Kuguncang tubuhnya, tapi dia hanya diam. Rasa panik menjalar ke seluruh tubuhku. Bagaimana ini? Kenapa aku jadi suami yang tak peka? Padahal tadi Lili sudah mengeluh sakit.
Kubopong tubuhnya dan langsung membawanya ke mobil.
"Ibu ikut, Zam," ujar ibu. Kurasa ia pun panik setelah melihat menantunya tak sadarkan diri.
"Tidak perlu, Bu. Ibu di rumah saja, biar Lili aku yang urus," tukasku. Aku tak ingin mendengar protes dari ibu. Sudah cukup, bisa tambah runyam pikiranku kalau ibu ikut. Ia bisa ngomong ngelantur yang tidak-tidak.
Gegas kulajukan mobil ini dengan kecepatan sangat kencang.
"Li, bertahanlah."
Rasa sesal kembali merajai diri seakan berletupan tak ingin lagi sembunyi. Rasa sakit ini makin menghimpit dada. Semua karena keegoisanku, semua karena ketidakpekaanku. Lili jadi seperti ini.
Sampai di rumah sakit, Lili yang masuk di ruang IGD langsung ditangani oleh tim medis, berhubung dokter spesialis kandungan sudah pulang, mereka hubungi lebih dahulu.
Seorang wanita berpakaian dokter berjalan tergopoh-gopoh, setelah kutahu ternyata ia dokter obygin alias dokter kandungan.
Mengingat kondisi Lili yang kritis, akhirnya langsung dilakukan tindakan. Para perawat langsung membawa Lili ke ruang operasi, mereka tak membiarkanku untuk ikut melihat prosesnya.
Setelah sekitar 1 jam menunggu, pintu ruang operasi terbuka dan munculah seorang pegawai rumah sakit yang memakai baju OK keluar dari pintu ruang operasi.
Aku segera mendekatinya, " Bagaimana dengan kondisi istri saya dan bayinya, Suster?" tanyaku.
Perawat bermasker itu memandangku sejenak. "Mohon maaf ya pak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi bayi bapak tidak bisa diselamatkan. Bayi bapak sudah meninggal di dalam kandungan," jawabnya.
Deg! Dunia seakan runtuh seketika. Aku seperti hilang pijakan. Kepalaku berputar-putar, terasa berat dan penat.
"Istri saya bagaimana, Sus?"
"Kondisi istri bapak masih sangat lemah. Bapak bisa temui nanti setelah dipindah ke ruang perawatan ya."
*
Kugendong tubuh mungil yang tak bernyawa ini. Hatiku runtuh, air mataku luruh, tenggelam dalam penyesalan yang tak bertepi. Semua salahku. Anak yang kudambakan selama dua tahun terakhir ini, justru berakhir karena kelalaianku sebagai seorang suami.
"Nak, bahkan kamu sudah pergi sebelum bisa membukakan mata melihat ayah dan bunda ke dunia," lirihku.
Apakah ini ganjaran yang pantas untukku karena telah mengabaikan Lili? Ya, Lili, bagaimana dengannya kalau tahu bayinya tidak bisa diselamatkan?
Tengah malam yang begitu kelam, aku harus kehilangan. Buah hati yang kutunggu, harus pergi tanpa mencicipi manisnya kasih sayang dari kami.
"Sayang, Nak, maafin ayah karena sudah mengabaikan kalian."
Lagi, aku tak bisa menahan lelehan air mata ini. Begitu sakit dan menyesakkan dada.
Ini salahku membiarkan ibu bersikap sesukanya pada Lili. Salahku juga karena tak tegas pada mereka. Kupikir hubungan ibu dan Lili baik-baik saja. Wajar kalau ibu menyuruh Lili, dan Lili tak pernah membantahnya sebagai bukti kalau ia begitu taat sebagai istri maupun menantu.
Aku tak pernah mau mendengar keluhan Lili tentang ibu, atau mendengar keluhannya kalau ia merasa capek.
Kalau dipikir aku suami yang begitu tega, bahkan tak pernah memberikan reward apapun pada Lili. Walau sekadar membelikan baju atau apapun itu. Karena kupikir uang tiga juta sangatlah cukup untuk biaya hidup kami sekeluarga. Lili tak membutuhkan apapun lagi, toh dia tak pernah protes.
