi indah telah menerbangkan harapannya. Namun, gadis itu lupa bahwa semakin tinggi dia menerbangkan akan ada begitu banyak rintangan. Langit yang terlihat cerah terkadang tanpa kita sangka-sangka akan menghadirkan kil
Happy Reading*****"Ibumu mana, Bang?" tanya sang kepala keluarga. Semua keluarga inti Haidar sudah siap di teras rumah kecuali si bungsu Olivia. Malam ini, mereka akan berkunjung ke rumah Nafeeza memenuhi janji Ilyas pada Khoirul sebagai wali dari gadis yang akan dipinangnya."Abang lihat dulu di kamar, Yah. Tadi bilang sudah siap, tinggal memakai kerudung aja." Ilyas berjalan melihat Aliyah. Sampai di depan kamar ibunya, lelaki berbaju batik berwarna putih hitam itu mengetuk pintu. Sunyi tak ada balasan dari Aliyah yang diduga masih berada di dalam. Ilyas memberanikan diri membuka pintu, netranya menyapu seluruh isi kamar, tak ada siapa pun di sana.Sulung keluarga ini terus memanggil perempuan yang sangat disayanginya itu. Mengecek setiap sudut kamar dan juga kamar mandi, tetapi nihil. Aliyah tak ditemukan. Frustasi dengan keadaan, dia keluar kamar berniat melaporkan pada Haidar. Namun, beberapa langkah berjalan, dia melihat ibunya berdiri di ambang pintu dapur. Seperti anak ke
Happy Reading*****Berdua dengan Adik sahabatnya membuat Ridwan salah tingkah. Dia yang sudah sejak lama memendam rasa pada si gadis masih belum mampu untuk mengungkapkan. Alih-alih mengambil keputusan untuk melamar, melakukan pendekatan saja masih belum dia lakukan. Olivia tidak pernah melihat keberadaannya selama ini selain sebagai sahabat Ilyas. Lihat saja sekarang, meskipun tatapan Ridwan tak pernah lepas pada dirinya. Namun, si bungsu masih tetap asyik dengan buku yang dia baca, tak terusik sedikitpun. Ridwan menghela napas. Pelan dia mengambil kaleng biskuit kesukaannya, tetapi saat tahu isi dari benda bulat itu, sahabat Ilyas langsung menutup kembali."Hati-hati saat memilih, banyak tipuan dalam hidup," ujar Olivia masih dengan fokus pada buku yang dia baca. "Tapi aku yakin pilihan hatiku tak akan pernah salah, walau dia masih belum mampu menatap dan mengerti kehadiranku saat ini." Ridwan dengan santai menjawab. Tangannya berpindah mengambil risoles yang sudah dibuatkan oran
Happy Reading*****"Maaf, ini siapa?" tulis Nafeeza pada nomor tak dikenal yang menelepon. Selesai dengan segala aktifitas dan kewajiban kepada Sang Khalik, gadis itu membuka gawainya dan melihat ada beberapa panggilan tak terjawab dari nomor tak dikenal. Profil yang digunakan belum mampu mengidentifikasi siapa pemilik sebenarnya, hanya foto tulisan dalam bahasa arab. Jika dibaca lebih teliti ternyata selawat nariyah. Nafeeza mencoba mengingat-ingat, sesekali dia juga melihat beberapa kontak sahabat-sahabatnya. Namun nihil, semua nomor ponsel mereka sudah tersimpan di memori benda canggih itu. Beberapa menit dia menunggu, berharap seseorang itu menghubunginya kembali. Namun, hingga azan isya memanggil si penelepon belum ada tanda-tanda akan membalas atau menelepon. Pemilik lesung pipi sebelah kanan itu akhirnya memutuskan untuk melaksanakan salat terlebih dahulu. Jika memang penting, pasti orang itu akan meneleponnya kembali. Begitulah pikiran Nafeeza. Kepentingan akhirat harus di
Happy Reading*****Sepeninggal ibunya, Ilyas mulai merenungi apa yang perempuan setengah baya itu katakan. Bahwa keadaannya sekarang adalah kecemburuan yang tak beralasan. Siapa dia hingga bisa mengadili perbuatan seseorang yang dirinya sendiri tak tahu.Banyak nasihat yang diberikan Aliyah sebagai bahan renungan bagi si sulung. Ilyas kembali merebahkan dirinya, mengambil ponsel dan mencari foto Nafeeza bersama lelaki yang tak diketahui itu siapa. Pikirannya mulai mencerna setiap kata dari ibunya. "Bukan tak boleh mencintai seseorang, tapi tempatkanlah rasa itu dengan benar. Sebagai insan Abang nggak bisa memilih kapan jatuh cinta dan kapan menolak rasa itu. Jadi, saat rasa itu menyerang jaga baik-baik, ekspresikan dengan benar serta tempatkan dia sesuai porsinya. Jangan sekali-kali melanggar batas aturan yang telah dibuat oleh-Nya." Jari-jemari ibunya mengusap lembut pada kedua bahu Ilyas."Abang belum tahu, Bu. Apa memang benar ini cinta?" sangkalnya tadi. Perempuan yang tak lagi
Happy Reading*****Tiga hari sudah Ilyas mengikuti seminar bersama Nafeeza dan selama waktu itu pula mereka sering kali adu argumen tentang banyak hal. Sekalipun, ujung-ujungnya gadis berhijab itu yang mengalah. Namun, tanpa mereka sadari bunga-bunga di hati masing-masing kian bermekaran. Tatapan pemuda dengan kemeja biru muda itu semakin tajam tatkala lelaki yang tak dikenalnya menggandeng tangan Nafeeza. Seolah tak rela sang gadis tersentuh siapa pun, dia berjalam mendekat. "Kamu pulang bareng aku 'kan, Naf?" tanya Ilyas. Merasa terpanggil, si gadis menengok. "Hari ini aku pulang sama dia, Bang. Makasih ya tumpangannya selama ini." Nafeeza mengatupkan kedua tangannya ke depan. Wajah kecewa serta tak rela jelas sekali terlihat pada diri Ilyas dan hal itu tertangkap indera lelaki di depannya. Kedua alis dan dagu seseorang yang kini menjadi alasan kekecewaannya mengarah pada Nafeeza. Dia mencoba mengatakan sesuatu dengan bahasa tubuh dan beberapa kode kepada gadis berjilbab itu. "