Share

Bab 8. Apa Yang Dilakukan Bagas

"Duluan datang, Gas? Oh iya, panitia harus dateng duluan ketimbang tamu undangan," kekeh Iqbal.

Bagas memukul pelan lengan Iqbal seraya tertawa. Dia menyembunyikan maksudnya, memang sengaja datang lebih awal bukan karena tanggung jawab menjadi panitia, tapi hanya ingin memastikan bahwa Delisa akan datang hari itu.

"Kursi VIP buat donatur udah jadi disiapin, kan?" tanya Bagas pada Iqbal.

Iqbal mendesah mendengar pertanyaan Bagas.

"Aku nggak siapin. Apa nggak berlebihan kalo musti dikasih kursi VIP buat donatur, Gas? Nanti kerasa ada ketimpangan dalam hal ekonomi. Yang nggak jadi donatur ngerasa tersingkir."

Bagas mencebik. Dia hanya bermaksud mengistimewakan Delisa, itu saja. Namun, sepertinya niat Bagas tidak terkabulkan.

"Oke, nggak masalah. Asal para donatur datang. Kita juga harus menghargai sumbangan mereka. Apalagi Delisa, dia menyumbang lima puluh juta buat acara reuni ini. Itu sebuah kehormatan bagi panitia, Bal."

Iqbal mengangguk-angguk. Dia juga tidak menyangka jika Delisa akan seantusias itu menjadi donatur. Lima puluh juta adalah nominal yang sangat banyak baginya. Namun, Delisa memberikannya untuk acara reuni akbar sekolahan yang diadakan di hotel itu.

"Iya bener, nanti Delisa suruh kasih sambutan. Itu udah masuk ke susunan acara, kan?" tanya Bagas.

"Iya, udah, Gas. Gimana sama donatur yang lain? Masa cuma Delisa doang yang suruh kasih sambutan?" tanya Iqbal.

"Halah, kalo semua suruh kasih sambutan, donatur yang jumlahnya puluhan itu naik ke panggung semua, bakalan habis waktunya, Bal. Udah, perwakilan aja," sahut Bagas.

"Ya udah deh, walau nanti aku juga yang repot kasih tau para donatur kalo memang Delisa yng ditunjuk mewakili, bukan hanya karena dia paling banyak nyumbang jadi dianak-emaskan," sahut Iqbal agak bersungut.

"Nah, gitu dong. Kalo toh nanti ada omongan orang, setiap acara itu pasti ada aja omongan jeleknya, Bal. Nggak usah terlalu dipikirin. Nanti kamu jelasin aja, kita tunjuk perwakilan donatur secara acak," ujar Bagas.

"Iya, deh. Eh, itu udah ada yang dateng. Aku sambut dulu ya, Gas?" pamit Iqbal.

"Iya, nanti aku yang urus soal Delisa. Dia kan harus persiapan juga buat kasih sambutan. Soal briefing Delisa, serahin sama aku. Nanti kalo dia datang, suruh temuin aku, ya?"

"Oke," sahut Iqbal.

Bagas menyeringai. Dia segera menyiapkan tempat untuk Delisa. Acara reuni itu diadakan di ballroom hotel ternama. Bagas sudah menyiapkan sebuah ruang hotel dan baju untuk Delisa. Dia memang bilang pada semua panitia untuk memakai dresacode berwarna putih. Warna yang jarang dipakai oleh Delisa. Dia yakin bahwa hari itu Delisa tidak akan memakai baju putih yang dulu menurut gadis itu akan cepat kotor.

Ponsel Bagas tiba-tiba berbunyi. Dia cepat-cepat mengangkat panggilan dari Iqbal.

"Gas, Delisa udah ke situ, ya?"

"Siap."

Bagas menutup panggilan itu dengan hati berdebar-debar. Dia berdiri di belakang ballroom menunggu Delisa. Beberapa menit kemudian, datanglah seorang gadis yang sangat cantik dengan gaun berwarna merah dengan rambut diikal. Wajahnya dirias simple, tapi tetap menunjukkan keeleganan. Bagas nyaris tidak dapat berbicara melihat gadis itu.

"Delisa, memang nyatanya kamu cantik."

"Apa, Gas?" tanya Delisa mendengar gumaman Bagas yang tidak jelas seperti dengungan lebah.

"Eh, gini Sa. Kami dari panitia mau kamu mewakili untuk memberi sambutan di acara ini."

Delisa terbelalak. Memang dulu dia ikut OSIS sewaktu sekolah dan terbiasa menghadapi orang banyak, tapi sekarang dia bekerja di balik layar.

"T-tapi, Gas. Aku udah lama nggak bicara di depan orang banyak."

"Tenang aja, Sa. Aku udah siapin naskah sambutannya. Kamu tinggal baca."

Delisa tampaknya agak lega meski wajahnya agak cemberut.

"Kenapa musti aku, Gas?" protesnya.

"Kami cuma nunjuk acak aja, Sa. Lagian, kalo ditunjuk, pasti semua orang bakalan nolak kayak kamu ini. Nah, karena kamu dulu berpengalaman di organisasi, maka kami putuskan buat nunjuk kamu. Mau, ya?" desak Bagas.

Akhirnya, dengan bujukan Bagas, Delisa menganggukkan kepala.

"Nah, gitu dong! Terus, karena bajunya disepakati nuansa putih, maka kami udah nyiapin baju buat kamu. Yuk, ikut aku ke kamar hotel. Eh, jangan khawatir aku nggak bakal ikut masuk!" kelakar Bagas.

