"Kamu yang baik dong sama Nita. Kasihan dia, udah capek ngurusin rumah, tapi sikap kamu udah kayak nggak pernah diajarin akhlak di rumah," omel Tantri.
"Akhlak? Ibu ngomongin akhlak? Tanya tuh sama menantu kesayangan Ibu. Akhlak dia masuk ke kamar hotelku waktu itu! Apa dia nggak sengaja? Menurut Ibu, dia nggak sengaja kayak gitu?" balas Bagas.Tantri mendesah mendengar ucapan Bagas. Menurutnya memang itu sebuah kesalahan, tapi selama ini Anita adalah menantu yang penurut. Jadi, dia sudah suka dengan Anita."Kamu juga mabuk kan? Andai kamu nggak mabuk, pasti juga nggak kejadian kayak gini. Yang jelas Cia juga anak kamu. Udah kamu tes juga DNA-nya. Jadi, apa lagi? Masih mau bersikap buruk sama dia? Nih, gendong Cia! Ibu belum pernah lihat kamu gendong Cia!" sungut Tantri, menyerahkan bayi dalam gendongannya ke tangan Bagas.Bagas gelagapan menerima bayi itu."Bu, Bu! Ini berat, Bu.""Laki-laki kok gendong bayi aja berat. Masih berat tabung gas yang setiap hari ditenteng sama Nita, tuh! Lembel banget kamu!" omel Tantri.Bagas meringis, melihat ke wajah Cia. Memang, bayi itu tampak sekali mirip dengan wajahnya. Bagas agak luluh melihat bayinya. Namun, ketika melihat Anita datang membawa senampan gelas dan cemilan, dia langsung menaruh Cia di atas sofa."Bagas!" omel Tantri dengan kedua mata melotot."Aku ada urusan, Bu. Mau pergi dulu. Udah ditunggu sama temen-temen," ujarnya, langsung menarik kunci mobil lagi.Selain memang ada janji karena ingin mewujudkan keinginannya, Bagas juga berniat menghindari ibunya."Oalah, Gas, Gas! Kayak gitu nggak pantes kamu jadi bapak!" maki Tantri dengan kesal dan mengambil kembali Cia ke dalam gendongannya.Tidak ada respon juga dari Bagas. Dia malah membanting pintu mobil dan melaju begitu saja dari depan rumah. Tantri menoleh ke arah Anita yang termangu melihat hal itu. Anita hanya memaksakan senyum dan menurunkan dua gelas teh panas dan cemilan di atas meja.***Beberapa hari kemudian, karena keras keinginannya, Bagas bisa membuat kepanitiaan reuni. Panitia berhasil menyebar undangan. Sampai hari yang ditunggu tiba.Ponsel Anita berbunyi. Dia meraih benda pipih kesayangannya itu, lalu mengerutkan dahi membaca pesan dari temannya.'Anita, besok reuni akbar, kamu berangkat, kan? Hari Sabtu besok aku pulang dari luar kota. Jangan bilang kamu nggak datang.'Wina, sahabatnya yang tinggal di kota lain, membuat Anita bingung."Reuni? Ah, aku sampe nggak tau ada reuni segala. Rasanya malas datang, apalagi ada bayi kecilku.""Sekali-kali, Nit. Masa sih sejak nikah kita nggak pernah ketemu?" protes Wina."Iya, tapi ini anakku sama siapa kalo ikut acara reunian?" keluh Anita.Bagi Anita, acara seperti itu sekarang tidaklah penting. Terpenting sekarang adalah buah hatinya."Ya nanti deh, tapi aku nggak janji."Anita menutup panggilan telepon setelah brrbincang dengan Wina."Ikut aja, Nita. Biar Cia nanti ibu yang jagain."Anita menoleh. Ternyata, Tantri sudah ada di belakangnya. Akhir-akhir ini memang Tantri sering ke rumah. Katanya kangen cucu untuk hiburannya. Karena sang suami sudah berpulang dua tahun yang lalu, jadi dia sendirian dengan pembantunya saja. Maka, Tantri memilih untuk mengunjungi Cia dan Anita setiap merasa kesepian."Eh, nggak kok, Bu. Nita nggak kepengen datang ke acara reuni. Bukan karena nggak percaya buat nitipin Cia, tapi ninggalin Cia sebentar aja, rasanya kayak terbayang-bayang, nggak betah lama-lama pergi dari Cia," jelas Anita.Tantri mengulas senyum. Dia juga merasakan seperti yang Anita rasakan ketika melahirkan Bagas dulu. Mau pergi ke warung saja, bau tubuh bayinya terasa ke mana-mana."Ya udah. Terserah kamu aja. Sini, ibu gendongin. Kamu pasti capek