"Duluan datang, Gas? Oh iya, panitia harus dateng duluan ketimbang tamu undangan," kekeh Iqbal.
Bagas memukul pelan lengan Iqbal seraya tertawa. Dia menyembunyikan maksudnya, memang sengaja datang lebih awal bukan karena tanggung jawab menjadi panitia, tapi hanya ingin memastikan bahwa Delisa akan datang hari itu."Kursi VIP buat donatur udah jadi disiapin, kan?" tanya Bagas pada Iqbal.Iqbal mendesah mendengar pertanyaan Bagas."Aku nggak siapin. Apa nggak berlebihan kalo musti dikasih kursi VIP buat donatur, Gas? Nanti kerasa ada ketimpangan dalam hal ekonomi. Yang nggak jadi donatur ngerasa tersingkir."Bagas mencebik. Dia hanya bermaksud mengistimewakan Delisa, itu saja. Namun, sepertinya niat Bagas tidak terkabulkan."Oke, nggak masalah. Asal para donatur datang. Kita juga harus menghargai sumbangan mereka. Apalagi Delisa, dia menyumbang lima puluh juta buat acara reuni ini. Itu sebuah kehormatan bagi panitia, Bal."Iqbal mengangguk-angguk. Dia juga tidak menyangka jika Delisa akan seantusias itu menjadi donatur. Lima puluh juta adalah nominal yang sangat banyak baginya. Namun, Delisa memberikannya untuk acara reuni akbar sekolahan yang diadakan di hotel itu."Iya bener, nanti Delisa suruh kasih sambutan. Itu udah masuk ke susunan acara, kan?" tanya Bagas."Iya, udah, Gas. Gimana sama donatur yang lain? Masa cuma Delisa doang yang suruh kasih sambutan?" tanya Iqbal."Halah, kalo semua suruh kasih sambutan, donatur yang jumlahnya puluhan itu naik ke panggung semua, bakalan habis waktunya, Bal. Udah, perwakilan aja," sahut Bagas."Ya udah deh, walau nanti aku juga yang repot kasih tau para donatur kalo memang Delisa yng ditunjuk mewakili, bukan hanya karena dia paling banyak nyumbang jadi dianak-emaskan," sahut Iqbal agak bersungut."Nah, gitu dong. Kalo toh nanti ada omongan orang, setiap acara itu pasti ada aja omongan jeleknya, Bal. Nggak usah terlalu dipikirin. Nanti kamu jelasin aja, kita tunjuk perwakilan donatur secara acak," ujar Bagas."Iya, deh. Eh, itu udah ada yang dateng. Aku sambut dulu ya, Gas?" pamit Iqbal."Iya, nanti aku yang urus soal Delisa. Dia kan harus persiapan juga buat kasih sambutan. Soal briefing Delisa, serahin sama aku. Nanti kalo dia datang, suruh temuin aku, ya?""Oke," sahut Iqbal.Bagas menyeringai. Dia segera menyiapkan tempat untuk Delisa. Acara reuni itu diadakan di ballroom hotel ternama. Bagas sudah menyiapkan sebuah ruang hotel dan baju untuk Delisa. Dia memang bilang pada semua panitia untuk memakai dresacode berwarna putih. Warna yang jarang dipakai oleh Delisa. Dia yakin bahwa hari itu Delisa tidak akan memakai baju putih yang dulu menurut gadis itu akan cepat kotor.Ponsel Bagas tiba-tiba berbunyi. Dia cepat-cepat mengangkat panggilan dari Iqbal."Gas, Delisa udah ke situ, ya?""Siap."Bagas menutup panggilan itu dengan hati berdebar-debar. Dia berdiri di belakang ballroom menunggu Delisa. Beberapa menit kemudian, datanglah seorang gadis yang sangat cantik dengan gaun berwarna merah dengan rambut diikal. Wajahnya dirias simple, tapi tetap menunjukkan keeleganan. Bagas nyaris tidak dapat berbicara melihat gadis itu."Delisa, memang nyatanya kamu cantik.""Apa, Gas?" tanya Delisa mendengar gumaman Bagas yang tidak jelas seperti dengungan lebah."Eh, gini Sa. Kami dari panitia mau kamu mewakili untuk