Share

Bab 3. Tidak Mencintainya

"Aku punya istri."

Bagas menemukan gurat kecewa di wajah Delisa. Rasanya ada sedikit kerisauan untuk mengakui keadaan sebenarnya, tapi melihat raut wajah Delisa, dia berubah menjadi agak gembira. Seseorang bisa merasa senang ketika orang yang disukai dia kira menaruh rasa cemburu dan Bagas berharap itu.

"Oh, maaf. Jadi, aku sekarang duduk bersama dengan pria beristri."

Delisa tersenyum getir. Dia rasa, menemukan orang yang sama-sama single di usianya sekarang tidaklah mudah. Bahkan teman-teman prianya banyak yang sudah menikah. Delisa merasa sendirian lagi. Hal yang selalu disesalinya, kenapa dia pilih-pilih kekasih di masa lalu. Itu membuat para pria menjauh darinya dan makin merasa kecil hati di hadapan seorang Delisa yang pintar dan cantik.

"Nggak apa-apa. Kamu nggak usah ngerasa sungkan. Nggak usah kamu pikirkan statusku. Toh, di sini nggak ada yang kita kenal. Teman-teman kita banyak yang sudah pergi dari kota ini."

"Tapi, kan ada teman istrimu–"

Bagas tersenyum mendengar kegalauan Delisa. Sampai seorang pelayan datang menghentikan pembicaraan itu.

"Mendingan aku pindah tempat duduk, Gas. Di sana, baru saja orang yang menempatinya pergi."

Delisa menatap ke sudut. Mungkin tempat duduk di dekat jendela lebih baik dari pada duduk bersama dengan seorang pria yang sudah beristri. Dia mulai berdiri.

"Sa, serius. Jangan kekanakkan. Kita hanya makan di cafe, bukan nginep di hotel. Duduklah di sini."

Tangan Bagas memegang pergelangan tangan Delisa dan menahannya agar tidak pergi.

"Aku nggak enak–"

"Kita cuma ngobrol, bukan mau ciuman, Sa. Kamu santai dong. Teman istriku nggak banyak, kamu nggak perlu khawatir," ucap Bagas agaknya lega melihat Delisa kembali duduk. Dia melepas pegangan tangannya.

"Kakak, jadi pesan apa?" tanya pelayan pria. Sejenak dia mengagumi kecantikan Delisa. Namun, enggan juga berdiri terlalu lama di samping dua orang yang berdebat halus itu.

"Oh, iya. Saya mau pesan steak tenderloin, medium rare ya? Minumnya teh hangat aja."

Delisa melempar senyum ke arah pelayan. Bagas merasa tidak ikhlas melihat senyum itu harus dibagi dengan pria lain. Padahal, dia bukan siapa-siapa Delisa.

"Kamu masih suka steak?" tanya Bagas. Percakapan itu sebenarnya untuk menahan matanya menatap wajah cantik yang tersedia di hadapannya.

"Kadang," sahut Delisa menautkan kedua alisnya, menganggukkan kepala. Dia sebenarnya kikuk ditatap oleh Bagas seperti itu.

"Kalo kamu suka steak, ada tempat makan steak yang terbaik di perbatasan kota. Itu tempat langganan kantorku, jika teman-temanku merayakan apapun."

Delisa hanya mengangguk kecil dan tersenyum. Namun, di mata Bagas itu adalah sesuatu yang istimewa. Bagaimana tidak luar biasa rasanya ketika bertemu dengan sang idola setelah bertahun-tahun lamanya berpisah. Ditambah lagi idolanya masih single.

"Kamu kerja di mana, Delisa?" tanya Bagas.

"Aku ... cuma bikin konten masak."

Bagas terpana setiap apa yang dikerjakan oleh Delisa. Seolah secuil keburukan tidak pernah ada dalam gadis itu.

"Beda bener sama jurusan kamu dulu. Kamu IPA, kan?"

Delisa tergelak mendengarnya. Dia sendiri merasa Bagas benar.

"Iya, aku dulu senang sains, tapi entah kenapa aku malah sekarang lebih memilih membuat konten memasak dari pada kerja di rumah sakit, padahal aku sempat kuliah di akbid."

"Akbid? Bu bidan, dong."

Kembali, Delisa tergelak malu mendengar celetukan Bagas.

"Iya, bidan ngadat karena malah banting haluan ke masak-masak," tukas Delisa, merendahkan diri.

Bagas tertawa renyah. Gadis di depannya itu, selain good looking juga bisa joking. Kadar terpananya bertambah ratusan kali lipat.

"Sayang banget, ya?" celetuk Bagas.

Kedua mata Delisa membulat sempurna mendengar celetukan singkat yang tidak nyambung dengan pembicaraan sebelumnya.

"Sayang ... maksudnya?" tanya Delisa, memasang wajah tidak paham.

