Share

Bab 6. Kapan Datang

Suara tangis bayi membuat Bagas menghentikan aksi brutalnya. Tangannya melepas begitu saja semua yang dia sentuh. Anita masih tersungkur di lantai yang dingin. Rasanya sangat terhina ketika Bagas melepaskan Anita dengan satu sentakan ke lantai. Bagas tampak meraup wajah, tapi kemudian memakai kembali bajunya.

"Urus bayimu."

Anita bergeming. Dia terisak menelungkup di atas lantai dengan daster robek, persis seperti korban pemerkosaan. Mengabaikan bayinya yang menangis seolah merasakan apa yang dia rasakan. Ketika tersadar, Anita segera berdiri dengan susah payah, merasakan perih di daerah kemaluannya. Sakit fisik juga sakit hatinya. Anita berjalan tertatih ke kamarnya dan melihat sang bayi menendang-nendang sambil memejamkan kedua mata menangis kencang.

"Iya, ibu nggak apa-apa, Nak. Sini, ibu gendong. Minum susu, ya?"

Dengan suara tersendat, Anita mencoba menenangkan sang bayi. Meski tangannya masih bergetar karena kelakuan Bagas tadi, tapi dia berusaha untuk menggendong anaknya dengan sekuat tenaga. Sang bayi sudah mulai menyusu dan dia menepuk-nepuk pantat bayinya dengan lembut agar tenang, meski dengan hati yang hancur.

"Tuhan, apa tidak ada sedikitpun rasa cinta mas Bagas untuk kami?" gumamnya. Desir perih menjalari hatinya.

***

Berhari-hari, Bagas tidak merasa bersalah, malah mengumpulkan teman-teman SMU-nya. Rasa penasaran akan Delisa, membuatnya nekat mencari teman-teman yang dulu adalah mantan teman satu sekolahnya. Dengan modal nekat, dia mengobarkan semangat untuk mengadakan reuni akbar yang kedua setelah reuni yang dia hadiri mengecewakan karena menghasilkan pernikahan buruk sepanjang hidupnya.

"Ternyata sulit sekali menemukan alumni-alumni, tapi demi Delisa, apapun akan kulakukan."

Sepulang kerja, Bagas hanya menatap ke layar laptopnya dari sore hingga pagi buta untuk mencari keberadaan teman-temannya di dunia maya untuk mencari sponsor. Dia juga membuat grup alumni besar. Selain itu, dia getol mengadakan pertemuan dengan temannya.

"Gas, coba hubungi Delisa. Mungkin dia itu donatur paling gede. Selama ini dia yang paling nggak kelihatan selama reuni. Aku penasaran gimana kabar dia sekarang," ucap Iqbal, salah satu teman sekelas Bagas.

"Iya, pasti dia aku undang. Acara ini demi–"

Kening Iqbal berkerut mendengar ucapan Bagas yang terhenti.

"Demi apa, Gas?" tanya Iqbal.

"Eh, demi keberlangsungan hubungan antar teman kita semua. Siapa tau kan dari acara reuni ini, kita bisa saling bantu. Dari yang sudah berpenghasilan besar bisa kasih pancing ke yang pengangguran. Sisi positifnya, kan?" balik Bagas, menutupi maksudnya sendiri mengadakan reuni.

"Weh, tumben. Biasanya kalo diajak reuni kamu bilang masa bodoh. Setelah nikah, kamu jadi anti sama reuni," gelak Azam.

"Masa, sih?" sahut Bagas.

Bagas mendengkus. Memang benar yang dikatakan oleh Azam bahwa sebelum ini dia anti reuni. Trauma rasanya jika mendengar kata 'reuni'. Pertama ikut reuni, menyebabkan dirinya harus bertanggung jawab menikahi Anita, wanita jelek yang bodoh dan tidak menarik menurutnya itu.

"Nggak ingat kamu pernah bilang ke aku?" tanya Azam.

"Nggak usah diinget-inget, Zam. Sekarang aku semangat kepengen ketemu kalian-kalian. Siapa tau ada yang ketemu jodoh abis reuni," gelak Bagas.

Iqbal dan Azam ikut tertawa mendengarnya.

"Asal jangan ada yang nyeleweng karena reuni," balas Iqbal.

Candaan itu, membuat Bagas terhenyak sendiri. Dia tersenyum kecut dan meraih minumannya, menatap ke sekitar cafe yang mereka datangi dengan pikiran yang bermacam-macam.