memberi sambutan di acara ini."Delisa terbelalak. Memang dulu dia ikut OSIS sewaktu sekolah dan terbiasa menghadapi orang banyak, tapi sekarang dia bekerja di balik layar."T-tapi, Gas. Aku udah lama nggak bicara di depan orang banyak.""Tenang aja, Sa. Aku udah siapin naskah sambutannya. Kamu tinggal baca."Delisa tampaknya agak lega meski wajahnya agak cemberut."Kenapa musti aku, Gas?" protesnya."Kami cuma nunjuk acak aja, Sa. Lagian, kalo ditunjuk, pasti semua orang bakalan nolak kayak kamu ini. Nah, karena kamu dulu berpengalaman di organisasi, maka kami putuskan buat nunjuk kamu. Mau, ya?" desak Bagas.Akhirnya, dengan bujukan Bagas, Delisa menganggukkan kepala."Nah, gitu dong! Terus, karena bajunya disepakati nuansa putih, maka kami udah nyiapin baju buat kamu. Yuk, ikut aku ke kamar hotel. Eh, jangan khawatir aku nggak bakal ikut masuk!" kelakar Bagas.Delisa tertawa mendengarnya. Dia mengikuti langkah Bagas. Setelah berjalan sebentar, mereka sampai di depan sebuah kamar."Silakan," ucap Bagas membukakan pintu kamar hotel dengan sebuah access card.Delisa tersenyum manis, berterima kasih pada Bagas lalu masuk ke dalam. Bagas menutup pintunya, lalu menunggui Delisa di luar. Dia mengelus dadanya. Di dalam dada berdebar sangat kencang. Bagas malah seperti menunggui kekasihnya berganti pakaian."Aku nanti bisa ganti lagi, kan?" tanya Delisa saat keluar dari kamar hotel."Iya, boleh. Baju itu untuk sementara kamu pakai pas acara. Maaf kalo kekecilan atau kebesaran," ujar Bagas."Nggak, cukup kok. Heran banget aku, kenapa bisa dipilihin baju yang ukurannya sangat pas gini, cantik lagi?" puji Delisa.Bagas tersenyum. Apa yang tidak dia ketahui dari Delisa? Ukuran baju saja dia bisa tahu detail dengan mencari di akun sosial media Delisa. Mencari butik favorit gadis itu dan bertanya kepada pegawai di sana. Cukup mudah dengan stalking akun Delisa, karena Bagas sudah menanyai nama akun unik milik Delisa.Namun, Bagas harus menahan kecewa karena Delisa menolak untuk dia gandeng menuju ke ballroom. Bagas harus bersabar. Hanya menunggu beberapa saat lagi, dia bisa menyentuh Delisa.Sementara itu, Anita menggigit bibir kecewa karena Wina memberinya kabar tentang keberadaan suaminya."Mas Bagas ikut reuni, padahal biasanya juga nggak," gumamnya dengan gurat agak kecewa.Anita mengetik lagi pesan balasan untuk Wina. Kata Wina, Bagas malah menjadi salah satu panitia reuni akbar itu.Sakit hati rasanya Anita. Meski tidak berminat ikut setidaknya dia berharap Bagas memberitahunya, tapi kenapa sedikitpun dia tidak mendengar informasi dari Bagas? Malahan, dia mendengar dari temannya tentang reuni."Aku ngerasa ada yang aneh dari Mas Bagas," gumam Anita.Meski begitu, tidak ada yang bisa Anita lakukan. Dia harus menjaga anaknya. Apa yang Bagas lakukan, dia harap Bagas hanya ingin bersilaturahmi dengan teman-temannya saja, bukan aneh-aneh. Anita menepis segala pikiran buruk tentang suaminya karena ketidak-jujuran Bagas."Aku akan menunggu Mas Bagas pulang dan bertanya padanya. Kenapa dia nggak bilang kalo dia jadi panitia reuni akbar. Kalau saja dia tidak mau mengajakku, harusnya dia bilang apa alasannya."Namun, sayangnya meski Anita menunggu sampai jam dua belas malam, Bagas belum juga pulang. Sampai Anita terkantuk-kantuk di depan televisi, tapi yang ditunggu tak kunjung datang juga. Rasanya semakin cemas menunggu. Bahkan, panggilannya pun dialihkan."Apa yang sedang dia lakukan?" desah Anita, meletakkan ponselnya di atas nakas dengan gelisah.