Share

Bab 7. Perasaan Tidak Enak

"Kamu yang baik dong sama Nita. Kasihan dia, udah capek ngurusin rumah, tapi sikap kamu udah kayak nggak pernah diajarin akhlak di rumah," omel Tantri.

"Akhlak? Ibu ngomongin akhlak? Tanya tuh sama menantu kesayangan Ibu. Akhlak dia masuk ke kamar hotelku waktu itu! Apa dia nggak sengaja? Menurut Ibu, dia nggak sengaja kayak gitu?" balas Bagas.

Tantri mendesah mendengar ucapan Bagas. Menurutnya memang itu sebuah kesalahan, tapi selama ini Anita adalah menantu yang penurut. Jadi, dia sudah suka dengan Anita.

"Kamu juga mabuk kan? Andai kamu nggak mabuk, pasti juga nggak kejadian kayak gini. Yang jelas Cia juga anak kamu. Udah kamu tes juga DNA-nya. Jadi, apa lagi? Masih mau bersikap buruk sama dia? Nih, gendong Cia! Ibu belum pernah lihat kamu gendong Cia!" sungut Tantri, menyerahkan bayi dalam gendongannya ke tangan Bagas.

Bagas gelagapan menerima bayi itu.

"Bu, Bu! Ini berat, Bu."

"Laki-laki kok gendong bayi aja berat. Masih berat tabung gas yang setiap hari ditenteng sama Nita, tuh! Lembel banget kamu!" omel Tantri.

Bagas meringis, melihat ke wajah Cia. Memang, bayi itu tampak sekali mirip dengan wajahnya. Bagas agak luluh melihat bayinya. Namun, ketika melihat Anita datang membawa senampan gelas dan cemilan, dia langsung menaruh Cia di atas sofa.

"Bagas!" omel Tantri dengan kedua mata melotot.

"Aku ada urusan, Bu. Mau pergi dulu. Udah ditunggu sama temen-temen," ujarnya, langsung menarik kunci mobil lagi.

Selain memang ada janji karena ingin mewujudkan keinginannya, Bagas juga berniat menghindari ibunya.

"Oalah, Gas, Gas! Kayak gitu nggak pantes kamu jadi bapak!" maki Tantri dengan kesal dan mengambil kembali Cia ke dalam gendongannya.

Tidak ada respon juga dari Bagas. Dia malah membanting pintu mobil dan melaju begitu saja dari depan rumah. Tantri menoleh ke arah Anita yang termangu melihat hal itu. Anita hanya memaksakan senyum dan menurunkan dua gelas teh panas dan cemilan di atas meja.

***

Beberapa hari kemudian, karena keras keinginannya, Bagas bisa membuat kepanitiaan reuni. Panitia berhasil menyebar undangan. Sampai hari yang ditunggu tiba.

Ponsel Anita berbunyi. Dia meraih benda pipih kesayangannya itu, lalu mengerutkan dahi membaca pesan dari temannya.

'Anita, besok reuni akbar, kamu berangkat, kan? Hari Sabtu besok aku pulang dari luar kota. Jangan bilang kamu nggak datang.'

Wina, sahabatnya yang tinggal di kota lain, membuat Anita bingung.

"Reuni? Ah, aku sampe nggak tau ada reuni segala. Rasanya malas datang, apalagi ada bayi kecilku."

"Sekali-kali, Nit. Masa sih sejak nikah kita nggak pernah ketemu?" protes Wina.

"Iya, tapi ini anakku sama siapa kalo ikut acara reunian?" keluh Anita.

Bagi Anita, acara seperti itu sekarang tidaklah penting. Terpenting sekarang adalah buah hatinya.

"Ya nanti deh, tapi aku nggak janji."

Anita menutup panggilan telepon setelah brrbincang dengan Wina.

"Ikut aja, Nita. Biar Cia nanti ibu yang jagain."

Anita menoleh. Ternyata, Tantri sudah ada di belakangnya. Akhir-akhir ini memang Tantri sering ke rumah. Katanya kangen cucu untuk hiburannya. Karena sang suami sudah berpulang dua tahun yang lalu, jadi dia sendirian dengan pembantunya saja. Maka, Tantri memilih untuk mengunjungi Cia dan Anita setiap merasa kesepian.