***

Tantri mendatangi rumah Bagas. Anita tergopoh membukakan pintu rumah.

"Ibu," sambut Anita dengan wajah semringah, melebarkan pintu agar ibu mertuanya bisa masuk ke dalam.

Anita menyalami wanita berumur lima puluhan tahun itu dan mencium punggung tangannya.

"Nita, di rumah sendiri?" tanya Tantri dengan lembut.

Anita mengangguk. Salah satu hal yang mendinginkan suasana adalah ibu mertuanya yang baik. Bahkan dia selalu merasa beruntung jika menyadari bahwa mertuanya sangat baik terhadapnya. Seringkali dia mendengar omongan buruk tentang mertua yang semena-mena, tapi tidak begitu dengan Tantri.

"Bagas itu ke mana sih? Udah sore begini, harusnya di rumah nemenin anak dan istrinya. Harusnya dia bantu-bantu kamu jagain Cia," keluh Tantri.

"Nggak apa-apa, Bu. Mungkin Mas Bagas lembur."

"Ah, kamu ini selalu gitu. Membela Bagas yang seringkali tidak bersikap baik. Maaf ya, Nita? Semoga kamu sabar menghadapi Bagas."

Tantri mengelus lengan Anita dengan lembut dan tersenyum hangat.

"Eh, mana Cia? Kangen ibu, mau gendong cucu," ujar Tantri yang memang ingin sekali bertemu dengan menantu dan cucu cantiknya.

"Barusan mandi, Bu. Itu di kamar," sahut Anita dengan senyumnya.

"Rajin sekali kamu, Nita. Setiap ibu datang, Cia sudah bersih dan wangi. Makasih ya, udah urus Cia dengan baik sekali. Ibu mau gendong. Oh iya, ibu bawa mangga di tas. Kamu suka, kan? Kebetulan mangga depan rumah baru panen. Itu, di kresek hitam, Nit."

"Wah, Ibu inget banget kesukaanku, makasih Bu!" ucap Anita dengan riang.

Selama ini, rasa rindu diperhatikan oleh sang suami tergantikan oleh mertua meski tidak sepenuhnya. Memang rasanya berbeda, tapi mampu mengobati kekecewaan Anita terhadap suaminya.

"Sama-sama," sahut Tantri, tersenyum melihat kebahagiaan Anita walau hanya dengan empat buah mangga saja. Betapa sederhana kebahagiaan Anita, tapi dia tidak habis pikir entah kenapa anak lelakinya memperlakukan Anita dengan kurang baik.

Tantri melangkah ke kamar. Wanita paruh baya itu menggendong cucunya dan menimang di dalam kamar. Tantri menciumi bayi dengan wangi minyak telon dan bedak bayi itu dengan penuh kasih sayang.

Baru beberapa saat, dia mendengar suara mobil datang. Tantri tersenyum lalu berniat keluar, tapi air kencing sang cucu yang merembes sampai ke bajunya karena dia gendong, membuat Tantri menunda niat dan meletakkan bayi itu untuk dia ganti popoknya.

"Anak cantik, Nenek gantiin popoknya, ya?" ujar Tantri sambil mengajak Cia berkomunikasi.

Cia mengoceh dan membuat Tantri tersenyum senang. Namun, kesenangan Tantri harus terhenti mendengar bunyi pintu yang dibuka dengan kasar.

"Mas, ada–"

"Ish!"

Tampak dari celah pintu kamar, Tantri melihat Bagas menampik tangan Anita yang sepertinya ingin menunjuk ke kamarnya, memberitahu bahwa ada ibunya di sana.

"Mas," panggil Anita lagi.

"Nggak usah sok panggil-panggil aku dengan panggilan 'mas' seperti itu lagi! Aku jijik!" bentak Bagas, melewati Anita yang berdiri mematung dengan wajah pias.

Hati Anita sakit sekali. Sejak kejadian malam itu ketika Bagas menyobek dasternya, mereka malah seperti perang dingin. Tidak ada percakapan sama sekali. Meskipun begitu, Anita tetap menyediakan makan dan minum untuk suaminya.

Anita mengelus dada. Melihat Bagas yang masuk ke kamar tamu, hanya berganti baju lalu seperti hendak pergi lagi dengan wajah tidak suka padanya.

Dada Tantri bergemuruh melihat itu dari celah pintu. Dia pun keluar menggendong bayi Anita.

"Bagas, ibu mau bicara."

"Lho, Bu? Kapan Ibu datang?" tanya Bagas dengan wajah pucat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status