Share

Bab 5. Kenapa Dengan Bagas

Bagas mengeluarkan mobilnya dengan menekan pedal gas kasar malam itu. Dia melajukan mobil ke rumah ibunya. Setiap kali merasa kesal, dia selalu pergi ke rumah sang ibu. Rumah ibunya berjarak beberapa kilometer. Meski seringkali saat curhat ibunya malah memarahinya seperti hari ini.

"Kenapa malam-malam kamu datang ke sini, Gas? Apalagi nggak sama Nita."

Sambutan sang ibu membuat Bagas kesal. Kenapa ibunya tidak mendukungnya seperti perempuan lain yang mendukung anak lelakinya mati-matian?

Bagas menyelonong masuk dan merebahkan diri di sofa tanpa menjawab pertanyaan ibunya.

"Aku mau tidur di sini, Bu. Malam ini aku sumpek di rumah."

Tengah malam, sudah terganggu tidurnya oleh Bagas, ditambah lagi anak lelakinya malah meninggalkan sang istri sendirian di rumah.

"Kenapa, Gas!" bentak sang ibu.

"Bu, aku capek! Aku cuma lagi sumpek di rumah! Tadi, bayi itu merengek terus. Ibunya nggak bisa diemin. Barusan, haus aja nggak dibikinin minuman kalo nggak dibangunin. Istri macam apa itu, Bu? Masih Ibu belain istri kayak gitu?" sahut Bagas.

"Kamu ikut nenangin Cia? Nggak, kan! Lagian, ini jam berapa Gas? Kamu haus, kamu punya tangan, kan? Pake tangan kamu buat bikin! Jangan cuma ngandelin istri kamu, kasihan dia! Seharian dia kerja!" bentak Tantri, ibu Bagas.

"Kerja? Kerja apaan? Cuma duduk diem, di rumah paling cuma masak sama makan. Apa yang dia kerjakan?" gerutu Bagas.

"Gas, pekerjaan rumah tangga itu banyak, Gas. Nggak akan selesai seharian. Kamu harus ngerti. Dia nggak cuma masak dan makan. Baju yang kamu pakai, selalu bersih, rumah yang selalu rapi, itu karena siapa?"

Bagas tambah pusing menerima cercaan ibunya. Dia bangkit, merasa percuma pulang ke rumah ibunya. Ingin tenang, tapi tidak bisa.

"Bu, itu kewajiban dia sebagai istri. Lagian, nggak ada beratnya kerjaan seperti itu. Ya udah, kalo aku nggak boleh nginep di sini, aku mau pergi aja!" ujar Bagas, melangkah keluar dari rumah Tantri.

Tantri mengelus dada, tidak berupaya menahan anak lelakinya karena memang tujuannya agar Bagas pulang, tidak selalu lari dari rumah jika merasa sumpek. Dia harus bertanggung jawab dengan istri dan bayinya. Kesalahan apapun di masa lalu, harus ada pertanggungjawabannya. Maksud Tantri ternyata tidak berjalan sesuai dengan harapan. Bagas malah mengemudikan mobil ke jalan raya. Mencoba menikmati hiruk pikuk kota, tapi tetap saja rasa kesal merajainya. Sampai menepikan mobilnya di suatu tempat yang sepi. Bagas membuka ponsel. Dia melihat foto profil Delisa. Mengelus layar itu dengan lembut.

"Cantik, sayang sekali harus terhalangi. Kenapa kita harus bertemu di saat seperti ini, Delisa? Kenapa tidak dulu saat reuni kamu saja yang masuk ke kamar hotelku?" keluh Bagas.

Bagas meletakkan ponselnya di holder dan melanjutkan laju mobil. Dia melihat sebuah klub malam yang ramai. Tertarik untuk masuk, untuk sekadar memesan minuman penghangat badan. Dia bingung juga ingin ke mana. Mau pulang, tapi masih merasa malas.

Akhirnya dia masuk ke klub malam itu.

Bunyi dentuman musik memenuhi pendengaran Bagas. Dia masuk dan duduk di kursi bar. Memesan satu gelas wine dan meneguknya perlahan sembari menatap ke keramaian di tengah. Seorang DJ memainkan lagu ngebeat dan para wanita bergoyang di tengah-tengah, memancing birahi para pria yang datang.

Bagas hanya menyunggingkan senyum. Dia sendiri punya istri, tapi tidak memiliki hasrat pada wanita itu. Sungguh lucu, sementara para pria yang belum memiliki istri itu malah mencari-cari wanita dan membayar mereka untuk menyalurkan hasratnya.

