Drrrrrtttt.
Sebuah pesan singkat aku terima sore harinya. Ternyata, pesan itu dari Raka. Dalam pesannya dia bilang kalau malam ini dirinya tidak akan pulang, karena ada lembur. Aku berdecak. Dengan kesal, kubalas pesannya secara kilat. “Kemarin juga kamu lembur, Mas. Tidak bisa gantian sama yang lain?” tulisku pada layar, kemudian segera menekan tombol kirim. Tak lama, balasan darinya masuk. Lagi, bukan permintaan maaf yang kudapatkan. Dia hanya mengirimkan dua kata yang ditutup dengan tanda seru, "Jangan bawel!" Aku mengembuskan napas panjang. Entahlah, rasanya aku sudah menyerah dengan semua ini. Aku merasa jika semua yang aku lakukan percuma. Marah salah, diam sakit. Akhirnya, daripada berada di rumah dan terus memikirkan suamiku itu, aku pun memutuskan untuk keluar. Aku pergi ke sebuah kafe dengan temanku, Ira. Niatnya, aku hanya sekedar makan saja. Namun siapa sangka aku justru terbawa suasana. Aku mulai menceritakan kisah hidupku yang pilu pada temanku dan dia sangat terkejut mendengar ceritaku. "OMG, Amel! Aku kira hidupmu baik-baik saja, tapi ternyata?" Suara melengking Ira bak terompet yang menyakiti telingaku. Kututup telingaku lalu menunjukkan ekspresi kesal, "Suara kamu kenceng banget!" "Aku syok Mel." Dia menatapku sedih. Raut wajah kesalnya berubah menjadi nanar. Entahlah, keputusan menceritakan pada Ira ini apakah salah atau tidak. Sebab, bagaimanapun juga... yang kuceritakan ini adalah aib dalam rumah tanggaku. Tangan Ira mengusap pundakku, terlihat dia begitu iba dengan apa yang aku alami. "Kamu harus melawan Mel, jangan mau diperlukan seperti itu!" Dia menyemangati aku seolah tak ingin aku terluka. Anggukan pelan aku tunjukkan, lalu aku tersenyum menatapnya. Kukira, setelah ini dia akan menjatuhkan pelukannya padaku, tapi ternyata malah mengeluarkan kalimat ejekan. "Tapi aku juga syok punya teman begonya kelewatan! Kenapa sih, kamu yang pintar bisa sebego ini, Mel?!” "Aku juga nggak tau, Ra. Aku harus gimana lagi?" kataku dengan lemah, sambil menatapnya. Kami berdua sesaat terdiam, hingga kemudian kalimat Ira selanjutnya membuat pikiranku jadi bertanya-tanya. "Suami kamu tuh, fix selingkuh, Mel! Coba deh, cari tahu!" Perkataan Ira sontak menari di kepalaku, bahkan ketika aku sudah berada di rumah. “Apa mungkin Mas Raka memiliki wanita lain?” pikirku. "Apa aku cari tahu saja?" Hati dan logikaku mulai berperang. Jiwa detektif yang tak pernah muncul kini mencuat, memaksa aku untuk mencari tahu. Akhirnya, aku putuskan untuk membuka media sosial meski Mas Raka telah mewanti-wanti aku untuk tidak menggunakannya. Kini, kuputuskan untuk mendownload semua jenis media sosial itu. Masa bodoh dengan perkataan Mas Raka tempo itu yang mengatakan jika media sosial hanya akan merusak rumah tangga. Setelah berhasil masuk, kutulis nama Raka Sanjaya di kolom pencarian. Sederet orang yang bernama Raka Sanjaya bermunculan, dan satu foto profil membuat aku tersenyum. Kubuka profilnya. Untung dia tidak mengunci profilnya, sehingga aku bisa membuka untuk mencari informasi. Hanya terlihat beberapa foto terunggah di sana. Foto dia dengan atasannya, juga dengan beberapa temannya. Semua normal, kulihat tidak ada yang aneh. "Syukurlah, apa yang aku pikirkan tidak terjadi." Aku bernafas lega, setidaknya dia tidak macam-macam di media sosial. Namun, sejenak aku berpikir, jika dia masih menggunakan media sosial, kenapa dia begitu melarangku? Dia bahkan memintaku untuk menonaktifkan media sosialku? Saat aku ingin menutup penyelidikan di akun itu, ada suatu hal yang janggal terlihat. Dia memiliki cukup banyak pengikut, tapi hanya satu akun saja yang dia ikuti. Tiba-tiba darahku berdesir. Penasaran mulai datang menghampiri. Kubuka dan kulihat satu-satunya profil yang Mas Raka ikuti. Hampir saja aku dibuat pingsan. “Siapa dia?” tanyaku dengan air mata yang sudah tidak bisa kutahan. “Kenapa di profilnya begitu banyak foto dan video bersama Mas Raka?” Kupikir, setelah