Share

Bab 9. Tolong Keluar

Anita mendesah, berkali-kali mencoba menghubungi Bagas, tapi tidak ada sambungan. Akhirnya, dia menghubungi Wina.

"Win, apa kamu lihat Mas Bagas? Dia masih di tempat reuni, kah?" tanyanya.

"Aku udah pulang, Nit. Tadi pas acara udah mau kelar, aku nggak lihat Mas Bagas deh kayaknya. Sorry banget ya, Nit? Ini udah jam dua belas malam, mungkin sebentar lagi Mas Bagasmu itu pulang. Yah, mungkin dia lagi ketemu temen-temen lamanya. Siapa tau dia keasyikan? Kamu juga sih, nggak mau dateng," cerocos Wina.

Anita hanya menghela napas. Dia tidak pernah menyesali keputusannya untuk tidak datang ke reuni karena sekarang dia bisa bersama sang anak dan melihat bayinya tertidur dengan tenang.

"Hm, ya udah Win. Iya, paling juga dia balik sebentar lagi. Ya udah, maaf udah ganggu kamu. Met istirahat ya, Win?" ucap Anita mengakhiri panggilannya.

Meski begitu, dia masih belum bisa memejamkan mata. Sampai kantuk menyerangnya di jam dua pagi setelah menyusui bayinya.

Mungkin Anita tidak tahu bahwa perasaannya kuat. Rasa cinta terhadap seeorang membuat sebuah perasaan menguat. Namun, dia tidak tahu bahwa sekarang Bagas berada di dalam kamar hotel dengan Delisa yang merasa kepanasan setelah kepalanya pusing.

"Panas, please bukain bajuku," rengek Delisa pada Bagas yang berdiri menatapnya dengan penuh hasrat.

Bagas meneguk salivanya melihat Delisa menggeliat karena rasa yang timbul akibat obat yang dia taburkan ke dalam minuman tadi. Bagas merasa takjub dengan efek obat itu. Delisa sekarang bagai cacing kepanasan yang memohon agar apa yang dia rasakan segera tersalurkan dan tidak perduli lagi siapa yang ada di dekatnya.

"Tapi kamu bilang kamu nggak mau dengan pria beristri," ujar Bagas, memancing Delisa. Sebenarnya area bawah miliknya sudah menggeliat melihat Delisa.

Delisa menggelengkan kepala di atas tempat tidur. Dalam otaknya ingin menerima ucapan Bagas, tapi seluruh tubuhnya bertolak belakang. Dia hanya ingin disentuh dan entah kenapa semua hasrat ingin merasakan dekapan seorang lelaki rasanya lebih tinggi dari apa yang ada di otaknya. Nafsu menguasai semua yang ada dalam diri Delisa hingga tidak mengindahkan perkataan Bagas.

"Aku tidak perduli, tolong aku," rengek Delisa di luar kesadarannya.

Bagas tersenyum saat Delisa turun dari tempat tidur dan merangkak mendekatinya. Delisa merangkak dengan sempoyongan. Wajah Delisa memerah dan menggoda. Delisa meraih celana Bagas dan berusaha berdiri agar sejajar dengan lelaki itu.

Bagas memegang tubuh Delisa dengan kuat menempelkannya ke tubuhnya. Bagas membantu melucuti sisa pakaian dalam yang melekat di tubuh Delisa sampai gadis itu tidak memakai sehelai benangpun.

"Inilah yang aku inginkan, Sa. Malam itu akan terasa indah kalau kamu yang ada di kamar hotelku waktu itu. Kurasa, tidak akan terlambat jika sekarang aku bisa mendapatkan kamu," bisik Bagas di telinga Delisa.

Gadis itu hanya mengangguk lemah, tidak paham benar dengan apa yang dikatakan oleh Bagas. Sampai Bagas mencium bibir Delisa dan memagutnya, memandu Delisa untuk kembali ke atas ranjang. Melepas semua yang melekat di tubuhnya, lalu menelusuri setiap lekuk tubuh Delisa yang memang sungguh terawat dengan sangat baik.

Erangan dan lenguhan dari mulut Delisa yang mendapat serangan Bagas berkali-kali, membuat Bagas tambah berhasrat untuk tidak hanya melakukannya satu kali malam itu. Delisa juga puas terpenuhi hasratnya dalam ketidak-sadarannya.

Mereka terkulai lemas di atas tempat tidur hotel sampai pagi tiba.

***

"Mas Bagas!"

Anita terbangun kaget dan nyaris melompat dari tempat tidurnya. Dia terengah-engah, bermimpi buruk melihat Bagas yang pergi membawa koper besar meninggalkannya.