***Bagas berdiri di belakang ballroom. Delisa menemuinya saat acara hampir berakhir."Gas, aku mau ganti pakaian. Boleh pinjam access card kamarnya?" tanya Delisa."Oh, boleh. Eh, kita belum bersulang, Sa. Ini rasa terima kasih karena kamu sudah membantuku, Sa."Bagas menyerahkan sebuah gelas berisi air berwarna merah. Delisa menerima gelas itu tanpa rasa curiga."Cuma soda, bukan whisk," canda Bagas."Iya," sahut Delisa, mengetukkan ujung gelasnya ke gelas Bagas."Mari bersulang, makasih ya, Sa? Karena kamu juga, acara ini berjalan dengan lancar. Makasih atas segalanya."Mereka berdua meneguk minuman itu. Lalu, Bagas mengambil gelas kosong di tangan Delisa dan mengantar Delisa ke kamar hotel."Karena kamu tamu, maka aku bukain ya? Kayak tadi? Access cardnya aku pegang. Kamu kan tamu?" ujar Bagas."Oh, ada-ada aja. Mana ada kayak gitu, Gas? Oh iya, kamu sama istri kamu? Kok aku nggak lihat," tanya Delisa karena ada yang mengganjal perasaannya dari tadi. Dia tidak melihat istri Bagas."Ada kok, tadi dia sama temen-temennya. Biasa, kalo udah gabung sama temen-temennya, dia lupa sama suaminya," jawab Bagas berkilah agar Delisa tidak memperpanjang pertanyaannya."Oh, gitu. Ya udah, aku ganti baju dulu ya, Gas?" ucap Delisa."Iya," sahut Bagas.Delisa memasuki ruangan tadi. Dia segera membuka baju putih yang disediakan untuknya tadi. Namun, ternyata dia tidak menemukan gaun merahnya tadi. Delisa membuka lemari pakaian, tapi lemari itu dikunci. Delisa mencoba mencari pakaiannya di antara selimut, di atas lantai, di bawah tempat tidur, tapi ternyata tidak ada juga.Agak lama, dia berniat menanyakan pada Bagas, tapi baru saja berdiri, kepalanya terasa berat dan pusing.Anita mendesah, berkali-kali mencoba menghubungi Bagas, tapi tidak ada sambungan. Akhirnya, dia menghubungi Wina. "Win, apa kamu lihat Mas Bagas? Dia masih di tempat reuni, kah?" tanyanya. "Aku udah pulang, Nit. Tadi pas acara udah mau kelar, aku nggak lihat Mas Bagas deh kayaknya. Sorry banget ya, Nit? Ini udah jam dua belas malam, mungkin sebentar lagi Mas Bagasmu itu pulang. Yah, mungkin dia lagi ketemu temen-temen lamanya. Siapa tau dia keasyikan? Kamu juga sih, nggak mau dateng," cerocos Wina. Anita hanya menghela napas. Dia tidak pernah menyesali keputusannya untuk tidak datang ke reuni karena sekarang dia bisa bersama sang anak dan melihat bayinya tertidur dengan tenang. "Hm, ya udah Win. Iya, paling juga dia balik sebentar lagi. Ya udah, maaf udah ganggu kamu. Met istirahat ya, Win?" ucap Anita mengakhiri panggilannya. Meski begitu, dia masih belum bisa memejamkan mata. Sampai kantuk menyerangnya di jam dua pagi setelah menyusui bayinya. Mungkin Anita tidak tahu bahwa pe