Apakah aku suami dzolim? Gajiku saat ini adalah sepuluh juta rupiah. Tiap bulannya, kuberikan pada Lili tiga juta untuk uang belanja dan semua kebutuhan rumah. Dua juta kuberikan pada ibu, sebagai reward telah melahirkanku dan merawatku dari kecil. Sedangkan yang lima juta aku pegang sendiri, aku tabung demi masa depan nanti. Atau untuk pegangan bila ada kebutuhan yang mendesak. Ya, aku tak ingin terlibat dalam lingkaran hutang. Sudah cukup masa kecilku saja yang kekurangan, jadi sebisa mungkin aku harus punya tabungan untuk anakku kelak maupun untuk hari tua.
***
"Mas, bagaimana bayi kita?" tanya Lili saat mulai sadar.
Nyess. Mendengar pertanyaannya membuatku tak mampu berkata. Ada hancur di sudut hatiku.
Aku hanya menunduk, tak mampu berkata-kata. Setelah sembilan jam, akhirnya Lili sadar dari kritisnya. Namun yang ditanya pertama kali adalah tentang bayinya.
Bagaimana aku mengatakan kalau bayinya sudah meninggal sejak dalam kandungan? Rasanya belum siap melihat amarahnya.
Akupun sudah menguburkan anakku tadi. Ya, pagi-pagi sekali aku pulang membawa bayiku yang sudah tak bernyawa lagi, untuk segera dikuburkan. Kasihan bila terlalu lama dibiarkan, sedangkan pihak dokter pun tak tahu kapan Lili akan sadar.
Aku sempat memotret wajahnya yang imut dan mungil itu. Foto itu tersimpan rapi di handphoneku.
"Mas, kenapa diam saja? Dimana bayiku, Mas? Tolong bawa kesini, aku ingin melihatnya," lirihnya lagi.
"Dek, kamu yang sabar ya, yang tenang."
"Apa maksudmu, Mas? Bayiku baik-baik saja kan? Kalau kamu tak bisa membawa bayiku kesini, tolong antarkan aku ketemu dengannya mas ..." rengeknya dengan nada pilu.
"Maaf dek, tapi--"
"Tapi apa, Mas? Cepat katakan mas! Ada apa dengan bayiku?"
"Maaf dek, bayi kita sudah meninggal dek."
"Tidak, itu tidak mungkin!"
"Dek, bayi kita sudah meninggal sejak dalam kandungan, dia tidak bisa diselamatkan, dek."
"Tidak, itu tidak mungkin! Itu tak boleh terjadi! Antarkan aku ketemu bayiku, Mas! Bayiku tak mungkin meninggal. Tadi sore aku masih merasakan gerakannya, Mas."
Kudekap erat tubuhnya yang terguncang hebat. Namun sekuat tenaga ia mendorong tubuhku. Air matanya jatuh bercucuran.
Sungguh aku tak sanggup melihatnya seperti ini. Ya, ini semua murni kesalahanku. Andai saja penyesalanku bisa mengembalikan bayi kami ...
"Kembalikan bayiku, Mas! Kembalikan bayiku! Bayiku tak mungkin meninggal, bayiku masih hidup, Mas!"
"Sayang, maafin mas. Maaf--" ucapku sambil terus mendekap tubuhnya. Lili berontak lagi.
Lili makin tergugu mendengarnya, ia meremas ujung selimut rumah sakit yang menutupi sebagian tubuhnya. Sesekali dia terlihat memukul-mukul bed yang ditidurinya. Selang infus terlihat mobat-mabit ketika dia mulai histeris. Iapun mulai memukuli kepalanya sendiri, seakan-akan penat begitu terasa menusuk kepala.
Ah Lili ... Dia masih saja histeris seakan tak menerima kenyataan yang terjadi.
"Bayiku, mana bayiku ...?! Mana bayiku?! Tolong kembalikan bayikuuu ... Mas, tolong kembalikan bayikuuu ..."
Pasca 4 hari di rumah sakit, akhirnya Lili diperbolehkan pulang. Aku memapahnya masuk ke dalam mobil. Kami hanya berdua. Ibu dan Icha enggan berkunjung ke rumah sakit, walaupun aku telah mengajaknya.Kondisi Lili sangat lemah. Kali ini tidak ada perlawanan darinya, ia lebih banyak diam, bahkan seperti patung. Jika ditanya pun enggan menjawab.Wajahnya sendu, netranya begitu sayu. Pandangannya seakan kosong, embun tebal tampak begitu kentara di kedua bola matanya.Pandangannya yang biasa meneduhkan kini terlihat sangat rapuh.Lili, maafkan suamimu ini. Aku memang pria yang tak becus bergelar suami.Hening. Sepanjang perjalanan tak ada percakapan apapun yang keluar dari mulut kami. Hanya alunan musik klasik yang kusetel begitu lirih untuk sekedar mengusir sepi."Mas, kita ke makam bayiku dulu, baru pulang," pintanya tanpa memandang ke arahku.Aku menoleh. Lalu hanya bisa menganggukkan kepala melihat ekspresinya yang begitu sedih.
