Share

Istri Yang Kubenci
Istri Yang Kubenci
Penulis: Yudhi Nita

Bab 1. Istri Yang Kubenci

Bagas memarkir mobilnya di garasi rumah. Anita, sang istri menyambutnya dengan senyuman cerah. Namun, seberapapun cerah senyuman yang diupayakan, tidak juga membuat Bagas membalas senyumannya.

Pria itu menyodorkan tasnya ke tangan Anita, lalu melewati sang istri begitu saja. Anita menatap nanar pada punggung suami yang selalu saja tidak bersikap hangat padanya. Senyumnya pudar, begitu melihat sikap yang biasa dilakukan oleh suaminya. Namun, kesalahan satu tahun yang lalu membuatnya bertahan, karena keyakinannya akan cinta suami yang masih dia harapkan.

"Mas, ini taruh sini?" tanya Anita, meletakkan tas Bagas di meja.

"Biasanya juga di situ, kan!" balas Bagas. Suara yang terasa agak lebih keras. Namun, bagi Anita sudah biasa diperlakukan seperti itu.

Mungkin dia lelah seharian bekerja.

"Baik," sahut Anita tanpa menyaingi volume suara suaminya.

"Minum kopi apa teh, Mas?" tanyanya lagi saat Bagas melepaskan kemejanya.

"Terserah," sahut Bagas masih terasa ketus.

"Baik," sahut Anita lagi, berjalan ke dapur dan mengambil sebuah cangkir untuk dia isi dengan kopi sesuai dengan selera Bagas seperti biasanya. Dua sendok teh kopi dan satu sendok teh gula.

Anita meletakkannya di meja, lalu berjalan menyiapkan makan malam. Sebelum itu, dia mendengar suara bayinya menangis. Tergopoh, Anita mendatangi kamar dan menggendong untuk memberi ASI pada anaknya. Dalam gendongan, Anita menyusui sambil melanjutkan untuk menyiapkan makan malam suaminya.

"Gulai kambing, tadi aku beli daging kambing di pasar, Mas. Lalu kubuat gulai. Enak," celoteh Anita, tapi kembali tidak digubris oleh Bagas yang langsung menyantap makan malam yang disiapkan sang istri.

Seperti malam-malam sebelumnya, Bagas tidak berbincang dengan Anita. Anita sebenarnya rindu, ingin sekali mengobrol tentang segalanya bersama suami seperti yang dia lihat di drama-drama romantis atau seperti yang dia dengar dari teman-temannya. Namun, kenyataan lain bahwa dia harus menerima keadaan rumah tangganya yang berawal dari sebuah kesalahan. Ya, satu tahun yang lalu tidak sengaja dia tidur dengan Bagas yang mabuk. Rasa cintanya yang dipendam lama, membuat Anita nekat masuk ke kamar hotel yang ditempati oleh Bagas karena didorong oleh teman-temannya. Mereka tahu selama sekolah dulu, Anita cinta mati pada Bagas, senior mereka. Baru lima tahun setelah itu, ada reuni akbar dan teman-temannya menaruh obat perangsang ke dalam gelasnya.

Ya, setelah memasuki kamar hotel tempat Bagas tidur, Anita menikmati malamnya, memberikan kehormatannya pada pria itu dengan sepenuh hati karena Bagas tidak kuat lagi menahan rangsangan dari obat yang sudah terlanjur menjalar di sekujur tubuhnya. Itu butuh pelampiasan dan hanya ada Anita di dalam kamar itu. Namun, ketika fajar tiba, Bagas menyesali seluruh perbuatan yang mereka lakukan. Walau demikian dia tetap bertanggung jawab menikahi Anita meski dia tidak pernah mencintai Anita, sampai saat ini. Bahkan, meski Anita telah hamil dan melahirkan anak kandungnya.

"Enak?" tanya Anita yang tidak lelah mendahului berbicara setiap waktu.

Bagas hanya diam. Anita menyunggingkan senyum paksa, merasa denyut yang menyakitkan, tapi tetap dia pasang wajah sebaik mungkin. Demi ridho sang suami. Bagas masih memakan makan malamnya dengan lahap. Apa yang dilihat oleh Anita sekarang sudah menjadi jawaban dari pertanyaannya. Itu sudah cukup memuaskan Anita.

"Sudah, Mas?" tanya Anita yang menemani Bagas dengan setia sambil menggendong anak dalam pelukannya.

Baginya, itu adalah hal yang membahagiakan bisa menemani sang suami makan di ruang makan. Meski hanya diam dan diam, tapi dia merasa bisa hidup bersama dengan Bagas adalah sesuatu yang membahagiakan.