kan, seharian ngerjain pekerjaan rumah? Udah, sekali-kali tinggalin pekerjaan rumah. Biar Bagas yang kerjain. Apa ibu carikan pembantu buat bantuin kamu, Nit?" tawar Tantri.Anita tersenyum pahit. Menampung seorang asisten rumah tangga hanya akan menambah buruk sikap Bagas. Dia akan mengatainya macam-macam. Anita juga tidak mau jika ada orang lain yang melihat kelakuan suaminya. Juga canggung jika ada orang asing, sementara Anita sedang menikmati kebersamaan dengan pria yang dia cintai meski bertepuk sebelah tangan."Nggak usah, Bu. Makasih, Nita senang kok ngerjain semua ini. Sebuah kepuasan tersendiri kalau bisa membersihkan baju suami dan anak, juga membuatkan mereka makan dan minum. Bagi Nita, itu hal yang menyenangkan."Tantri menyunggingkan senyum mendengar ucapan halus Anita. Dia sangat bersyukur dengan kedatangan wanita itu sebagai menantunya. Tidak pernah neko-neko dan hanya menginginkan ridho suami. Tantri sebenarnya malu pada Anita akan sikap Bagas. Namun, dia sendiri tidak bisa menasehati anaknya itu."Ya udah, terserah kamu ya, Nit. Kalo kamu seneng di rumah ya monggo, tapi kalo mau pergi, ibu siap untuk bantu kamu," ujar Tantri pada akhirnya.Anita tersenyum. Apa yang dia katakan memang begitu adanya, bukan untuk menarik perhatian mertuanya atau apapun itu.***Hari yang dinanti telah tiba. Bagi para alumni mungkin itu adalah hari yang memang menggembirakan, tapi bagi Bagas itu sangat spesial. Dia memakai jas terbaik dan menyemprot parfum ke tubuhnya dengan semangat."Mau ke mana, Mas?" tanya Anita curiga.Anita yang mencium bau parfum menoleh ke arah Bagas."Apa kamu perlu tau semua hal tentang aku?" tanya Bagas ketus."Apa kamu mau reuni?" tanya Anita yang ingat dengan ajakan Wina.Bagas terhenyak mendengar tebakan Anita. Namun, dia hanya bersikap cuek akhirnya."Kenapa kamu begitu cerewet. Aku mau reuni lah, mau apalah, bukan urusan kamu," sahut Bagas.Anita bergeming, tetap teguh menanyai Bagas meski jawaban yang menyakitkan."Tapi kamu suamiku, Mas. Jadi, aku berhak ingin tau."Bagas hanya tertawa kering mendengarnya, lalu pergi meninggalkan rumah. Anita merasakan aneh di dadanya. Perasaannya tidak enak malam itu, entah kenapa. Dia juga tidak habis pikir kenapa mencerca Bagas dengan pertanyaan seperti itu, padahal biasanya tidak. Bagas juga baru menjawabnya dengan banyak kata hari ini. Namun, itu tidak diharapkan Anita, karena jawabannya sangat tidak enak di telinga."Mas, jangan pulang malam-malam!"Anita sampai berlari ke pintu untuk meneriaki Bagas. Tidak tahu lagi apa yang ingin dia katakan. Dia hanya ingin segera melihat suaminya pulang dengan cepat.Bagas tidak memperdulikannya sama sekali, malah melajukan mobilnya dengan kencang. Anita mengelus dadanya yang berdesir tak nyaman."Kenapa ya perasaanku nggak enak? Ah, paling cuma perasaanku aja. Semoga tidak ada apa-apa dengan mas Bagas."Masih saja Anita mengkhawatirkan suaminya. Dia menutup pintu rumah dan tidak menguncinya agar Bagas tidak perlu menggedor pintunya saat masuk nanti."Duluan datang, Gas? Oh iya, panitia harus dateng duluan ketimbang tamu undangan," kekeh Iqbal.Bagas memukul pelan lengan Iqbal seraya tertawa. Dia menyembunyikan maksudnya, memang sengaja datang lebih awal bukan karena tanggung jawab menjadi panitia, tapi hanya ingin memastikan bahwa Delisa akan datang hari itu. "Kursi VIP buat donatur udah jadi disiapin, kan?" tanya Bagas pada Iqbal. Iqbal mendesah mendengar pertanyaan Bagas. "Aku nggak siapin. Apa nggak berlebihan kalo musti dikasih kursi VIP buat donatur, Gas? Nanti kerasa ada ketimpangan dalam hal ekonomi. Yang nggak jadi donatur ngerasa tersingkir." Bagas mencebik. Dia hanya bermaksud mengistimewakan Delisa, itu saja. Namun, sepertinya niat Bagas tidak terkabulkan. "Oke, nggak masalah. Asal para donatur datang. Kita juga harus menghargai sumbangan mereka. Apalagi Delisa, dia menyumbang lima puluh juta buat acara reuni ini. Itu sebuah kehormatan bagi panitia, Bal."Iqbal mengangguk-angguk. Dia juga tidak menyangka jika Deli