aku tahu kebenarannya, aku bisa menentukan tindakanku selanjutnya. Nyatanya, setelah kutemukan kebenaran, hal itu justru membuat aku semakin sakit. Ternyata benar, memilih tidak tahu terkadang jauh lebih menenangkan, daripada kita mengetahui kebenarannya. "Tega kamu, Mas!" ujarku, terus menangis hingga tanpa sadar jatuh tertidur. Pagi harinya, kepalaku terasa sangat pusing. Namun, karena ada satu hal yang harus aku lakukan, aku memaksakan diri. Kantor Mas Raka jadi tempat tujuanku pagi ini. Sengaja aku bertandang, tanpa bilang-bilang. Aku ingin melihat suamiku yang katanya menginap di kantor karena lembur semalam. Saat aku membuka pintu ruangannya, kulihat ruangan itu kosong tanpa penghuni. Aku memilih menunggu di dalam, karena aku yakin sebentar lagi dia akan datang. Dan benar saja, tak lama dia datang dengan wajah bahagianya. Melihat dia yang lebih fresh dan sumringah seperti ini malah membuat hatiku sakit. Sungguh kontras sekali apabila dia berangkat dari rumah kami. "Kamu kelihatan segar ya Mas?" sindirku. Wajah sumringahnya itu langsung berubah begitu dia melihat kehadiranku di ruangan ini. "Ada urusan apa kamu ke sini?” Suara dingin yang terdengar kali ini tidak membuat aku menggigil. Tatapan tajamnya juga tidak membuat aku ketakutan. "Kamu berbohong Mas! Katanya lembur, tapi nyatanya...." Kata-kataku tertahan saat kulihat sebuah tanda merah di lehernya. Sejurus kemudian rasa sakit yang lebih dalam menyeruak di dadaku. "Kamu memiliki wanita lain kan, Mas?!" Aku yakin, tanda itu adalah tanda cinta. Aku juga sangat yakin, dia baru saja menghabiskan malam bergairah, sementara aku merana di rumah. Wajahnya berubah semakin merah. Dia mencengkeram lenganku kuat-kuat. "Jangan halu! Atas dasar apa kamu menuduhku memiliki wanita lain, Amel?" Rasa sakit karena cengkeramannya tak kurasa, karena rasa sakit di hatiku jauh lebih besar. Tatapan kami bertemu lalu dengan berani aku menunjuk tanda di lehernya. "Ini apa? Vampir mana yang menggigit kamu sampai begini?"Waktu terus berlalu, tak terasa Arkan sudah berumur tujuh bulan, mama yang masih memegang teguh adatnya hendak melakukan syukuran yang disebut "Mudun lemah" atau turun tanah. Di usia tujuh bulan bayi sudah diperbolehkan untuk diturunkan ke bawah mengingat mereka harus belajar berjalan. "Amel persiapannya sudah selesai apa belum?" tanya Mama yang memantau aku di dapur. "Sudah ma, anak ayam yang mama pesan sudah dikirim." Kataku sambil tersenyum. Memang dalam syukuran kali ini kami menggunakan anak ayam, entahlah kenapa ada adat seperti itu. Ayah dan ibuku juga datang untuk membantu, aku yang lelah memutuskan ke kamar sejenak untuk istirahat. Beberapa saat kemudian, Mas Raka menyusulku. Dia yang juga kelelahan turut berbaring di sampingku. "Adat terkadang itu menyusahkan, tinggal syukuran saja kenapa ribet banget yang inilah itulah, lagian kenapa ada acara turun tanah, Arkan tinggal ditaruh bawah kan udah beres." Mas Raka menggerutu sendiri. Mendengar gerutuannya
Mas Raka menatapku tak percaya, "Kamu setuju Sayang?" tanyanya sambil memegang pundakku. "Iya Mas, kuakui aku tak sanggup mengurus Arkan sendirian." Mas Raka langsung memelukku, dia mengecup keningku berkali-kali. Setelah berbincang aku dan Mas Raka memutuskan pulang, sesampainya di rumah Mama menyambutku. Sama seperti Mas Raka mama memelukku dengan erat. Sebenarnya aku heran pada mereka, takut sekali jika aku pergi. "Ma tolong carikan yayasan terbaik, kami akan menggunakan jasa baby sitter." Ujar Mas Raka. Mama sangat senang mendengar kabar ini lalu beliau menghubungi Yayasan yang sudah diakui para majikan. Beberapa foto calon baby sitter mama tunjukkan padaku, dan pilihanku jatuh pada baby sitter yang sudah berumur. Aku sengaja mencari yang tidak manarik karena takut Mas Raka akan tergodo seperti di film-film. Keputusan kami buat, dan besok orangnya akan dikirim ke rumah. Malam itu, Mas Raka lah yang menidurkan Arkan, dia juga menemani aku begadang meng
