Pasca 4 hari di rumah sakit, akhirnya Lili diperbolehkan pulang. Aku memapahnya masuk ke dalam mobil. Kami hanya berdua. Ibu dan Icha enggan berkunjung ke rumah sakit, walaupun aku telah mengajaknya.
Kondisi Lili sangat lemah. Kali ini tidak ada perlawanan darinya, ia lebih banyak diam, bahkan seperti patung. Jika ditanya pun enggan menjawab.
Wajahnya sendu, netranya begitu sayu. Pandangannya seakan kosong, embun tebal tampak begitu kentara di kedua bola matanya.
Pandangannya yang biasa meneduhkan kini terlihat sangat rapuh.
Lili, maafkan suamimu ini. Aku memang pria yang tak becus bergelar suami.
Hening. Sepanjang perjalanan tak ada percakapan apapun yang keluar dari mulut kami. Hanya alunan musik klasik yang kusetel begitu lirih untuk sekedar mengusir sepi.
"Mas, kita ke makam bayiku dulu, baru pulang," pintanya tanpa memandang ke arahku.
Aku menoleh. Lalu hanya bisa menganggukkan kepala melihat ekspresinya yang begitu sedih.
*
Gundukan tanah itu masih terlihat baru dan basah, diatasnya penuh taburan bunga. Lili terkulai, ia bersimpuh disamping pusara anak kami.
Tubuh Lili terguncang hebat, air matanya jatuh bercucuran bak anak sungai.
Hatiku mencelos. Sakit sekali menyaksikan pemandangan ini.
"Sudah yuk pulang dulu, dek. kamu juga butuh istirahat, sayang."
Lili menggeleng.
"Ayo dek, pulang dulu. Kasihan tubuhmu butuh istirahat lho, masih dalam pemulihan."
Akhirnya Lili mau menurut, kupapah tubuhnya masuk ke dalam mobil.
*
"Zam, kok kamu yang nyuci sih?" tegur ibu saat aku memasukkan baju kotor ke mesin cuci.
"Ya gak apa-apa to, Bu. Lili kan masih sakit, gak boleh banyak gerak dulu."
"Alaaaah dasar istrimu itu malesan!"
"Cukup ya, Bu. Aku gak mau berdebat masalah ini. Bisa gak sih ibu menghargai sedikiiit saja perasaan Lili?"
"Kamu udah berani bentak ibu, Zam?!"
Ibu berlalu begitu saja dengan netra berkaca-kaca. Sudah dipastikan, ibu pasti akan ngambek seharian.
Aku mengusap wajah dengan kasar. Ya Allah, aku harus bagaimana?
Sembari menunggu cucian di mesin cuci, aku beranjak ke dalam menemui Lili. Ia masih meringkuk dalam tidurnya.
"Dek, kamu mau makan apa? Biar nanti mas belikan."
Lili hanya menggeleng perlahan. Aku tahu dia lapar, ibu mana mau memasak untuk kami. Menurutnya, dia sudah tua, jadi dia yang harus diladeni.
"Mas, tolong berhenti. Jangan mengerjakan pekerjaan rumah. Biar aku saja. Nanti ibu marah-marah lagi."
"Itu tidak mungkin dek, kondisimu masih lemah begini. Dah, gak usah pikirin omongan ibu."
"Gak usah pikirin gimana, Mas? Omongan ibu membuatku down."
"Oh, jadi ini yang kamu lakukan di belakang ibu? Kamu ngadu sama suamimu gitu? Biar ibu keliatan jelek di matanya?!" pungkas ibu yang tiba-tiba masuk ke kamar kami.
"Ibu, cukup!! Ini gak seperti yang ibu pikirkan!" tukasku.
"Gara-gara wanita ini, sekarang kamu sudah berani bentak ibu ya, Zam!"
"Bukan karena Lili, Bu. Tapi ibu sendiri yang sudah keterlaluan! Padahal ibu tau, kondisi Lili tidak baik-baik saja, dia sedang dalam masa pemulihan! Dia juga terguncang karena kehilangan anak kami. Ibu, bisa gak sedikiiit saja hargai perasaan Lili Bu, dia menantu ibu, bukan pembantu!"