Anita mendesah, berkali-kali mencoba menghubungi Bagas, tapi tidak ada sambungan. Akhirnya, dia menghubungi Wina. "Win, apa kamu lihat Mas Bagas? Dia masih di tempat reuni, kah?" tanyanya. "Aku udah pulang, Nit. Tadi pas acara udah mau kelar, aku nggak lihat Mas Bagas deh kayaknya. Sorry banget ya, Nit? Ini udah jam dua belas malam, mungkin sebentar lagi Mas Bagasmu itu pulang. Yah, mungkin dia lagi ketemu temen-temen lamanya. Siapa tau dia keasyikan? Kamu juga sih, nggak mau dateng," cerocos Wina. Anita hanya menghela napas. Dia tidak pernah menyesali keputusannya untuk tidak datang ke reuni karena sekarang dia bisa bersama sang anak dan melihat bayinya tertidur dengan tenang. "Hm, ya udah Win. Iya, paling juga dia balik sebentar lagi. Ya udah, maaf udah ganggu kamu. Met istirahat ya, Win?" ucap Anita mengakhiri panggilannya. Meski begitu, dia masih belum bisa memejamkan mata. Sampai kantuk menyerangnya di jam dua pagi setelah menyusui bayinya. Mungkin Anita tidak tahu bahwa pe
Tiga bulan usia Cia hari ini, bayi itu makin pintar karena Anita menstimulasi bayinya dengan baik. Walau hati Anita tidak baik-baik saja dengan sikap suaminya yang makin parah. Pria itu jarang pulang setelah ditanyai soal malam setelah reuni. Bagas marah karena menilai Anita terlalu cerewet dengan urusan pribadinya. Sore itu, Anita sedang menyapu halaman. Seperti biasa, dia sibuk membersihkan rumah saat Cia tidur siang. Sapu lidi itu terhenti di depan dua kaki yang memakai sepatu putih bersih dengan merk yang menunjukkan kelas seseorang. Anita terhenyak melihat sepatu yang dia ketahui harganya bisa mencapai jutaan. Kedua matanya menelusuri ujung kaki hingga ke atas. Dia seorang wanita berwajah sayu, tampak sangat lelah seperti ada yang dia pikirkan dengan berat. Meski begitu, tidak mengurangi kecantikannya. Kulitnya putih terawat, kedua matanya berwarna hazel dengan bibir yang berwarna pink alami. Wanita itu masih tampak cantik meski rambut gelombangnya tergerai acak. Anita mencoba
Anita hanya termangu ketika melihat hari-hari selanjutnya, Bagas dengan semringah menyiapkan pesta pernikahannya dengan Delisa. Dia mengulang dalam ingatan, pernikahannya dulu dengan Bagas tidak semewah itu. Mereka hanya menikah di depan penghulu saja, tidak ada perayaan apapun. "Nita." Anita tersentak merasakan seseorang menyentuh pundaknya. Dia menoleh dan mendapati Tantri sedang ada di belakangnya dengan wajah tak kalah sendu. Anita memaksakan diri untuk tersenyum, tapi gagal. Pada akhirnya, tangis mewakili perasaannya saat itu. Tantri memeluk Anita dengan erat. Tidak banyak kata yang dia ucap untuk menenangkan hati menantu kesayangannya itu. Hanya elusan tangan di punggung Anita yang bisa dia lakukan. "Maaf, maaf atas semua ini," ucap Tantri lirih. Tantri tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mencegah Bagas menikah lagi, tapi tidak mungkin karena janin yang dikandung oleh Delisa juga benih Bagas. Namun, saat membiarkan Bagas menikah, itu pun juga melukai perasaan Anita. Tantri