"Eh, nggak kok, Bu. Nita nggak kepengen datang ke acara reuni. Bukan karena nggak percaya buat nitipin Cia, tapi ninggalin Cia sebentar aja, rasanya kayak terbayang-bayang, nggak betah lama-lama pergi dari Cia," jelas Anita.

Tantri mengulas senyum. Dia juga merasakan seperti yang Anita rasakan ketika melahirkan Bagas dulu. Mau pergi ke warung saja, bau tubuh bayinya terasa ke mana-mana.

"Ya udah. Terserah kamu aja. Sini, ibu gendongin. Kamu pasti capek kan, seharian ngerjain pekerjaan rumah? Udah, sekali-kali tinggalin pekerjaan rumah. Biar Bagas yang kerjain. Apa ibu carikan pembantu buat bantuin kamu, Nit?" tawar Tantri.

Anita tersenyum pahit. Menampung seorang asisten rumah tangga hanya akan menambah buruk sikap Bagas. Dia akan mengatainya macam-macam. Anita juga tidak mau jika ada orang lain yang melihat kelakuan suaminya. Juga canggung jika ada orang asing, sementara Anita sedang menikmati kebersamaan dengan pria yang dia cintai meski bertepuk sebelah tangan.

"Nggak usah, Bu. Makasih, Nita senang kok ngerjain semua ini. Sebuah kepuasan tersendiri kalau bisa membersihkan baju suami dan anak, juga membuatkan mereka makan dan minum. Bagi Nita, itu hal yang menyenangkan."

Tantri menyunggingkan senyum mendengar ucapan halus Anita. Dia sangat bersyukur dengan kedatangan wanita itu sebagai menantunya. Tidak pernah neko-neko dan hanya menginginkan ridho suami. Tantri sebenarnya malu pada Anita akan sikap Bagas. Namun, dia sendiri tidak bisa menasehati anaknya itu.

"Ya udah, terserah kamu ya, Nit. Kalo kamu seneng di rumah ya monggo, tapi kalo mau pergi, ibu siap untuk bantu kamu," ujar Tantri pada akhirnya.

Anita tersenyum. Apa yang dia katakan memang begitu adanya, bukan untuk menarik perhatian mertuanya atau apapun itu.

***

Hari yang dinanti telah tiba. Bagi para alumni mungkin itu adalah hari yang memang menggembirakan, tapi bagi Bagas itu sangat spesial. Dia memakai jas terbaik dan menyemprot parfum ke tubuhnya dengan semangat.

"Mau ke mana, Mas?" tanya Anita curiga.

Anita yang mencium bau parfum menoleh ke arah Bagas.

"Apa kamu perlu tau semua hal tentang aku?" tanya Bagas ketus.

"Apa kamu mau reuni?" tanya Anita yang ingat dengan ajakan Wina.

Bagas terhenyak mendengar tebakan Anita. Namun, dia hanya bersikap cuek akhirnya.

"Kenapa kamu begitu cerewet. Aku mau reuni lah, mau apalah, bukan urusan kamu," sahut Bagas.

Anita bergeming, tetap teguh menanyai Bagas meski jawaban yang menyakitkan.

"Tapi kamu suamiku, Mas. Jadi, aku berhak ingin tau."

Bagas hanya tertawa kering mendengarnya, lalu pergi meninggalkan rumah. Anita merasakan aneh di dadanya. Perasaannya tidak enak malam itu, entah kenapa. Dia juga tidak habis pikir kenapa mencerca Bagas dengan pertanyaan seperti itu, padahal biasanya tidak. Bagas juga baru menjawabnya dengan banyak kata hari ini. Namun, itu tidak diharapkan Anita, karena jawabannya sangat tidak enak di telinga.

"Mas, jangan pulang malam-malam!"

Anita sampai berlari ke pintu untuk meneriaki Bagas. Tidak tahu lagi apa yang ingin dia katakan. Dia hanya ingin segera melihat suaminya pulang dengan cepat.

Bagas tidak memperdulikannya sama sekali, malah melajukan mobilnya dengan kencang. Anita mengelus dadanya yang berdesir tak nyaman.

"Kenapa ya perasaanku nggak enak? Ah, paling cuma perasaanku aja. Semoga tidak ada apa-apa dengan mas Bagas."

Masih saja Anita mengkhawatirkan suaminya. Dia menutup pintu rumah dan tidak menguncinya agar Bagas tidak perlu menggedor pintunya saat masuk nanti.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status