"Percuma ngomong sama kamu, Zam! Hatimu sudah tertutup oleh dia! Dia itu cuma berdiam di rumah, ya sudah pasti harus mengerjakan semuanya! Masa kamu yang kerja dia okang-okang kaki!"
"Kalau aku yang nyuruh ibu nglakuin semuanya gimana? Atau Icha? Kalian juga berdiam diri di rumah? Okang-okang kaki!"
"Tega kamu, Zam! Ngomong kayak gitu sama ibu. Jadi kamu nyuruh ibu untuk kerjain semua kerjaan rumah? Ibu itu bukan pembantu, Zam! Ibu ini yang sudah melahirkanmu!"
"Aku tahu Bu, makanya ibu gak usah protes lagi kalau nantinya aku ambil pembantu. Aku menghargai ibu, tapi aku juga tak ingin menyakiti Lili. Apalagi dia masih sakit, Bu. Aku tak ingin membuatnya lebih sakit lagi karena terlalu capek mengerjakan pekerjaan rumah."
"Ambil pembantu itu buang-buang uang, Zam!"
"Ini solusi yang terbaik. Ibu tidak mau membantu kan? Sedangkan Lili masih sakit, ibu tega nyuruh-nyuruh orang sakit untuk bekerja? Ini jalan tengah yang terbaik, mulai besok akan ada pembantu yang bekerja disini, sekaligus merawat Lili kalau aku berada di kantor!"
"Huh!"
Ibu sengaja menghentakkan kakinya pergi meninggalkan kami dengan perasaan tak suka. Duh ibu, sebenarnya apa sih maumu, Bu?
Aku menoleh ke arah Lili. Dia terisak. Kubelai rambutnya dan kuciumi puncak kepalanya.
"Maafin mas, selama ini ya. Mas sudah salah sama kamu."
Kudekap erat tubuhnya. Badannya panas, jangan-jangan Lili sakit lagi?
"Obatnya belum diminum?" tanyaku.
Lili hanya diam saja. Ah ya, bagaimana mungkin dia minum obat, makan saja belum.
"Kamu tunggu disini ya, kamu mau apa? Bubur ayam atau apa?"
Lagi-lagi Lili hanya menggeleng.
Aku bangkit, mengambil kunci mobil. Di ruang keluarga ibu sedang tertawa kecil bersama Icha sambil menonton TV. Satu toples cemilan ada dihadapannya.
"Kamu mau kemana, Zam?" tanya ibu seolah tak terjadi apa-apa.
"Cari makan."
"Ibu sama icha mau juga, kami dari tadi belum makan, gak ada yang masak!" tukas ibu.
"Suruh Icha masak, Bu! Bahan makanan banyak di kulkas! Dia kan cewek, harusnya masak itu perkara mudah!"
"Kamu ini! Icha itu tamu disini, jadi harus dilayani."
"Tamu apa Bu, yang sampai berbulan-bulan gak pulang-pulang? Niat cari kerja gak sih?"
Icha menghentikan makan cemilannya, wajahnya ditekuk cemberut.
"Kamu itu gimana, dia itu masih keluarga kita!" tukas ibu.
"Kalau masih keluarga harusnya peka, ikut bantu-bantu, apalagi kondisi Lili sedang sakit begini!"
"Kamu jangan lancang Azzam! Tuan rumah ya harus menyediakan kebutuhan tamunya!"
"Iya-iya, terserah! Kalian mau makan apa?"
"Ibu mau nasi plus ayam bakar, kamu mau apa Icha?"
"Sama aja kayak budhe."
"Ya sudah Ibu sama Icha mau nasi ayam bakar, jangan lupa belikan pizza juga, Zam!"
"Hmmm!"
***
Cukup lama berada diluar mencari makanan kesukaan ibu. Apalagi harus ngantri kayak sembako.
