Share

Bab 2. Pertanyaan Yang Wajar

"Kenapa muka kamu? Kusut bener?" tanya Roni pada Bagas yang kala itu duduk di cafenya.

Datang dengan wajah kesal, Bagas menghempaskan pantatnya begitu saja ke kursi di pojokan. Untungnya, pengunjung belum berdatangan petang itu. Jadi, Roni bisa menemui temannya itu dulu.

"Kesel."

"Kenapa, kenapa?" cecar Roni.

Bagas menghela napas kesal.

"Punya istri yang kucel kayak Nita. Mamaku ngidam apaan dulu sampe aku kudu nikahin adek kelas yang dari dulu memang nggak terkenal itu."

Roni terkekeh mendengarnya. Meski dia berasal dari sekolah yang berbeda, tapi dia tau bagaimana Bagas bisa menikahi Anita.

"Walau bagaimanapun, itu istri kamu. Apa kamu udah kasih dia pelayanan maksimal? Perawatan di salon atau kasih dia baju-baju bagus gitu?" tanya Roni, mencoba mencarikan solusi terselubung.

"Heleh, ngapain dikasih kayak gituan. Udah boros, nanti nggak ada perubahan. Aslinya jelek ya jelek aja," sahut Bagas. Nadanya memang sudah eneg. Tidak mau mendengar saran Roni. Baginya, sosok Anita bukan typenya sejak dulu, sejak jaman SMU.

Roni menggelengkan kepala mendengar keluhan temannya itu.

"Udah, udah. Sekarang kamu mau minum apa? Buat kamu, free minuman. Makanannya bayar ya?"

"Iya, aku bayar makanannya. French fries aja, udah kenyang tadi. Terus minumnya lemon tea aja. Makasih Bro."

"Santai. Mau bungkusin istri kamu juga aku layanin."

"Nggak."

Roni terkekeh. Lalu beranjak untuk membuatkan pesanan temannya. Apalagi, pengunjung cafe sudah mulai berdatangan. Dia harus memulai pekerjaannya. Menemani Bagas tidak akan ada habisnya, mengumpat sang istri yang dia nikahi tanpa cinta itu.

Seorang pelayan membawakan pesanan Bagas. Pria itu, menerimanya lalu mulai melahap makanan dan menyesap minumannya dengan malas. Jika ingat Anita, hilang sudah semangatnya. Padahal tadi, dia akan dipromosikan naik jabatan menjadi manager di perusahaan tempatnya bekerja. Senang, tapi rasanya sia-sia beristrikan Anita.

Beberapa orang membawa pasangannya, membuat rasa iri dalam hati Bagas. Kenapa penampilan para wanita bisa semanis itu? Sementara istrinya di rumah tidak bisa seperti wanita-wanita yang dia temui, baik di kantor maupun di restoran.

***

Anita duduk dengan kedua mata berkaca-kaca di depan cermin. Betapa lelah dirinya. Kedua mata sudah laksana mata panda karena setiap malam harus bergadang demi si bayi. Terlebih, di siang hari ketika bayinya tidur, dia tidak bisa istirahat untuk mengganti semalam. Begitu banyak cucian, makin banyak saat melahirkan. Belum lagi membersihkan rumah, memasak, menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam.

Bagas tipe orang yang tidak mau makanan yang dihangatkan. Dia selalu ingin menu baru setiap makan. Jadi, Anita harus menyiapkan masakan tiga kali sehari. Namun, semua itu dia lakukan dengan ikhlas. Meski raganya seringkali merasakan lelah, tapi hatinya senang ketika Bagas menikmati masakannya.

Akan tetapi, petang itu hatinya berdenyut sakit. Menatap bayi yang dia letakkan di atas tempat tidur. Tempat tidur yang dia rebahi sendirian bersama sang bayi, karena sang suami memilih untuk tidur di sofa atau di kamar tamu.

"Dia juga anakmu, Mas. Aku tidak membuatnya sendirian."

Tangan Anita membelai pipi bayi yang sudah tertidur pulas itu. Sempat kejengkelannya pada si bayi yang tidak berdosa membuat kesadarannya terkikis. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang karena rasa cintanya pada keluarga.