"Iya Bu, Amel akan memikirkannya lagi." Kataku sambil menatap ibuku. Arkan menangis, ibu memintaku untuk menyusuinya langsung karena asi yang aku pompa kemarin sudah habis. Setelah aku menyusui Arkan, ibu meminta bayiku kembali. Ibuku memang ibu terbaik di dunia. Beliau tidak ingin aku lelah. "Enak ya digendong nenek." Aku mengusap pipi Arkan. Dari depan terdengar suara mobil berhenti, bibirku menyunggingkan senyuman saat tahu yang berhenti adalah mobil Mas Raka. Mas Raka berjalan mendekat dan bersamaan Arkan muntah sehingga aku berlari masuk ke dalam. Dari belakang aku mendengar Mas Raka memanggilku. "Sayang." Mas Raka mengekori aku yang ingin mengambil tisu. Dia langsung memelukku. "Maafkan aku." Dia berbisik. Aku melepas pelukannya bukan tidak senang dengan kedatangannya tapi aku harus mengusap muntah Arkan. Ibu segera meminta tisu dariku, lalu beliau lah yang mengusap bibir Arkan. Setelah bersih dari muntahan, aku menatap suamiku yang sudah memasan
Di dalam kamar aku menangis, sungguh aku merasa sedih dengan sikap Mas Raka. Kenapa semua seolah aku yang salah? padahal aku hanya ingin merawat Arkan dengan tanganku sendiri? "Kenapa kamu begini Mas?" Aku bermonolog dengan diriku sendiri. Kukira Mas Raka akan mengerti keadaanku, seorang ibu baru yang mengalami perubahan segala siklus hidup namun nyatanya tidak. Di saat seperti ini bukankah peran suami adalah mensupport istri? tapi mengapa malah balik menyalahkan? ArrggggAku berteriak sambil mengusap rambutku dengan kasar. Meskipun aku mengurus Arkan sendiri aku tidak pernah mengganggu tidurnya, seberapa repotnya aku tiap malam aku tidak pernah membangunkannya karena aku sadar dia harus bekerja. Tapi kenapa dia tidak mengerti? bukankah masa-masa seperti ini tidak lama, ketika bayi semakin besar dia pasti akan jarang bangun malam dan aku bisa mengurusnya kembali? Hati yang meradang membuat aku terus menangis hingga suara ketukan dari luar menghentikan tangisku. Aku berjalan u
Kutunggui dia yang sedang makan, entah mengapa melihat Mas Raka makan, aku merasa iba. Emosi yang memburu tiba-tiba menghilang. "Aku sudah selesai makan, apa yang ingin dibicarakan?" Dia menatapku. "Ayo le kamar." Tak ingin di dengar pelayan dan Mama aku mengajak Mas Raka ke kamar. Tapi Mas Raka menolak dengan alasan kekenyangan jadi malas naik. "Kamu tuh kenapa sih Mas, bicara di kamar lebih leluasa tidak didengar banyak orang!" Aku memberengut kesal. "Apa masalahmu?" Nafasku kembali memburu, dia tidak pulang dan dia bertanya apa masalahnya? "Kamu tuh nyadar gak sih kalau salah! nggak pulang apa menurut kamu itu wajar?" Air mataku yang kutahan memberontak keluar, sehingga kini aku menangis di hadapannya. "Apa yang kamu tangisi bukanlah semua keinginan kamu?" Mendengar ucapannya sontak aku membuat aku kembali menatapnya, "Apa maksud kamu?" "Ya kamu lelah dengan Arkan bukanlah itu keinginan kamu? dari awal aku sudah mencoba menawarkan baby sitter tapi kamu selalu menolak."
Tanganku mengepal, emosiku meledak-ledak melihatnya. Melihatku Mas Raka hanya menghela nafas. "Aku lelah, jangan marah-marah seperti ini." Katanya lalu dia merebahkan diri di tempat tidur. Tak rela jika amarahku berakhir begitu saja aku pun menghampirinya, ku tarik tangannya agar bangun untuk mendengar omelanku. Tapi bukannya bangun Mas Raka justru menarik tubuhku dan membawaku ke dalam dekapannya. "Arkan tidur lebih baik kamu tidur jangan marah-marah." Katanya. Aku melongo melihat suamiku ini, seketika emosiku yang sedari tadi berapi-api padam begitu saja. Dan dalam dekapannya aku merasa hangat hingga air mataku tak terasa meleleh. "Nyatanya lelahku hilang dalam dekapannya." Batinku sambil terus menatap Mas Raka yang sudah memejamkan mata. Baru saja aku terpejam suara Arkan membangunkan aku, malas dan lelah tapi aku harus bangun untuk menenangkan malaikat kecilku itu. "Kamu haus ya." Kataku sambil membuka kancing baju untuk menyusuinya. Saking ngantukn