"Astaga," ucap Anita, mengelus dada.

Dia mengusap wajah. Keringat dingin keluar dari pori-pori kulitnya karena merasa cemas. Detak jantungnya tidak karuan saat itu.

"Nggak biasanya aku mimpi jelek kayak gitu. Oh, Ya Tuhan, kenapa mimpi mas Bagas pergi?" keluh Anita.

Pagi itu, tepat pukul tiga, ketika Bagas dan Delisa sudah kelelahan dan memejamkan kedua mata di kamar hotel, Anita malah terbangun dan mengambil air minum.

"Mas Bagas belum pulang juga," keluhnya saat membuka pintu kamar ruang tamu dan tidak menemukan siapapun di sana.

Anita juga mendapati pintu utama masih belum terkunci. Dia merasakan kecewa menjalari hatinya. Entah kenapa perasaannya sangat tidak enak pagi buta itu. Air dingin tidak mampu meredakan perasaan aneh itu.

"Semoga tidak terjadi apa-apa dengan mas Bagas," harap Anita.

Malah, yang ada di pikirannya takut jika Bagas celaka. Meski terkadang terbersit pikiran tentang wanita lain, tapi dia tepis sejauh mungkin. Anita kembali mencoba menghubungi Bagas, tapi masih juga tidak bisa.

Akhirnya dia hanya berbaring lagi di samping anaknya, berharap suaminya segera pulang dalam keadaan sehat dan selamat.

***

Sinar mentari menyusup melalui celah jendela kamar hotel. Menelusup melalui vitrase yang menutup jendela. Sesekali menerpa kedua mata Delisa dan membuat wanita itu terbangun memicingkan kedua matanya.

Delisa mengerjapkan kedua mata, mengumpulkan segenap tenaga yang rasanya habis dalam semalam. Beberapa menit kemudian, dia mengerutkan dahi menyadari bahwa dia sedang berbaring bukan di atas tempat tidurnya sendiri.

Tiba-tiba jantung Delisa berdebar kencang menyadari dirinya ada di kamar sebuah hotel. Terlebih saat tangannya meraba tubuhnya sendiri. Dia tidak memakai sehelai benang pun dan hanya tertutup oleh selimut putih. Delisa menengok ke sebelah. Tambah kagetlah dia saat melihat Bagas berada di sampingnya.

"Selamat pagi, Sa. Udah bangun? Masih lemes, kan?" ucap Bagas yang sedari tadi menunggu Delisa bangun.

"A-apa yang kamu lakukan di sini, Gas? Apa ... Apa yang kita lakukan?" tanya Delisa menyugar anak rambutnya. Otaknya belum mampu mengulang apa yang dilakukannya semalam.

Bagas mengelus pipi Delisa dengan telunjuknya, tapi ditepis oleh Delisa yang mulai mengingat kejadian semalam.

"Kita? Ngapain? Kamu yang memohon aku untuk menyentuhmu, Sa. Apa kamu nggak ingat beneran?" tanya Bagas dengan lembut.

"Nggak, nggak!" teriak Delisa, mendudukkan dirinya meski kepalanya masih terasa pusing.

Detak jantung Delisa tidak beraturan. Dia menutup kedua telinganya, berharap apa yang dikatakan oleh Bagas itu hanyalah sebuah kebohongan belaka. Delisa menggelengkan kepalanya, menolak semua kenyataan itu dengan rasa kecewa yang teramat sangat.

"Nggak, kamu pasti bohong, Gas! Jangan bilang kalo kita–"

Ucapan Delisa terhenti. Dia tidak kuat menahan sesak di dadanya. Delisa terisak di atas tempat tidur.

"Sa, dengerin. Apa yang kita lakukan itu atas dasar suka sama suka. Waktu aku bilang aku udah punya istri, kamu tidak perduli, Sa. Kamu–"

"Cukup! Diam kamu, Bagas! Keluar dari kamar ini!" jerit Delisa dengan sangat frustasi.

Bagas terhenyak mendengarnya. Dia kira, dia akan diterima oleh Delisa, tapi ternyata Delisa malah mengusirnya.

"Tapi, aku cuma nuruti permintaan kamu, Sa. Aku nggak akan gini kalo kamu nggak ajak aku masuk–"

"Diam! Diam! Please, tolong biarkan aku sendiri! Kamu keluar, Gas!" jerit Delisa lagi.

Bagas menghela napas. Semua tidak seperti yang dia harapkan. Delisa mengamuk, mengusirnya meski dia mencoba menjelaskan apa yang mereka lakukan semalam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status