"Dek, biar mas saja. Kamu makan dulu gih!"Lili menoleh, memandangku dengan tatapan nanar. Tiba-tiba tubuhnya terhuyung. Lili jatuh tak sadarkan diri."Lili ...!" teriakku histeris.Kubopong tubuhnya masuk ke dalam rumah. Mendengar teriakanku ibu dan Icha muncul dari balik pintu. Mereka saling berpandangan satu sama lain."Apa yang ibu lakukan pada Lili, Bu? Ibu tahu bukan Lili masih sakit? Kenapa ibu lakukan ini, Bu?!"Aku menatapnya tajam dengan netra berkaca."Ibu gak lakuin apa-apa, Nak.""Bohong!!" bentakku.Kulihat wajah ibu dan Icha menunduk ketakutan, seakan merasa bersalah."Ibu pasti nyuruh dia kan? Kalian kenapa tega sekali lakukan ini?! Padahal kalian tahu Lili sedang sakit!""Mas, budhe gak bilang apa-apa kok, cuma bilang cucian belum dijemur, itupun gak ada kata-kata nyuruh Mbak Lili," kilah Icha."Diam kamu, Cha!! Lebih baik kamu pulang saja sana! Kalau disini cuma jadi benalu!! Tidak p
Seketika dadaku bergemuruh panas, ada yang nyeri di ulu hati."Dek, kamu sudah bangun?"Aku berusaha menetralkan rasa, agar mereka tak tahu kalau aku tengah cemburu."Sini Mas, biar aku saja yang suapin istriku," lanjutku sembari mengambil piring darinya.Bang Panji masih menatapku tajam. Begitupun Lili, dia hanya memandang kami secara bergantian."Wajahmu kenapa, Mas?" tanyanya dengan lirih.Senyumku mengembang mendengar perhatian dari Lili, dia masih mengkhawatirkanku."Tidak apa-apa, dek. Ayo makan dulu.""Aku gak mau mas," tolaknya."Tapi dari tadi kan belum makan.""Sini, biar aku saja yang nyuapin adikku makan."Bang Panji meraih piring itu dariku."Kalian pergilah keluar dulu, kami mau bicara empat mata," tukas Bang Panji.Bang Panji pasti ingin mengorek informasi tentang Lili saat berada di rumah. Duh, mampus aku kalau Lili mengadukan semuanya.Dengan berat hat
Lili bangkit lalu meraih tanganku dan menciumnya dengan takzim."Mau apa kamu datang kemari?" tanya Bang Panji menghenyakkanku. Tiba-tiba ia muncul dari dalam."Aku mau jemput Lili pulang, Bang.""Tidak. Biar dia disini sama aku. Kamu gak becus jadi suami!""Tapi bang, Lili istriku, dia tanggung jawabku. Dia harus ikut suaminya kemanapun suaminya pergi.""Tanggung jawab kamu bilang? Tanggung jawab macam apa? Kalian tega manfaatin tenaga Lili, udah kayak babu di rumah sendiri! Kemana aja kamu selama ini?!""Maaf bang, tapi aku akan memperbaiki kesalahanku.""Bang, Mas, tolong jangan ribut. Tak enak didengar tetangga," sela Lili menengahi perdebatan kami. Suaranya masih terdengar lemah, tapi mampu membuat kami bungkam.Aku duduk di teras ubin tanpa dipersilahkan. Hatiku benar-benar kalut. Rasanya kecewa, kenapa Lili mau menuruti Bang Panji untuk pulang ke rumah ini, padahal ada rumah suaminya."Bang, kenapa gak bilan
Aku menghela nafas dalam-dalam."Maafin mas, dek. Selama ini mas sudah salah. Tapi yakin kamu gak mau pulang, Dek?"Lili mengangguk. Mataku terasa panas, hampir saja air mata ini luruh, tapi malu pada wanita di hadapanku. Mungkin ia memang butuh waktu untuk sendiri. Pasca kehilangan bayinya, aku yakin Lili sangat terguncang."Ya sudah, kalau kamu gak mau pulang. Mas yang akan ikut tinggal disini."Lili masih terdiam."Mas akan ambil baju-baju Mas dan juga bajumu. Jadi mas pulang dulu, nanti mas kesini lagi."Aku berpamitan dengan Lili dan juga Bang Panji untuk pulang sebentar.***"Zam, kamu udah pulang?" tanya ibu.Ia tersenyum saat menyambutku. Kucium punggung tangannya dengan takdzim. Aku berlalu begitu saja, masuk ke dalam kamar."Zam, tadi ibu ngambil baju di anaknya Bu RT, nanti tolong bayarin ya, duit ibu udah habis," sahut ibu. Tiba-tiba ia muncul dari balik pintu."Ibu ambil baju
