Share

2. Bayiku Tak Bisa Diselamatkan

Kuguncang tubuhnya, tapi dia hanya diam. Rasa panik menjalar ke seluruh tubuhku. Bagaimana ini? Kenapa aku jadi suami yang tak peka? Padahal tadi Lili sudah mengeluh sakit.

Kubopong tubuhnya dan langsung membawanya ke mobil. 

"Ibu ikut, Zam," ujar ibu. Kurasa ia pun panik setelah melihat menantunya tak sadarkan diri.

"Tidak perlu, Bu. Ibu di rumah saja, biar Lili aku yang urus," tukasku. Aku tak ingin mendengar protes dari ibu. Sudah cukup, bisa tambah runyam pikiranku kalau ibu ikut. Ia bisa ngomong ngelantur yang tidak-tidak.

Gegas kulajukan mobil ini dengan kecepatan sangat kencang.

"Li, bertahanlah."

Rasa sesal kembali merajai diri seakan berletupan tak ingin lagi sembunyi. Rasa sakit ini makin menghimpit dada. Semua karena keegoisanku, semua karena ketidakpekaanku. Lili jadi seperti ini.

Sampai di rumah sakit, Lili yang masuk di ruang IGD langsung ditangani oleh tim medis, berhubung dokter spesialis kandungan sudah pulang, mereka hubungi lebih dahulu. 

Seorang wanita berpakaian dokter berjalan tergopoh-gopoh, setelah kutahu ternyata ia dokter obygin alias dokter kandungan. 

Mengingat kondisi Lili yang kritis, akhirnya langsung dilakukan tindakan. Para perawat langsung membawa Lili ke ruang operasi, mereka tak membiarkanku untuk ikut melihat prosesnya.

Setelah sekitar 1 jam menunggu, pintu ruang operasi terbuka dan munculah seorang pegawai rumah sakit yang memakai baju OK keluar dari pintu ruang operasi.

Aku segera mendekatinya, " Bagaimana dengan kondisi istri saya dan bayinya, Suster?" tanyaku. 

Perawat bermasker itu memandangku sejenak. "Mohon maaf ya pak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi bayi bapak tidak bisa diselamatkan. Bayi bapak sudah meninggal di dalam kandungan," jawabnya.

Deg! Dunia seakan runtuh seketika. Aku seperti hilang pijakan. Kepalaku berputar-putar, terasa berat dan penat.

"Istri saya bagaimana, Sus?"

"Kondisi istri bapak masih sangat lemah. Bapak bisa temui nanti setelah dipindah ke ruang perawatan ya."

*

Kugendong tubuh mungil yang tak bernyawa ini. Hatiku runtuh, air mataku luruh, tenggelam dalam penyesalan yang tak bertepi. Semua salahku. Anak yang kudambakan selama dua tahun terakhir ini, justru berakhir karena kelalaianku sebagai seorang suami. 

"Nak, bahkan kamu sudah pergi sebelum bisa membukakan mata melihat ayah dan bunda ke dunia," lirihku. 

Apakah ini ganjaran yang pantas untukku karena telah mengabaikan Lili? Ya, Lili, bagaimana dengannya kalau tahu bayinya tidak bisa diselamatkan?

Tengah malam yang begitu kelam, aku harus kehilangan. Buah hati yang kutunggu, harus pergi tanpa mencicipi manisnya kasih sayang dari kami. 

"Sayang, Nak, maafin ayah karena sudah mengabaikan kalian."

Lagi, aku tak bisa menahan lelehan air mata ini. Begitu sakit dan menyesakkan dada. 

Ini salahku membiarkan ibu bersikap sesukanya pada Lili. Salahku juga karena tak tegas pada mereka. Kupikir hubungan ibu dan Lili baik-baik saja. Wajar kalau ibu menyuruh Lili, dan Lili tak pernah membantahnya sebagai bukti kalau ia begitu taat sebagai istri maupun menantu.

Aku tak pernah mau mendengar keluhan Lili tentang ibu, atau mendengar keluhannya kalau ia merasa capek. 

Kalau dipikir aku suami yang begitu tega, bahkan tak pernah memberikan reward apapun pada Lili. Walau sekadar membelikan baju atau apapun itu. Karena kupikir uang tiga juta sangatlah cukup untuk biaya hidup kami sekeluarga. Lili tak membutuhkan apapun lagi, toh dia tak pernah protes.