Tiga bulan usia Cia hari ini, bayi itu makin pintar karena Anita menstimulasi bayinya dengan baik. Walau hati Anita tidak baik-baik saja dengan sikap suaminya yang makin parah. Pria itu jarang pulang setelah ditanyai soal malam setelah reuni. Bagas marah karena menilai Anita terlalu cerewet dengan urusan pribadinya. Sore itu, Anita sedang menyapu halaman. Seperti biasa, dia sibuk membersihkan rumah saat Cia tidur siang. Sapu lidi itu terhenti di depan dua kaki yang memakai sepatu putih bersih dengan merk yang menunjukkan kelas seseorang. Anita terhenyak melihat sepatu yang dia ketahui harganya bisa mencapai jutaan. Kedua matanya menelusuri ujung kaki hingga ke atas. Dia seorang wanita berwajah sayu, tampak sangat lelah seperti ada yang dia pikirkan dengan berat. Meski begitu, tidak mengurangi kecantikannya. Kulitnya putih terawat, kedua matanya berwarna hazel dengan bibir yang berwarna pink alami. Wanita itu masih tampak cantik meski rambut gelombangnya tergerai acak. Anita mencoba
Anita hanya termangu ketika melihat hari-hari selanjutnya, Bagas dengan semringah menyiapkan pesta pernikahannya dengan Delisa. Dia mengulang dalam ingatan, pernikahannya dulu dengan Bagas tidak semewah itu. Mereka hanya menikah di depan penghulu saja, tidak ada perayaan apapun. "Nita." Anita tersentak merasakan seseorang menyentuh pundaknya. Dia menoleh dan mendapati Tantri sedang ada di belakangnya dengan wajah tak kalah sendu. Anita memaksakan diri untuk tersenyum, tapi gagal. Pada akhirnya, tangis mewakili perasaannya saat itu. Tantri memeluk Anita dengan erat. Tidak banyak kata yang dia ucap untuk menenangkan hati menantu kesayangannya itu. Hanya elusan tangan di punggung Anita yang bisa dia lakukan. "Maaf, maaf atas semua ini," ucap Tantri lirih. Tantri tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mencegah Bagas menikah lagi, tapi tidak mungkin karena janin yang dikandung oleh Delisa juga benih Bagas. Namun, saat membiarkan Bagas menikah, itu pun juga melukai perasaan Anita. Tantri
Satu mangkuk sup telah dihidangkan oleh Anita di atas meja makan. Bagas dan Delisa telah duduk di ruang makan. Bagas memegang tangan Delisa, seolah Anita adalah batu di antara mereka. "Kamu harus makan makanan bergizi, Sayang. Pasti anak kita lahir tampan kalo laki-laki dan cantik seperti ibunya kalo perempuan." Delisa menarik tangannya dari genggaman Bagas saat Anita masuk. Menyadari itu, Bagas melengos pada Anita. Dalam pikirannya, Anita yang membuat Delisa seringkali tidak mau dia perlakukan dengan mesra. "Ngapain kamu lama-lama, Nit? Ada bayi yang harus kamu urus. Kenapa malah diam di situ? Harusnya habis masak kamu mandiin bayi kamu atau apalah ... asal jangan di sini," ujar Bagas ketus. Anita terhenyak mendengarnya. Bagas sudah menyuruhnya memasak dan melarang Delisa untuk menyentuh barang-barang dapur untuk dia gantikan semua pekerjaannya, tapi sekarang pria itu malah mengusirnya tanpa perasaan. Tampak tangan Delisa menarik baju Bagas agar tidak bersikap buruk pada Anita, t
Anita menggendong anaknya seraya menyeret koper melewati jalan-jalan di mana dulu masa kecilnya dia habiskan di situ. Dia menyunggingkan senyum saat melihat suasana yang agak berubah di tempat tinggalnya. Kenangan-kenangan semasa kecilnya terlintas, menari indah dalam benak. "Senangnya masa kecilku. Main boneka, main lompat tali. Ah, masalah beratku hanya PR matematika saat itu. Anita menatap bayinya. Ada sesal, tapi juga ada si kecil yang memercikkan kebahagiaan tersendiri. Cia adalah obat dari segala kegundahannya. Kedua mata Anita berkaca-kaca saat teringat dia nyaris membunuh darah dagingnya sendiri beberapa waktu yang lalu. Sedikit bersyukur karena meski bagaimanapun, Delisa telah menyelamatkannya. Entah apa yang akan dia terima sekarang jika tidak ada yang menyadarkan dirinya. Anita mencium kening Cia. Bayi yang tidur nyenyak dalam pelukannya itu. Tidak ada raut dendam meski ibunya nyaris menghilangkan nyawanya. "Mama nggak akan lagi membiarkan kamu sakit, Nak." Anita melan