"Bu, please! Ibu jangan seperti anak kecil begini. Aku cuma sementara waktu saja ke tempat Bang Panji. Aku ingin memperbaiki dulu hubunganku dengan Lili. Ibu tahu, rumah tanggaku sudah diambang kehancuran. Aku ingin mendapatkan kepercayaan Lili lagi.""Zam, wanita itu gak hanya satu. Banyak wanita yang lebih cantik dan kaya dari Lili, ibu sangat yakin, kamu pasti bisa mendapatkan wanita lebih baik dari Lili.""Cukup Bu, jangan menambah keruh suasana. Kenapa ibu berpikir seperti itu sih! Aku harus mencari wanita lain begitu? Tidak Bu! Bagiku pernikahan cukuplah sekali seumur hidup dan aku akan berusaha setia pada istriku. Wanita di luaran sana memang banyak, tapi yang kucintai hanya Lili, Bu. Aku gak ingin kehilangan dia. Sudah cukup aku kehilangan bayiku," ucapanku terhenti, seperti ada yang tercekat di tenggorokan."Bayiku meninggal, istriku sakit dan sekarang dia memilih tinggal bersama kakaknya. Tapi apa ibu peduli pada kami? Tidak!
Glek! Aku tak mampu berkata-kata mendengar ucapan Lili. Dia terlihat begitu terluka. Bahkan tangannya sampai gemetaran."Maaf dek, mas memang gak bisa mengembalikan anak kita. Tapi mas ingin memperbaiki kesalahan ini. Tolong.""Pergilah, Mas! Pergiii ....! Aku ingin sendiri!" teriak Lili dengan histeris."Ada apa ini malam-malam ribut?"Bang Panji muncul dari balik pintu. Menatapku dengan tajam. Bang Panji langsung mendorong tubuhku hingga ke tembok."Kenapa kau membuat adikku menangis lagi hah?!" bentak Bang Panji, ia mencengkram kuat krah bajuku, sedangkan tangan satunya sudah mengepal kuat hendak melayangkan tinju ke arahku.Aku diam, terserah bila Bang Panji ingin menghajarku lagi habis-habisan. Hatiku lebih sakit memandang Lili menangis tergugu di sudut ranjang. Kedua telapak tangan menutupi wajahnya.Cengkraman Bang Panji terlepas sendiri olehnya. Laki-laki yang lebih tinggi dariku itu mengusap wajahnya dengan kasar.
"Oh, ada tamu. Kenapa gak masuk dulu?" sela Bang Panji.Ia turun dari boncengan motor Raffa."Panji, aku pulang duluan.""Okey"Motor Raffa menjauh dari halaman. Pria itu mungkin sungkan karena ada keluargaku. Biasanya mereka--Bang Panji dan Raffa usai pulang kerja, akan berdiskusi hingga malam.Sebenarnya aku kesal, kedatangan ibu malah membuat kecanggungan baru diantara kami. Padahal sebentar lagi, Lili bisa luluh padaku. Tapi sekarang? Aaarggghh kacau!Tapi jujur, aku mengapresiasi keberanian ibu yang mau minta maaf dan mengakui kesalahan ibu. Cuma aku tak mengerti, apakah ibu benar-benar tulus meminta maaf?"Kalian mau sampai kapan tinggal disini merepotkan abangmu?" tanya ibu. Nada bicaranya sungguh lembut."Tidak merepotkan kok, ini juga masih rumah Lili," sela Bang Panji.Lili hanya menunduk. Sedangkan Bang Panji masuk ke dalam, tak lama keluar lagi sembari membawa minuman. La