Kalau begini aku jadi kepikiran sama Lili. Takut kalau ibu marah-marah pada Lili.
Pulang ke rumah tampak sepi.
"Ibuu ...? Icha ...?"
Tak kutemui batang hidungnya. Kugeletakkan saja diatas meja makan. Aku berlari menghampiri Lili di kamar, istriku itupun tak ada.
"Li, kamu dimana, Li? Sayang?"
Tak lama terdengar suara dari halaman belakang. Aku tercengang melihatnya, dengan tangan gemetar Lili menjemur pakaian-pakaian yang tadi masih kucuci dan kutinggalkan begitu saja.
Jadi dia melakukan ini? Lili mengangkat pakaian basah diember itu sendiri? Ini kan sangat berat?
"Dek, biar mas saja. Kamu makan dulu gih!"
Lili menoleh, memandangku dengan tatapan nanar. Tiba-tiba tubuhnya terhuyung.
Icha menghentikan gerakannya. "Apa maksud Mas Azzam? Bukankah budhe ada di kampung?""Ibu sakit stroke Cha, sekarang beliau ikut kami," sahutku."Apa? Sakit?""Iya, kita pulanglah dulu, jengukin ibu. Akhir-akhir ini ibu banyak melamun. Mungkin ibu juga rindu padamu."Icha mengangguk setuju. "Sejak aku diboyong Mas Raka, aku tak diperbolehkan keluar rumah apalagi berhubungan dengan ibu. Handphoneku dijual sama dia. Banyak hal pahit yang kurasakan, dia dan ibu mertua berlaku kasar padaku."Sungguh miris nasibmu, Cha. Sepertinya kau mengalami hal yang lebih buruk dari yang kualami.***"Assalamualaikum. Bu, lihatlah siapa yang kubawa," kata Mas Azzam.Ibu menoleh kemudian tersenyum saat melihat Icha datang bersama kami."Budhe--"Icha langsung menghambur ke arah ibu. Mereka terhanyut dalam isak tangis. Meskipun bukan anak kandungnya tapi ibu benar-benar menyayangi Icha setulus hatinya.
Mas Azzam menoleh ke arahku. "Dek, ibu jatuh di kamar mandi, sekarang dirawat di rumah sakit terdekat.""Siapa yang menghubungi, Mas?""Mbak Idah. Katanya Icha gak bisa dihubungi sejak pindah ke rumah suaminya.""Ya sudah Mas, kita pulang. Kasihan ibu."Setelah tiga jam perjalanan akhirnya sampai juga di rumah sakit tempat ibu dirawat. Disana tak ada siapapun yang menunggunya. Tetangga sudah pulang karena punya kesibukan masing-masing."Bu," sapa Mas Azzam. Dia langsung memeluk tubuh ibunya yang terbaring lemah tak berdaya.Netra ibu tampak berkaca-kaca. Mulutnya bergetar, ingin mengucapkan sesuatu tapi tak bisa.*"Ibu Yanti mengalami stroke, hampir separuh tubuhnya tak bisa digerakkan."Penjelasan dokter membuat Mas Azzam makin terluka. Kulihat air mata itu menitik dari pipinya.Rasa hatiku ikut perih, menyaksikan ibu mertuaku tak berdaya. Ibu yang dulu dengan jumawa'nya menghinaku kini justr
"Dek, siap-siap kita akan datang ke pernikahan Icha," ucap Mas Azzam."Kita jadi pulang kampung, Mas?""Iya. Ibu terus menghubungi, meminta kita datang. Kita buktikan saja ucapan ibu benar apa tidak. Kalau ibu bohong lagi, kita akan langsung pulang."Aku mengangguk, lantas bersiap-siap mengganti baju.Mas Azzam menggenggam tanganku dengan erat, berkali-kali menciumi keningku. Ya, hubungan kami sudah membaik sejak tak ada lagi yang mengganggu.Kami sampai di kampung, bertepatan dengan akad nikah Icha. Aku tak tahu persis bagaimana awalnya, kenapa tiba-tiba Icha dinikahkan di kampung."Icha diperkosa, makanya segera dinikahkan agar tidak menjadi aib," tutur ibu mertua saat Mas Azzam bertanya mengenai hal ini. Kulihat air mata ibu tumpah.Walaupun kecanggungan diantara kami begitu kentara, tapi aku sempat memeluk ibu mertua. Aku merasa sekarang sikapnya sudah berubah, jauh lebih lembut.Setelah meng