Delisa tertawa mendengarnya. Dia mengikuti langkah Bagas. Setelah berjalan sebentar, mereka sampai di depan sebuah kamar.

"Silakan," ucap Bagas membukakan pintu kamar hotel dengan sebuah access card.

Delisa tersenyum manis, berterima kasih pada Bagas lalu masuk ke dalam. Bagas menutup pintunya, lalu menunggui Delisa di luar. Dia mengelus dadanya. Di dalam dada berdebar sangat kencang. Bagas malah seperti menunggui kekasihnya berganti pakaian.

"Aku nanti bisa ganti lagi, kan?" tanya Delisa saat keluar dari kamar hotel.

"Iya, boleh. Baju itu untuk sementara kamu pakai pas acara. Maaf kalo kekecilan atau kebesaran," ujar Bagas.

"Nggak, cukup kok. Heran banget aku, kenapa bisa dipilihin baju yang ukurannya sangat pas gini, cantik lagi?" puji Delisa.

Bagas tersenyum. Apa yang tidak dia ketahui dari Delisa? Ukuran baju saja dia bisa tahu detail dengan mencari di akun sosial media Delisa. Mencari butik favorit gadis itu dan bertanya kepada pegawai di sana. Cukup mudah dengan stalking akun Delisa, karena Bagas sudah menanyai nama akun unik milik Delisa.

Namun, Bagas harus menahan kecewa karena Delisa menolak untuk dia gandeng menuju ke ballroom. Bagas harus bersabar. Hanya menunggu beberapa saat lagi, dia bisa menyentuh Delisa.

Sementara itu, Anita menggigit bibir kecewa karena Wina memberinya kabar tentang keberadaan suaminya.

"Mas Bagas ikut reuni, padahal biasanya juga nggak," gumamnya dengan gurat agak kecewa.

Anita mengetik lagi pesan balasan untuk Wina. Kata Wina, Bagas malah menjadi salah satu panitia reuni akbar itu.

Sakit hati rasanya Anita. Meski tidak berminat ikut setidaknya dia berharap Bagas memberitahunya, tapi kenapa sedikitpun dia tidak mendengar informasi dari Bagas? Malahan, dia mendengar dari temannya tentang reuni.

"Aku ngerasa ada yang aneh dari Mas Bagas," gumam Anita.

Meski begitu, tidak ada yang bisa Anita lakukan. Dia harus menjaga anaknya. Apa yang Bagas lakukan, dia harap Bagas hanya ingin bersilaturahmi dengan teman-temannya saja, bukan aneh-aneh. Anita menepis segala pikiran buruk tentang suaminya karena ketidak-jujuran Bagas.

"Aku akan menunggu Mas Bagas pulang dan bertanya padanya. Kenapa dia nggak bilang kalo dia jadi panitia reuni akbar. Kalau saja dia tidak mau mengajakku, harusnya dia bilang apa alasannya."

Namun, sayangnya meski Anita menunggu sampai jam dua belas malam, Bagas belum juga pulang. Sampai Anita terkantuk-kantuk di depan televisi, tapi yang ditunggu tak kunjung datang juga. Rasanya semakin cemas menunggu. Bahkan, panggilannya pun dialihkan.

"Apa yang sedang dia lakukan?" desah Anita, meletakkan ponselnya di atas nakas dengan gelisah.

***

Bagas berdiri di belakang ballroom. Delisa menemuinya saat acara hampir berakhir.

"Gas, aku mau ganti pakaian. Boleh pinjam access card kamarnya?" tanya Delisa.

"Oh, boleh. Eh, kita belum bersulang, Sa. Ini rasa terima kasih karena kamu sudah membantuku, Sa."

Bagas menyerahkan sebuah gelas berisi air berwarna merah. Delisa menerima gelas itu tanpa rasa curiga.

"Cuma soda, bukan whisk," canda Bagas.

"Iya," sahut Delisa, mengetukkan ujung gelasnya ke gelas Bagas.

"Mari bersulang, makasih ya, Sa? Karena kamu juga, acara ini berjalan dengan lancar. Makasih atas segalanya."

Mereka berdua meneguk minuman itu. Lalu, Bagas mengambil gelas kosong di tangan Delisa dan mengantar Delisa ke kamar hotel.

"Karena kamu tamu, maka aku bukain ya? Kayak tadi? Access cardnya aku pegang. Kamu kan tamu?" ujar Bagas.

"Oh, ada-ada aja. Mana ada kayak gitu, Gas? Oh iya, kamu sama istri kamu? Kok aku nggak lihat," tanya Delisa karena ada yang mengganjal perasaannya dari tadi. Dia tidak melihat istri Bagas.

"Ada kok, tadi dia sama temen-temennya. Biasa, kalo udah gabung sama temen-temennya, dia lupa sama suaminya," jawab Bagas berkilah agar Delisa tidak memperpanjang pertanyaannya.

"Oh, gitu. Ya udah, aku ganti baju dulu ya, Gas?" ucap Delisa.

"Iya," sahut Bagas.

Delisa memasuki ruangan tadi. Dia segera membuka baju putih yang disediakan untuknya tadi. Namun, ternyata dia tidak menemukan gaun merahnya tadi. Delisa membuka lemari pakaian, tapi lemari itu dikunci. Delisa mencoba mencari pakaiannya di antara selimut, di atas lantai, di bawah tempat tidur, tapi ternyata tidak ada juga.

Agak lama, dia berniat menanyakan pada Bagas, tapi baru saja berdiri, kepalanya terasa berat dan pusing.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status