"Nggak apa-apa," sahut Bagas, menyisakan teka-teki. Namun, Delisa hanya menyunggingkan senyum tanpa tahu maksud Bagas.

Sayang sekali para pria tidak ada yang bisa memikat hatinya.

Pelayan tadi datang lagi, mengantarkan steak dan teh hangat sesuai dengan keinginan Delisa.

"Makasih," ucap Delisa.

Pelayan itu membungkuk dan kelihatan langsung pergi karena bergidik dengan lirikan sebal Bagas padanya.

"Kamu nggak nambah?" tanya Delisa melihat piring Bagas hanya tersisa remahan kentang goreng.

"Nggak, takut gemuk. Pria dengan perut buncit, susah ngempesinnya. Eh, tapi ada bu bidan yang nanti bisa kasih tips kalo suatu saat nanti perutku bisa buncit," kekeh Bagas, agak mencondongkan badan ke arah Delisa.

Delisa kembali tertawa mendengarnya. Suara tawa Delisa bagai alunan merdu di telinga Bagas. Puas rasanya bisa membuat Delisa tertawa seperti itu, seperti ketika dia memboncengkannya di jaman sekolah dulu.

"Bisa aja," sahut Delisa, lalu sepotong steak mulai masuk ke mulutnya.

Bagas menatap lekat wajah Delisa. Bahkan saat makan pun, gadis itu tampak cantik. Segalanya tentang Delisa tampak cantik di mata Bagas.

Obrolan mereka berlanjut, mengenang masa-masa sekolah dulu. Sementara itu, Roni memperhatikan Bagas dan menggelengkan kepala karena pria itu berubah total begitu kedatangan seorang gadis cantik yang dia sendiri juga tidak mengenalnya. Namun, karena mood Bagas sudah membaik, Roni tidak lagi mengusiknya. Dia fokus pada pekerjaannya saja.

***

Anita terbangun pada pukul sebelas malam. Dia bangun untuk menyusui sang bayi. Bidan mengatakan bahwa bayi harus menyusu setiap dua jam sekali. Jadi, Anita selalu terbiasa bangun setiap dua jam agar bayinya tidak dehidrasi. Bayinya tergolong lahir kecil. Anita adalah wanita yang lemah terbalut dengan wajah sok tegarnya.

Sebenarnya hatinya rapuh karena sikap Bagas, tapi dia kuat-kuatkan saja. Alhasil, semua itu berdampak ke bayinya. Awalnya, bidan bilang bayinya kurang gizi atau stunting meski penambahan berat badannya sudah mulai lumayan. ASI Anita juga lumayan karena ibu mertuanya selalu mengirimkan jamu dan daun katuk untuk memperlancar ASI-nya.

Kebaikan ibu mertuanya juga termasuk salah satu hal yang membuatnya bersyukur karena bukan seperti ibu mertua lain yang dibilang julid atau mau menguasai anak lelakinya. Justru ketika Anita tidak diperhatikan oleh Bagas, wanita paruh baya itu acapkali memarahi putranya. Itulah yang membuat Anita patuh terhadap mertuanya. Ibunya jauh dari kota itu, jadi mertuanya menjadi pengganti ibu Anita.

Anita menyusui bayinya. Bayi itu mulai lahap menyusu. Tidak pernah Anita membiarkannya kelaparan, terlebih di malam hari. Malahan, Bagas tidak pernah bangun untuk menemaninya. Tidur pun terpisah, tidak pernah menyentuh bayinya, mana mau menemani istrinya menyusui?

Setelah bayinya puas menyusu dan kembali terlelap, Anita beranjak dari tempat tidur. Dia keluar untuk minum. Dahinya berkerut melihat ruangan masih dalam keadaan terang. Anita mencoba memberanikan diri untuk membuka kamar tamu di mana biasanya Bagas tidur.. Namun, ruangan itu juga masih terang dan tidak dia dapati sang suami di sana.

"Udah jam sebelas, kenapa belum pulang?" gumam Anita.

Wanita itu meraih ponsel, lalu berjalan ke dapur sambil memencet nomor Bagas. Dia menempelkan ponselnya di telinga, sambil menuang air putih hangat ke dalam gelas. Mengambil susu ibu menyusui dan menaruhnya ke gelas tadi dan diaduknya. Sampai dia teguk habis, Bagas tidak juga mengangkat panggilannya.

***

"Kenapa nggak kamu angkat, Gas?" tanya Delisa, ketika mereka masih mengobrol.

Delisa melihat sinar dari layar ponsel Bagas. Sekali meredup, sinar itu kembali lagi menyala-nyala. Dia yakin, itu panggilan dari seseorang.

"Nggak penting," sahut Bagas.

"Istrimu?" tanya Delisa.

"Iya, udah aku bilang sama kamu tadi. Dia cuma menjebakku sampai hamil dan membuatku menikah dengannya. Aku tidak mencintainya, Delisa."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status