Satu mangkuk sup telah dihidangkan oleh Anita di atas meja makan. Bagas dan Delisa telah duduk di ruang makan. Bagas memegang tangan Delisa, seolah Anita adalah batu di antara mereka. "Kamu harus makan makanan bergizi, Sayang. Pasti anak kita lahir tampan kalo laki-laki dan cantik seperti ibunya kalo perempuan." Delisa menarik tangannya dari genggaman Bagas saat Anita masuk. Menyadari itu, Bagas melengos pada Anita. Dalam pikirannya, Anita yang membuat Delisa seringkali tidak mau dia perlakukan dengan mesra. "Ngapain kamu lama-lama, Nit? Ada bayi yang harus kamu urus. Kenapa malah diam di situ? Harusnya habis masak kamu mandiin bayi kamu atau apalah ... asal jangan di sini," ujar Bagas ketus. Anita terhenyak mendengarnya. Bagas sudah menyuruhnya memasak dan melarang Delisa untuk menyentuh barang-barang dapur untuk dia gantikan semua pekerjaannya, tapi sekarang pria itu malah mengusirnya tanpa perasaan. Tampak tangan Delisa menarik baju Bagas agar tidak bersikap buruk pada Anita, t
Anita menggendong anaknya seraya menyeret koper melewati jalan-jalan di mana dulu masa kecilnya dia habiskan di situ. Dia menyunggingkan senyum saat melihat suasana yang agak berubah di tempat tinggalnya. Kenangan-kenangan semasa kecilnya terlintas, menari indah dalam benak. "Senangnya masa kecilku. Main boneka, main lompat tali. Ah, masalah beratku hanya PR matematika saat itu. Anita menatap bayinya. Ada sesal, tapi juga ada si kecil yang memercikkan kebahagiaan tersendiri. Cia adalah obat dari segala kegundahannya. Kedua mata Anita berkaca-kaca saat teringat dia nyaris membunuh darah dagingnya sendiri beberapa waktu yang lalu. Sedikit bersyukur karena meski bagaimanapun, Delisa telah menyelamatkannya. Entah apa yang akan dia terima sekarang jika tidak ada yang menyadarkan dirinya. Anita mencium kening Cia. Bayi yang tidur nyenyak dalam pelukannya itu. Tidak ada raut dendam meski ibunya nyaris menghilangkan nyawanya. "Mama nggak akan lagi membiarkan kamu sakit, Nak." Anita melan
Rahma menggendong Cia pagi itu. Anita merasa lebih nyaman berada di rumah ibunya. Meski kadang jika teringat dengan Bagas, rasanya pedih sekali dengan pengkhiatan suaminya. Terkadang, Anita mengintip akun sosial media milik Delisa. Meski yang dia lakukan hanya menabur garam ke lukanya. Namun, dia merasa penasaran dengan wanita yang dipuja-puja oleh Bagas. Anita bisa stalking akun Delisa karena berteman dengan suaminya. Terkadang, bulat tekad Anita untuk berpisah, tapi kadang dia merasa enggan. Rahma membiarkan Anita yang lebih merasa tenang saat hari-hari di rumahnya. Dengan dekat bersama anak dan cucunya, dia sendiri merasa terhibur. Apalagi, Cia sedang berada di usia yang sedang lucu-lucunya. "Bu, apa Ibu kerepotan atau keberatan dengan adanya aku dan Cia?" tanya Anita setelah seminggu dia berada di rumah ibunya. "Kamu kok bilang gitu, mana ada nenek yang kerepotan sama anak dan cucunya? Justru, ibu sangat bahagia kalian ada di rumah ini." Anita memeluk gulingnya sambil memperh
"Bu ... Ibu?" Anita tidak percaya saat pintu terbuka dia melihat wanita paruh baya yang menatapnya penuh kerinduan. Tantri, sudah berdiri di depan pintu dengan wajah sedih. "Nita ... kenapa kamu nggak bilang kalo kamu pergi dari rumah, Nak?" tanya Tantri langsung mendekap tubuh kurus Anita. Rasanya sungkan pada Rahma, besannya. Namun, rasa rindunya pada Anita dan Cia telah mengalahkan itu semua. Dia sampai mengabaikan perasaan sungkannya itu pada sang besan dengan menyusul Anita. "Benar dugaan ibu kalo kamu pulang ke sini, Anita. Maafin kelakuan Bagas ya, Nak?" pinta Tantri. Di tangan Tantri ada sebuah kantong berisi buah tangan yang dia bawakan untuk Anita, Cia dan juga Rahma. "Lho, Bu Tantri, sama siapa, Bu? Mari, silakan masuk." Meski jengkel anaknya diperlakukan dengan tidak baik, tapi Rahma belum pernah mendengar Tantri bersikap buruk pada Anita. Jadi, dia berusaha untuk bersikap netral pada Tantri. Wajah Tantri agak memucat melihat Rahma menyambutnya. Ini bagai wajahnya