Rahma menggendong Cia pagi itu. Anita merasa lebih nyaman berada di rumah ibunya. Meski kadang jika teringat dengan Bagas, rasanya pedih sekali dengan pengkhiatan suaminya. Terkadang, Anita mengintip akun sosial media milik Delisa. Meski yang dia lakukan hanya menabur garam ke lukanya. Namun, dia merasa penasaran dengan wanita yang dipuja-puja oleh Bagas. Anita bisa stalking akun Delisa karena berteman dengan suaminya. Terkadang, bulat tekad Anita untuk berpisah, tapi kadang dia merasa enggan. Rahma membiarkan Anita yang lebih merasa tenang saat hari-hari di rumahnya. Dengan dekat bersama anak dan cucunya, dia sendiri merasa terhibur. Apalagi, Cia sedang berada di usia yang sedang lucu-lucunya. "Bu, apa Ibu kerepotan atau keberatan dengan adanya aku dan Cia?" tanya Anita setelah seminggu dia berada di rumah ibunya. "Kamu kok bilang gitu, mana ada nenek yang kerepotan sama anak dan cucunya? Justru, ibu sangat bahagia kalian ada di rumah ini." Anita memeluk gulingnya sambil memperh
"Bu ... Ibu?" Anita tidak percaya saat pintu terbuka dia melihat wanita paruh baya yang menatapnya penuh kerinduan. Tantri, sudah berdiri di depan pintu dengan wajah sedih. "Nita ... kenapa kamu nggak bilang kalo kamu pergi dari rumah, Nak?" tanya Tantri langsung mendekap tubuh kurus Anita. Rasanya sungkan pada Rahma, besannya. Namun, rasa rindunya pada Anita dan Cia telah mengalahkan itu semua. Dia sampai mengabaikan perasaan sungkannya itu pada sang besan dengan menyusul Anita. "Benar dugaan ibu kalo kamu pulang ke sini, Anita. Maafin kelakuan Bagas ya, Nak?" pinta Tantri. Di tangan Tantri ada sebuah kantong berisi buah tangan yang dia bawakan untuk Anita, Cia dan juga Rahma. "Lho, Bu Tantri, sama siapa, Bu? Mari, silakan masuk." Meski jengkel anaknya diperlakukan dengan tidak baik, tapi Rahma belum pernah mendengar Tantri bersikap buruk pada Anita. Jadi, dia berusaha untuk bersikap netral pada Tantri. Wajah Tantri agak memucat melihat Rahma menyambutnya. Ini bagai wajahnya
Anita berdiri termangu di depan sebuah klinik kecantikan. Sejak kecil, hidupnya sederhana dan dia tidak pernah memasuki tempat perawatan seperti itu. Dia yang sedang menggendong sang anak, menoleh pada ibunya. "Apa Ibu sering ke sini?" tanya Anita, memperhatikan wajah ibunya lebih bersinar. "Iya, bercak-bercak hitam di wajah ibu sangat mengganggu penampilan. Jadi, ibu putuskan untuk merawat diri. Sekarang, hasil dari usaha ibu bisa digunakan untuk itu. Apa lagi sih yang bisa ibu lakukan buat menghibur diri? Kamu tau sendiri kan, ayahmu pergi begitu saja. Dia kecantol wanita lain. Jadi, ibu harus bangkit menjadi lebih baik, bukan malah terpuruk. Membahagiakan diri sendiri dengan hal yang positif lah yang ibu ingin jalani sekarang." Anita tertegun mendengar ucapan ibunya. Baru setelah dirinya menikah, sang ayah pergi dengan perempuan lain. Anita menatap dirinya di pantulan dinding kaca. Dia memiliki nasib yang tidak jauh berbeda dengan sang ibu. Apakah memang takdir mereka seperti itu