Apakah aku suami dzolim? Gajiku saat ini adalah sepuluh juta rupiah. Tiap bulannya, kuberikan pada Lili tiga juta untuk uang belanja dan semua kebutuhan rumah. Dua juta kuberikan pada ibu, sebagai reward telah melahirkanku dan merawatku dari kecil. Sedangkan yang lima juta aku pegang sendiri, aku tabung demi masa depan nanti. Atau untuk pegangan bila ada kebutuhan yang mendesak. Ya, aku tak ingin terlibat dalam lingkaran hutang. Sudah cukup masa kecilku saja yang kekurangan, jadi sebisa mungkin aku harus punya tabungan untuk anakku kelak maupun untuk hari tua.

***

"Mas, bagaimana bayi kita?" tanya Lili saat mulai sadar.

Nyess. Mendengar pertanyaannya membuatku tak mampu berkata. Ada hancur di sudut hatiku.

Aku hanya menunduk, tak mampu berkata-kata. Setelah sembilan jam, akhirnya Lili sadar dari kritisnya. Namun yang ditanya pertama kali adalah tentang bayinya.

Bagaimana aku mengatakan kalau bayinya sudah meninggal sejak dalam kandungan? Rasanya belum siap melihat amarahnya.

Akupun sudah menguburkan anakku tadi. Ya, pagi-pagi sekali aku pulang membawa bayiku yang sudah tak bernyawa lagi, untuk segera dikuburkan. Kasihan bila terlalu lama dibiarkan, sedangkan pihak dokter pun tak tahu kapan Lili akan sadar.

Aku sempat memotret wajahnya yang imut dan mungil itu. Foto itu tersimpan rapi di handphoneku.

"Mas, kenapa diam saja? Dimana bayiku, Mas? Tolong bawa kesini, aku ingin melihatnya," lirihnya lagi.

"Dek, kamu yang sabar ya, yang tenang."

"Apa maksudmu, Mas? Bayiku baik-baik saja kan? Kalau kamu tak bisa membawa bayiku kesini, tolong antarkan aku ketemu dengannya mas ..." rengeknya dengan nada pilu.

"Maaf dek, tapi--"

"Tapi apa, Mas? Cepat katakan mas! Ada apa dengan bayiku?"

"Maaf dek, bayi kita sudah meninggal dek."

"Tidak, itu tidak mungkin!"

"Dek, bayi kita sudah meninggal sejak dalam kandungan, dia tidak bisa diselamatkan, dek."

"Tidak, itu tidak mungkin! Itu tak boleh terjadi! Antarkan aku ketemu bayiku, Mas! Bayiku tak mungkin meninggal. Tadi sore aku masih merasakan gerakannya, Mas."

Kudekap erat tubuhnya yang terguncang hebat. Namun sekuat tenaga ia mendorong tubuhku. Air matanya jatuh bercucuran.

Sungguh aku tak sanggup melihatnya seperti ini. Ya, ini semua murni kesalahanku. Andai saja penyesalanku bisa mengembalikan bayi kami ...

"Kembalikan bayiku, Mas! Kembalikan bayiku! Bayiku tak mungkin meninggal, bayiku masih hidup, Mas!"

"Sayang, maafin mas. Maaf--" ucapku sambil terus mendekap tubuhnya. Lili berontak lagi.

Lili makin tergugu mendengarnya, ia meremas ujung selimut rumah sakit yang menutupi sebagian tubuhnya. Sesekali dia terlihat memukul-mukul bed yang ditidurinya. Selang infus terlihat mobat-mabit ketika dia mulai histeris. Iapun mulai memukuli kepalanya sendiri, seakan-akan penat begitu terasa menusuk kepala. 

Ah Lili ... Dia masih saja histeris seakan tak menerima kenyataan yang terjadi.

"Bayiku, mana bayiku ...?! Mana bayiku?! Tolong kembalikan bayikuuu ... Mas, tolong kembalikan bayikuuu ..." 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
tinggal serumah dengan mertua..sering jadi masalah
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
rasain loh jafi laki2 bege banget .punya istri g pernah d manjain selalu d suru kerja dr pagi sampe mlm dn punya mertua zolim selalu ngatur dn suami nya diem aja istri d siksa sama ibu nya padahal lagi hamil tidur d kamar pembantu padahal rmh nya
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Kasihan liat lili kehilangan bayinya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status