"Tenanglah, Nak. Papa mencintaimu, pasti dia mencintai kita. Jangan menangis lagi ya? Dia hanya kesal pada mama. Dia kesal karena malam itu mama masuk kamarnya dengan sengaja. Nak, jangan benci sama papa, ya? Dia adalah pria terbaik di mata mama. Pasti juga di matamu, Nak. Percayalah."

Senyum mulai terbit di wajah Anita saat membelai bayi dua bulan itu. Hidungnya mirip sekali dengan Bagas. Mancung. Lalu, kedua matanya dan bibirnya juga. Dia sangat bersyukur dan bahagia sekali bisa mendapatkan seorang anak dari pria yang sangat dicintai.

"Mama juga mencintaimu, Nak. Sangat mencintaimu."

Sebuah kecupan mendarat di kening si bayi, membuat bayi itu sedikit menggeliat gemas, lalu kembali tertidur pulas.

Tanpa terasa, kedua mata Anita terlelap sambil telunjuknya digenggam oleh bayinya. Bayi mungil itu merasakan damai di sebelah ibunya.

***

Tangan Bagas nyaris melepas gelas berisi lemon tea saat seseorang menepuk lengannya. Lembut, tapi cukup membuat kaget Bagas yang sedang merenungi nasibnya.

Dia menoleh dan inilah awal dari segalanya. Seorang gadis cantik luar biasa, berdiri di belakangnya dengan senyuman yang sangat manis menawan.

"Delisa? Kamu bener Putri Delisa?"

Secara tidak sadar, Bagas berdiri menatap gadis itu dari atas ke bawah. Sejenak, ingatannya kembali ke masa putih abu-abu. Gadis yang mengangguk di depannya adalah gadis yang berprestasi di bidang akademik sekolahnya dulu. Dia menjadi rebutan banyak lelaki masa itu. Dan konon katanya, gadis itu sangat idealis memilih kekasih. Bagas adalah salah satu dari sekian banyak pria yang mengidolakan dan sampai mimpi basah karena sosok Delisa yang datang ke dalam mimpinya, padahal gadis itu hanya sekali dia boncengkan di saat hujan. Saat itu, usai pengajian kelas, dia beruntung sekali karena berkesempatan mengantarkan seorang Putri Delisa ka rumahnya.

Sayang, hanya satu kesempatan itu saja yang dimiliki oleh Bagas dan gadis itu tidak pernah lagi menatapnya setelah hujan kala itu.

"Bagas, ya? Wah, udah sukses sekarang?" sapanya, memudarkan angan Bagas yang melayang-layang ke waktu lampau.

"Nggak juga. Kamu pasti yang sukses, Sa. Lihat penampilan kamu. Menawan," puji Bagas terang-terangan.

Senyum Delisa terbit saat mendengar pujian itu. Sebenarnya, pujian yang biasa dia dengar dari mulut orang-orang, tapi kali ini entah mengapa dia sangat terkesan.

"Boleh aku duduk di sini?" tanya Delisa, menunjuk ke kursi di depan Bagas.

"Boleh, tentu saja boleh."

"Mau makan apa? Pesen aja. Aku yang bayar," tawar Bagas.

Tiba-tiba, serasa level semangatnya naik drastis begitu melihat sosok Delisa. Gadis itu, tidak banyak berbeda dari dulu ketika masih berseragam putih abu-abu. Malah makin cantik saja. Ah, andaikan. Bagas mulai berandai-andai.

"Tuh kan, kamu sekarang sukses. Buktinya kamu mau bayarin makan aku," celoteh Delisa, memperbaiki posisi duduknya, lalu meraih daftar menu di atas meja.

Bagas tergelak mendengar ucapan itu.

"Kamu konyol. Apa takaran sukses itu cuma soal bayar membayar makanan temen? Nggak juga, kali!" sahut Bagas.

"Nggak banyak orang bisa mentraktir temennya, Gas. Aku udah bertemu banyak mantan temen, tapi di antara mereka banyak juga yang susah keluar duit. Ya ... nggak komen sih, karena mereka udah berkeluarga. Eh, kalo kamu? Apa kamu udah berkeluarga?" tanya Delisa.

Pertanyaan itu, seharusnya pertanyaan yang sangat wajar ditanyakan oleh seorang teman lama. Namun, bagi Bagas terasa berat menjawabnya.

Bagas hanya menghela napas berat. Kenapa Anita harus merusak semua mimpinya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status