Icha masih berada dikamarnya dengan balutan kebaya brokat berwarna putih. Riasan wajahnya terkesan natural justru membuatnya semakin ayu. Wajahnya yang putih bersih tak perlu mendapat banyak polesan. Ya, dia memang secantik itu, hidungnya juga mancung. Rambutnya yang panjang sepunggung membuatnya mudah untuk disanggul dan diberi hiasan hairpiece."Kamu cantik sekali..." puji Bu Yanti. Dia menemaninya sedari tadi.Icha termenung, pikirannya berkelana jauh. Kalau menikah sekarang berarti aku tak punya harapan lagi bersama Mas Azzam, batinnya bersedih."Sudah jangan bersedih lagi, jalani saja, dan tetap berdoa semoga kedepannya baik-baik saja."Icha mengangguk, Budhenya seolah tahu apa yang dirasakannya sekarang."Budhe, memangnya Mas Azzam gak datang?" tanya Icha, dia ingin sekali bertemu dengan kakak sepupunya itu."Sepertinya dia takkan datang.""Kenapa budhe? Sebenci itukah Mas Azzam padaku? Hingga dia tak m
Pernikahan Icha dan Raka sudah ditentukan. Mau tidak mau Bu Yanti harus menghubungi anak lelakinya, Azzam. Ia tidak tahu anaknya akan pulang ataupun tidak, tapi yang terpenting ia akan memberitahukan hal ini padanya.Berkali-kali panggilan telepon itu tidak diangkat. Akhirnya ia mengirimkan pesan singkat.[Zam, Icha akan menikah hari Minggu besok. Kalau bisa kamu dan Lili hadir disini ya]Azzam terkejut saat membaca pesan ibunya. Kok tiba-tiba Icha menikah? Apa yang terjadi? Apakah ibu bersandiwara lagi?"Dek, ini ibu kirim pesan, katanya Icha mau menikah," ucap pria itu kepada istrinya."Apa, Mas? Icha menikah? Sama siapa? Kok mendadak?""Entahlah, mas juga gak tahu.""Ya sudah kita kesana, Mas.""Jangan dek, takutnya ini hanya sandiwara ibu. Aku gak mau terjebak tipuan ibu lagi.""Masa sih Mas, hal sepenting ini ibu tega menipu?""Ya kita kan sudah berkali-kali dibohongi sama ibu, aku gak bis
"Enggak!" teriak Icha. Dia berlari sekencang-kencangnya, menjauh dari tempat terkutuk itu.Nafasnya tersengal-sengal, ia memilih berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Laki-laki itu tak lagi mengejarnya. Tapi ia mulai bimbang, ada dimana dia sekarang.Cukup lama berjalan, tak ada taksi yang lewat. Sepi.Icha berjalan kaki ke rumahnya dengan hati kesal. Ia menggerutu sepanjang jalan. Jarak menuju rumah, cukuplah jauh. Ia pasti akan merasa lelah. Apalagi malam-malam begini, jalanan semakin sepi dan mencekam. Gadis itu jadi menyesal, kenapa tak mengindahkan kata-kata budhenya. Kenapa dia harus pergi malam-malam begini. Ia pun tak tahu persis, kemana kakinya harus melangkah.Tiba-tiba ditengah jalan, ia dihadang dan digoda oleh para preman. Icha makin ketakutan saat melihat segerombolan pemuda itu."Halo cantik, mau kemana malam-malam begini?""Sayang sendirian aja nih, abang temenin ya!"Gadis itu merasa takut, kar