"Aku nggak ada hasrat seperti mereka," gelak Bagas.

Dia memesan lagi satu botol wine karena dirasanya kurang untuk malam itu. Bagas berpindah tempat dan duduk di sudut. Dia meneguk cepat beberapa gelas wine. Melihat kerumunan orang tanpa ada teman, membuatnya sibuk meminum minumannya saja, hingga akhirnya pandangannya kabur. Baru pada jam dua pagi, dia memutuskan untuk pulang.

Para wanita sudah dibawa oleh beberapa pria dan Bagas hanya menertawakannya saja. Meski sempoyongan, dia masih mampu mengemudi mobilnya pulang.

Sepanjang jalan, beruntung jalanan lengang. Sesekali mobil yang dikemudikan oleh Bagas oleng, tapi dia selamat sampai di rumah.

"Mana bisa aku menabrak, pendekar seperti ini nggak bisa mampus di jalan," racaunya perlahan dan menyeringai.

Dia memarkir mobil tidak teratur di depan rumah. Namun, dia tidak perduli. Dia bergerak masuk dengan sempoyongan. Namun, pintu ternyata dikunci dari dalam. Bagas menggedornya dengan sekuat tenaga.

"Heh! Nita! Bukain pintunya!" bentak Bagas, sambil tangannya terkepal menggedor pintu.

Anita, mendengar suara suaminya dengan jelas hingga kembali membuatnya terbangun. Dia mengucek kedua matanya yang berat karena lima menit yang lalu dia baru saja menyusui anaknya dan baru tertidur saja.

"Iya, Mas. Sebentar," sahut Anita.

Nyaris kepalanya terantuk tembok karena pandangannya belum jelas. Kepalanya juga pusing. Namun, karena teriakan Bagas dia harus segera bangun dan membukakan pintu.

"Cepetan!" teriak Bagas jengkel.

"Iya," sahut Anita lirih, meraih kunci yang terpasang di pintu.

Anita baru saja membuka, Bagas sudah menghambur ke dalam. Bau alkohol membuat Anita melebarkan kedua mata. Dia kembali mengunci pintu utama. Bagas merasakan tubuhnya panas, tiba-tiba terbayang tubuh wanita-wanita di klub malam tadi.

Ketika Anita berbalik, Bagas sudah mendorongnya ke pintu, dengan satu tangan mencengkeram dagunya dengan kencang. Punggungnya sakit terhempas ke pintu.

"M-mas, sakit!" rintih Anita yang kaget juga diperlakukan Bagas seperti itu.

"Sakit? Kamu suka kan, kalo aku sakiti?" tanya Bagas, mendekatkan bibirnya ke dagu Anita. Bau alkohol makin tercium di hidung Anita. Dia meringis kesakitan karena kuku-kuku Bagas seolah menancap ke dagu bagian bawahnya.

"Lepasin, Mas."

"Apa? Apanya yang dilepasin? Kamu minta aku melakukannya lagi? Dasar wanita murah!"

Bagas mendorong Anita hingga tersungkur di lantai. Anita terbatuk-batuk karena saluran napasnya lancar seketika saat cengkeraman Bagas dilepaskan.

Baru saja dia mengatur napas dengan ketakutan, Bagas sudah berdiri lagi di hadapannya dengan pandangan aneh.

Seketika darah Anita berdesir karena rasa takut yang menjadi. Kenapa lelaki itu? Setelah dia membentaknya tadi, sekarang dia melepaskan bajunya di hadapan Anita. Suatu hal yang aneh karena selama satu tahun setelah malam panas di hotel itu, Bagas tidak pernah menyentuh tubuhnya.

"M-mas, kamu kenapa?" tanya Anita takut.

Namun, tanpa menjawabnya, Bagas mendekat dan menyobek daster Anita begitu saja. Dia membekap mulut Anita dengan mulutnya sampai wanita itu menggelengkan kepala dengan sekuat tenaga.

Ini seperti sebuah kejahatan, bukan rasa cinta sepasang suami istri. Anita merasa aneh dengan perilaku Bagas. Dengan brutal, Bagas memasukkan jarinya ke bagian intim Anita. Anita memekik. Rasanya sangat sakit. Bagas memasukkan juga jarinya ke mulut Anita hingga membuat wanita itu tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Kedua matanya terasa menghangat. Dua bulir air mata keluar, meluncur sampai ke dagunya yang terluka.

"Ini kan yang kamu inginkan, hah?" desis Bagas di telinga Anita.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status