"Udah."

Begitu saja lalu Bagas beranjak dan berlalu ke kamar mandi. Anita memberesi peralatan makan di ruang makan, masih sambil menggendong anaknya. Dalam waktu sepuluh menit Bagas telah selesai mandi dan duduk di sofa ruang tengah.

Dari ruang itu, dia bisa melihat Anita yang mencuci piring dan peralatan masak yang belum dia bersihkan.

"Aku sangat membencinya, wanita yang dulu pasti sengaja tidur denganku dan dia sekarang makin buruk rupa. Badannya penuh lemak menggelambir di bagian tubuhnya. Nggak enak dipandang," gumam Bagas saat menatap tubuh Anita dari belakang.

Baru dua bulan Anita melahirkan dan badannya memang tidak sebagus dulu. Di mata Bagas, Anita bukanlah sosok yang sesuai dengan keinginannya. Tidak cantik, tidak seksi, tidak memiliki kepandaian dalam hal apapun menurutnya. Jika masakan enak hanyalah kewajiban dan kewajaran seorang istri dalam pandangan mata Bagas.

"Seharusnya aku nggak datang ke reuni itu. Kenapa bisa aku tidur satu kamar dengannya," gerutu Bagas.

Kedua matanya bergulir ke layar televisi dan memilih untuk menikmati tontonan di layar, melihat wanita-wanita berpenampilan lebih baik dari istrinya.

"Mas, bajunya masih dipake besok?" tanya Anita membuyarkan konsentrasi Bagas ke televisi.

"Nggak!" sahutnya, melirik ke bayi yang masih digendong Anita.

Bagas belum pernah memegang bayinya sejak dilahirkan, tapi dia memang tidak berminat untuk menyentuhnya sedikitpun. Bagas mengeluarkan ponsel ketika Anita memasukkan baju kotornya ke dalam mesin cuci. Saat itu, bayi mereka juga rewel, tapi Bagas tidak perduli. Dia membiarkan Anita menenangkan bayi mereka sambil menunggui mesin cuci.

Anita belum berhasil menenangkan sang bayi, malah membuatnya makin menangis keras. Bayi perempuan itu, entah kenapa rewel sekali. Tiba-tiba, padahal tadi dia sangat tenang di gendongan ibunya.

"Sudah jelek, nggak becus urus anak," gumam Bagas.

Anita meringis, mencoba menenangkan sang bayi dengan menepuk-nepuk pantatnya. Namun, bayi itu seolah merasakan hati Anita yang galau. Ya, jika diminta jujur dia ingin sekali diperhatikan oleh suaminya. Benar kata sang mertua dan ibunya sendiri jika seorang bayi itu bisa merasakan apa yang dirasakan oleh ibunya.

Anita memberi nama anaknya Alicia Arsenio. Diambil dari nama depan suaminya, Arsenio Bagas. Dia memanggil anaknya Cia.

"Cia sayang, mau apa ya? Ayolah, Nak. Mama bingung kalo kamu rewel? Perutnya kembung?" tanya Anita.

Begitu terus sampai lima belas menit berlalu. Bagas tidak bisa menahan emosinya ketika matanya ingin beristirahat, tapi tangisan bayi merusak suasana.

"Bisa kamu diamkan anak itu nggak!" bentaknya mendekati Anita.

Kedua mata Anita terkaget melihat kemarahan sang suami. Dia juga lelah, tapi berusaha tetap waras agar anaknya bisa tenang. Namun, dia paham kenapa sang anak rewel, pasti merasakan kegundahan hati yang tidak bisa dia tutupi pada insting sang anak terhadap ibunya.

"Dia mungkin nggak nyaman, Mas."

"Kamu kan ibunya! Harusnya kamu bisa membuatnya diam! Aku pusing mendengar suara bayi itu!"

"Anak kita, Mas."

Bagas mengeratkan rahang. Dia tidak rela memiliki anak dengan Anita. Dia bergerak meraih jaketnya, menyambar kunci mobil dan keluar dari rumah sambil menutup pintu dengan sangat kasar.

Dua bulir hangat mengaliri kedua pipi Anita. Semula, dia kira apa yang dia tahan bisa dia topengi dengan wajah bahagia, tapi ternyata runtuh juga pertahanannya. Hatinya luka. Dia menangis bersamaan dengan tangis sang bayi yang makin menjadi-jadi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Agniya14
Mantap banget ceritanya kak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status